Marriage Of Two Worlds 11

1762 Kata
"APA-APA INI?" Teriak Barbara kencang saat menyalakan Tv ada tayangan tentang kehidupan pribadi dirinya. Mengeram marah lalu melemparkan remote itu ke sofa dengan sebal. Hanya dalam satu hari, sekarang hidupnya sudah luar biasa mengenaskan. Barbara ingin mengamuk sekarang juga dan sasaran nya adalah pria yang sekarang sudah sah menjadi suaminya. Ini Barbara baru bangun tidur loh, dia ingin menikmati waktu di hotel dengan berleha-leha. Bukan malah mendapatkan gunjingan dari netizen. "Ada apa, Ra?" "Ada apa? Lihat, sekarang semua warga sudah tahu jika aku anak dari Rajendra Ajuman. Gila! Dalam sehari kehidupan ku hancur berantakan." Dumel Barbara. Aarav yang melihat kekalutan Barbara mendekat lalu mengusap kepala istrinya itu dengan halus. Istri yah? Yah, sekarang Aarav sudah bisa berbangga hati karena tepatnya kemarin dia sudah mempersunting Barbara Calantha Ajuman untuk menjadi istrinya. Perasaan yang sekarang di rasakan oleh Aarav tak bisa di jabarkan lewat kata-kata, karena semua rasa bercampur aduk. Aarav menatap Cincin di jari manis Barbara yang mengkilap, mengusapnya dengan pelan dan itu kembali berpacu pada jantungnya. Mungkin banyak orang yang tidak menyukai pernikahan yang Aarav lakukan tapi kembali lagi mulai sekarang sudah saatnya dia bahagia. Barbara yang seorang wanita saja berani bertaruh, kenapa dia yang seorang pria tak bisa berani melanjutkan langkah ke depan? Aarav tahu sekarang Barbara marah padanya, mengingat kemarin saat pernikahan mereka di umumkan jika Barbara anak dari Rajendra Ajuman. Awalnya para undangan tidak mengerti karena memang mereka tahunya Bianca yang menjadi pengantin namun saat itulah Bianca keluar dari persembunyian membuat semua orang terkejut. Ada dua wanita yang sama namun dalam aura yang berbeda. Akhirnya Rajendra mengkonfirmasikan jika selama ini dia memiliki anak kembar. Hanya saja Barbara tidak menyukai kehidupan keluarganya, makanya di sembunyikan pada area publik. Saat itulah kehidupan Barbara yang awalnya baik-baik saja harus bersiap untuk dikuliti oleh beberapa wartawan. "Aku minta maaf. Ini semua memang di lakukan supaya semua orang tidak salah paham. Bianca pun butuh pendamping hidup untuk kedepannya. Jika mereka tahunya Bianca istriku lalu dia jalan dengan pria lain, bagaimana? Aku tidak mau kami berdua yang menjadi bahan gosip mereka." "Egois! Kalian berdua tidak mau di gosip kan tapi sekarang aku yang menjadi kambing hitamnya." "Bukan seperti itu sayang tapi ini demi kebaikan bersama." "Kebaikan bersama bagaimana? Aku yakin di luar Hotel pun pasti banyak wartawan yang mengintai." "Tentu saja. Dan mungkin untuk beberapa minggu ke depan kau tidak bisa keluar bebas dari rumah. Mereka pasti tidak akan puas dengan konfirmasi yang Papamu lakukan. Sabar, yah? Nanti juga ada saatnya kau kembali pada kehidupanmu yang dulu." "Jika tau aku akan terjebak di rumah, lebih baik aku kabur saja kemarin. Biarkan kau dan keluargamu menanggung malu." Aarav mencium pipi Barbara. Walaupun Barbara sering bertingkah menyebalkan namun dia tidak pernah menolak afeksi yang di berikan Aarav. "Nanti yah, sabar. Aku akan usahakan supaya mereka tidak ikut campur dengan masalah pribadimu." "Yah memang harus. Aku tidak ingin urusan pribadi ku di ikut sertakan untuk majalah gosip di luaran sana. Dan masalahnya, memangnya kau tidak takut reputasi mu hancur gara-gara memiliki seorang istri mantan narapidana?" Aarav menatap mata Barbara lalu tersenyum dan mengecup kening istrinya. "Aku tidak masalah, sekali pun kau memiliki catatan ilegal dalam riwayat hidupmu aku tidak peduli. Yang penting sekarang kau milikku, istriku dan akan menjadi pendamping ku." Barbara langsung menatap ngeri pada Aarav. Masih belum menerima jika sekarang statusnya sudah berubah. Aarav bahkan menerima masa lalunya yang buruk begitu saja, dia tidak memikirkan bagaimana nasibnya nanti jika semua orang tahu kehidupannya dulu. Barbara hanya tidak ingin Aarav menanggung malu akibat ulahnya dulu begitu pun kedua orang tuanya. Selama ini hidupnya baik-baik saja namun entah kenapa semenjak Sahnya menjadi istri dari Aarav Caesar Rochester semuanya hancur berantakan dalam satu hari. Barbara yakin cepat atau lambat riwayat hidupnya akan terbongkar. Sepandainya dia mengubur masa lalunya sekuat itulah orang lain menggalinya. "Aku memang tidak masalah jika riwayat kehidupan ku terbongkar. Tapi aku tidak tega dengan keluargamu dan keluargaku yang akan menjadi sasarannya. Aku sudah terbiasa di permalukan tapi kalian? Kalian keluarga terpandang, semua orang tahu jika kalian tidak pernah membuat scandal. Tidak ada titik celah kejelekan di keluarga kalian. Dengan adanya aku datang ke keluarga kalian, pasti akan menjadi sasaran empuk ujar kebencian." "Stttt, aku yakin akan ada jalan keluar untuk itu semua. Tenang oke, semuanya akan baik-baik saja. Aku sudah memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya, anak buah ku sudah mengurus riwayat hidupmu." "Yayayaya orang kaya bebas." Aarav terkekeh. "Kau kan sekarang nyonya Aarav jadi apapun yang kau inginkan, kau hanya tinggal meminta saja. Karena pasti aku akan mengabulkannya untukmu." "Sekalipun aku minta pulau pribadi?" "Tentu saja!" Barbara menganga di buatnya. Sekaya apa sih suaminya sampai pulau pun bisa di beli? "Aku sudah tahu semua riwayat hidupmu. Dan sekarang aku ingin bertanya, apa kau tidak ada niatan untuk melanjutkan pendidikan mu ke jenjang yang lebih tinggi?" Aarav hanya menawarkan saja bukan bermaksud untuk memaksa. Barbara tahu jika lulusan SMP sepertinya tahu apa. Kalian tidak tahu yah jika Barbara hanya memiliki ijazah SMP itu pun entah kemana perginya Ijazah. Caci maki lah Barbara karena orang tua kaya namun anaknya malah memilih jalan hidup seperti ini. Kata siapa anak orang kaya hidupnya enak? Ini terbukti Barbara tidak seperti itu. Jangan menyalahkan orang tua yang tidak bisa mendidik anaknya namun anaknya yang seharusnya di salahkan karena memang dia yang memilih salah jalan. Namun memang semua orang akan tetap menyalahkan orang tuanya walaupun itu pilihan anaknya. Aarav hanya ingin yang terbaik untuk istrinya. Jika memang Barbara menolak yah sudah mau bagaimana lagi. Barbara memang tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, bahkan sekolah menengah atas pun tidak. Namun dia memiliki banyak prestasi di beberapa bidang sampai tingkat nasional. Semua takdir manusia berbeda-beda dan mungkin inilah takdir Barbara tapi setidaknya mungkin bisa di rubah. Bukan Takdir tapi nasibnya supaya lebih baik lagi dari yang lalu. "Kenapa? Kau merasa malu memiliki seorang istri yang hanya lulusan SMP?" "Bukan begitu." "Lalu?" Barbara menatap Aarav yang menatapnya. Aarav mengusap kening Barbara, matanya masih bertatapan dengan istrinya. "Hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi terserah kau saja, aku tidak akan memaksa jika kau memang lebih nyaman seperti ini. Yah walaupun aku berharap kau bisa melanjutkan pendidikan mu." "Itu sama saja kau maksa." Aarav menggaruk rambutnya. Dia menghembuskan napas, sudahlah, biarkan sesuka hati Barbara saja, yang pasti sekarang bahagia sudah di rasakan olehnya. Barbara memalingkan wajahnya ke arah depan, dimana televisi masih menayangkan berita pernikahan mereka kemari. Banyak spekulasi yang di ucapan oleh reporter TV, bahkan apa yang seharusnya tidak di ucapakan malah di ucapkan. "Bohong itu. Kata siapa aku merebut pria ini? Yang ada dia memaksa ku." Barbara tidak terima akan tudingan sang pembawa acara. Ada beberapa foto Bianca dan Aarav di beberapa tempat yang memperlihatkan kemesraan mereka. "Padahal kalian cocok. Kenapa mesti aku yang jadi kambing hitamnya?" komentar Barbara. "Mereka mengatakan aku cocok dengan Bianca namun jika hati berkata lain lantas aku harus bagaimana?" "Kalian satu tahun bersama apa tidak ada rasa cinta di hati kalian? Aku dan Bianca memiliki kesamaan walaupun tidak terlalu mencolok tapi kalian bisa membandingkannya. Perbedaan kami bahkan mudah untuk di tebak." "Berapa tahun pun kita bersama tapi hati hanya menganggapnya sebatas teman mau bagaimana? Percuma jika di lanjutkan dengan secara paksa kalau akhirnya kami berdua tersakiti." "Apa kau tidak bertanya pada Bianca tentang perasaannya padamu?" "Bianca pernah menyatakan cintanya padaku namun entah kenapa hatiku tidak menerimanya, padahal aku yakin saat itu aku jatuh cinta padanya. Harusnya aku bahagia karena wanita yang aku suka membalas perasaanku tapi hatiku rasanya kosong. Tidak ada rasa itu saat pertama kali kita bertemu." Barbara menatap Aarav lalu menampar pelan pipinya. "Kau sudah melukai hati saudariku kawan." "Setidaknya patah hati yang aku lakukan sudah membuatnya mengerti, cinta tidak harus memiliki." "Perkataan mu amat sangat menggelikan sekali. Harusnya perkataan mu barusan di terapkan pada dirimu sendiri, kenapa kau malah memaksa ku?" Aarav tersenyum kembali mencium kening Barbara, bahkan memeluk istrinya dengan erat. Barbara mendengus sebal. Ada beberapa pernjanjian yang mereka sepakati semalam termasuk memberikan hak Aarav jika pria itu meminta. Namun untuk masalah memberikan hak, Barbara belum siap. Entah di rasakan orang lain atau tidak, tapi Barbara merasa dia tidak bisa memberikan hak nya tanpa adanya cinta. Orang-orang di luaran sana bagaimana bisa memberikan tubuhnya tanpa ada landasan cinta? Oke, mungkin mereka mengandalkan naluri saling membutuhkan. "Mau honeymoon kemana?" Aarav mengalihkan pembicaraan mereka. "Untuk apa honeymoon?" "Memangnya untuk apalagi Honeymoon." "Aarav kita sudah bahas ini tadi malam." "Iya, iya, aku tahu. Tapi memangnya honeymoon harus bercinta? Di sana kita bisa menghabiskan waktu bersama dan saling membuka diri satu sama lain." Kepala Barbara mengangguk, benar. Honeymoon bukan berarti mereka harus melakukan hubungan badan. Ada banyak kegiatan lain seperti yang Aarav katakan. Saling mengenali diri masing-masing. "Ada rekomendasi tempat yang bagus?" "Ke pantai?" "Di dunia ini ada banyak pantai Aarav. Kau mau memberikan pilihan pantai yang mana untuk aku pilih?" Aarav tertawa. Sungguh Barbara tidak menyangka sama sekali jika dia akan berbincang seperti ini berdua dengan Aarav. Mereka baru mengenal tidak lebih dari setengah bulan tapi keduanya sudah terlihat akrab. Mungkin memang Barbara dan Aarav memiliki kesamaan dan setiap obrolan slalu nyambung. "Santorini, bagaimana?" "Aku belum pernah datang ke sana." "Memangnya kau tidak pernah pergi jalan-jalan ke luar negri?" Barbara menyentak tangan Aarav yang memeluknya. "Jika belum, mau apa kau?" "Hahaha maaf, maaf, maaf, ya sudah kau mau pergi kemana? Biar aku yang mengurus." "Tidak usah, aku malas pergi." "Ara aku hanya becanda. Ayo katakan kau mau pergi kemana?" "Tidak mau." Jujur memang Barbara sama sekali tidak pernah pergi jalan-jalan ke luar negri. Paling-paling Barbara pergi hanya ke puncak itu pun memang ada pekerjaan. Tidak pernah dalam hidupnya Barbara menghamburkan uang hanya untuk kesenangannya sendiri. Barbara lebih mengutamakan orang-orang yang membutuhkan uangnya di banding harus membahagiakan dirinya hanya sekedar untuk refreshing. Aarav menyesal, kenapa dia bisa mengatakan hal itu pada Barbara? Seharusnya dia bisa mengontrol ucapannya dan tentu saja Barbara merasa tersinggung akan ucapannya. "Ara aku minta maaf jika menyinggung perasaanmu, sungguh aku tidak bermaksud apa-apa." "Kau ini menyinggung apa?" "Perkataan ku tentang kau tidak pernah pergi ke luar negeri." "Itu memang kenyataannya. Aku tidak pernah pergi kemana pun." "Lantas kemana kau pergi liburan?" "Tidak ada liburan dalam hidupku." Aarav yang mendengar itu semakin mengetatkan pelukannya. Padahal hidup Barbara sangat tercukupi. Jika dia ingin berlibur hanya tinggal pergi memesan tiket saat ini juga. Bagaimana bisa Barbara tidak pernah pergi liburan? "Mau keliling dunia?" Barbara menoleh melihat Aarav yang tersenyum. "Memang boleh?" "Tentu saja boleh. Aku kan sudah bilang apapun yang kau inginkan, aku akan kabulkan." Barbara hanya mengangguk. Jadi dimana letak kejamnya Aarav? Kenapa Bianca sangat takut pada Aarav? Beberapa hari ini Barbara bahkan tidak pernah melihat Aarav memperlakukannya buruk. Aarav bahkan lebih sering mengutamakan Barbara di atas segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN