Bab - 11

1408 Kata
Sudah hampir satu minggu berlalu. Kini kaki Mawar sudah hampir sembuh, dan gadis itu juga sudah mulai kembali dengan aktifitasnya. Selama seminggu itu juga, Mawar tak pernah mendengar kabar dari Rendra. Pertemuan terakhir mereka adalah, saat Rendra pamit sebelum kembali ke Jakarta. Mawar masih ingat, bagaimana Rendra mengunjungi dirinya. Datang dengan membawa roti, s**u, biskuit, dan buah-buahan. Sudah seperti seorang guru yang mengunjungi muridnya yang sakit. Padahal, Mawar adalah tunangannya. Pria itu tak membawa sesuatu yang romantis, seperti coklat, cake, ataupun bunga. Beberapa hari yang lalu Mawar sedang duduk di kamarnya, sambil membaca webtoon. Telinganya sayup-sayup mendengar suara ketukan pintu dari depan. Dengan susah payah, Mawar berjalan menuju ruang tamu, dan membukakan pintu. "Iya!" sahut Mawar saat sang tamu tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk pintu rumahnya dengan tidak sabaran. Mawar pun membuka pintu, dan melihat laki-laki yang tak asing sudah berdiri sambil menenteng keresek. "Cih, mau ngapain ke sini?" tanya Mawar tanpa basa-basi. Rendra melihat tajam ke arah Mawar. "Heh, jangan geer ya, gue ke sini juga karena di suruh sama mama!" Mawar hanya diam, tak berkomentar apa-apa lagi. Pintu rumahnya pun hanya ia buka sedikit, bahkan tamunya itu tak ditawari untuk masuk. "Gue ini tamu, nggak disuruh masuk apa?" seloroh Rendra. Dengan berat hati, Mawar pun mempersilahkan Rendra untuk masuk. Gadis itu mengikuti Rendra dari belakang, dengan kaki yang sedikit terpincang-pincang. "Gimana kaki Lo?" tanya Rendra saat dirinya sudah duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Mawar duduk di sofa yang ada di depan Rendra, lalu melipat kakinya. "Seperti yang kamu lihat," ucapnya dengan datar. Lalu Rendra menaruh makanan yang ia beli tadi di atas meja. Sedang Mawar, gadis itu tak bereaksi apa-apa. Meski dalam hatinya ia sedikit penasaran dengan apa yang diberikan oleh laki-laki yang kini berstatus sebagai tunangannya. "Buat Lo!" kata Rendra sambil menyadarkan punggungnya. Sedangkan Mawar, gadis itu hanya diam. Sama sekali tak menyentuh keresek yang diberikan oleh Rendra untuk dirinya. "Ambil dong! Itu bersih, kok! Gue nggak bawa virus apa-apa ke sini!" kesal Rendra sambil menatap tajam ke arah Mawar. "Iya, makasih," cicit Mawar sambil mengambil keresek yang tadi disodorkan oleh Rendra, lalu melihat isinya. "Lo jangan mikir macem-macem, ya! Gue ke sini sambil bawa itu karena disuruh sama mama!" Rendra menjelaskan, takut gadis itu salah paham. "Iya, iya, aku tau ko," ucap Mawar dengan malas. Sebenarnya tanpa Rendra jelaskan juga Mawar sudah tau. Orang seperti Rendra mana mungkin berbuat sesuatu seperti itu atas inisiatif sendiri. Mawar tertegun melihat isi keresek yang dibawa oleh Rendra. Bagaimana mana bisa laki-laki itu memberikan sesuatu yang seperti itu? Tidak ada romantis-romantisnya sama sekali! Padahal, sekarang Mawar berstatus sebagai tunangannya, setidaknya berikan sesuatu yang sedikit romantis. Mawar seperti itu bukan berarti gadis itu memiliki perasaan untuk Rendra! Bukan! "Hei," panggil Mawar pada laki-laki yang kini berstatus sebagai tunangannya, Rendra. "Hem, apa?" sahut pria itu dengan mata yang masih menatap ponsel. "Sebenernya kamu mau nengokin tunangan kamu atau murid kamu, sih?" tanya gadis itu dengan gamblang. Pertanyaan dari Mawar mampu membuat fokus Rendra tertuju padanya. Laki-laki itu kini sedang menatap Mawar dengan datar. Entah apa yang sedang laki-laki itu pikirkan. "Lo berharap dikirim cake dan bunga sama gue?" Mawar terdiam. Dia berbicara seperti itu bukan berarti dia ingin diperlakukan dengan spesial, bukan! "Nggak!" "Jujur aja, nggak apa-apa. Gue tau Lo udah mulai luluh sama ketampanan gue." Rendra berkata dengan rasa percaya yang tinggi. Sedangkan Mawar yang mendengar perkataan Rendra malah ingin muntah. Bagaimana bisa laki-laki itu tidak memiliki satu pun sifat yang baik? Hanya wajahnya saja yang terlihat lumayan, selebihnya buruk! Seperti itulah Rendra di mata Mawar. "Heh, siapa yang berharap dikasih cake dan bunga dari orang aneh kayak kamu? Hah?" sewot Mawar. "Buktinya, kenapa Lo nanya gitu kalo emang nggak berharap? Hem?" "Aku kan cuma ngomong! Nggak berharap dan ga minta!" tegas Mawar. "Iya, sebaiknya Lo jangan berharap lebih ke gue. Karena mau sampe kapan pun, gue nggak akan pernah suka sama Lo! Apalagi jatuh cinta! Di hati gue, cuma ada Michelle seorang. Ngerti?" Mawar hanya diam. Tanpa mengangguk pun gadis itu sudah mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Rendra. "Oke, karena sampai kapan pun juga, aku nggak akan pernah punya perasaan sama kamu! Setidaknya aku pengen jatuh cinta sama orang masih waras! Nggak kayak kamu!" Hari itu, kedua manusia itu saling mengatakan, jika mereka tidak akan pernah saling jatuh cinta, lalu terjerat di dalam sebuah hubungan yang dapat menguras emosi. Tuhan memang Maha Kuasa, perkara membolak-balikkan perasaan Dia adalah jagonya. "Hari ini gue mau balik ke Jakarta." Rendra mulai berbicara, mengutarakan tujuan dirinya ke rumah Mawar. Mawar masih diam. Gadis itu belum berkomentar apa-apa, masih dengan posisi sebelumnya. Duduk dengan manis, dengan telinganya ia pasang dengan baik. "Gue balik ke Jakarta karena gue nggak bisa ninggalin pekerjaan gue lama-lama. Nggak enak juga sama yang lain, kelamaan cuti. Belum lagi nanti cuti saat pernikahan kita juga." Benar, cepat atau lambat, dua insan itu akan segera mengucapkan sebuah ikrar di hadapan Tuhan, keluarga mereka dan para tamu undangan. Apakah mereka berdosa karena sudah mempermainkan sebuah janji? Entahlah, berdosa atau tidak hanya Tuhan yang tau. "Iya." Hanya satu kata yang lolos dari bibir merah itu. "Untuk pernikahan kita, mama yang bakal ngurus-ngurusnya. Mulai dari gedung, gaun, makanan, dokumentasi, dll." Rendra menjelaskan. Mawar hanya diam mendengarkan, sambil sesekali mengangguk-angguk. "Jadi, kamu bakal balik lagi ke sini kapan?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Mawar mampu membuat sudut bibir Rendra terangkat. "Kenapa? Kamu ngerasa nggak bisa jauh dari aku?" goda Rendra. "Cih!" Mawar membuang muka. Wajahnya berubah seketika. Rasa kesal tergambar jelas di wajahnya. "Aku bakal balik ke sini nanti, seminggu sebelum pernikahan kita." Setelah mengatakan tujuan Rendra mengunjungi rumah Mawar, akhirnya laki-laki itu pun masuk ke dalam mobil, dan langsug melesat membelah jalanan. ___________ Rendra mulai kembali dengan rutinitasnya. Duduk di atas kursi, sambil berkutat dengan setumpuk dokumen lalu ditemani dengan secangkir kopi. Sudah hampir seminggu laki-laki itu tidak pernah menghubungi Mawar, dan sebaliknya. Rendra hanya mendengar cerita Mawar dari mamanya, yang setiap hari selalu menceritakan tentang Mawar. Pintu ruang kerjanya diketuk dari luar, oleh seseorang. "Masuk!" kata Rendra dengan suara dinginnya. "Ren," panggil Max, yang tak lain berstatus sebagai sahabat yang merangkap menjadi bos. "Hem, apaan?" sahut Rendra. "Gue kasih cuti, deh! Lo mending balik ke kampung sana! Urus acara pernikahan Lo itu!" suruh Max pada sahabatnya. Rendra tak bergeming. Laki-laki itu masih tetap setia dengan bolpoin dan setumpuk dokumen. Max tau, jika sahabatnya itu dijodohkan oleh orang tuanya. Dan dia juga tau, jika Rendra sama sekali tak tertarik pada wanita itu. Buktinya laki-laki itu malah tetap pergi untuk bekerja, padahal bulan depan status dirinya sudah berubah, menjadi seorang suami dan kepala keluarga. "Ren, serius. Gue kasih Lo cuti. Jangan mikirin pekerjaan! Gue mau Lo yang ngurus semua pernikahan Lo! Bukan nyokap Lo, Ren!" "Max, jangan bahas masalah pribadi di perusahaan, bisa?" tanya Rendra dengan sorot mata yang mulai menajam. "Nggak, gue nggak bisa. Gue itu sahabat Lo, Ren. Gue punya kewajiban buat ngingetin tingkah laku Lo, baik atau nggak. Dan, yang sekarang Lo lakuin itu salah! Yang mau nikah itu Elo, Ren. Bukan orang tua Lo!" Rendra menghela napas. Ia melempar bolpoin yang sedang ia genggam ke atas meja. Punggungnya ia sandarkan pada kursi kerjanya. "Lo juga tau, kan? Gue nggak tertarik sama pernikahan? Apalagi kalo cewek yang bakal jadi istri gue itu bukan dia." Dia yang Rendra maksud adalah Michelle Aurora. Bukan cuma Mirna dan Herman, tapi Max juga tak menyukai wanita itu. Wanita yang hampir membuat dirinya kehilangan sosok Rendra. "Lo masih ngarepin cewek itu?" sinis Max. Rendra tak menjawab. Tapi Max sudah tau dari sorot mata yang diberikan oleh sahabatnya, Rendra. Jika laki-laki itu masih berharap dan menunggu kepulangan wanitanya. "Ha-ha-ha!" Tawa Max memenuhi ruang kerja milik Rendra. Gelak tawanya menggelegar. "Heh, Rendra Mahesa Wijaya, sahabat gue yang paling b**o! Cinta boleh, tapi g****k jangan, ya? Setia sih setia, tapi Lo juga harus tau batasannya, dong! Lo mau setia sama siapa? Michelle? Emang Lo tau dia dimana? Kerja atau kuliah? Udah kawin apa belum? Hem? Lo tau nggak?" Berbagai macam pertanyaan dilontarkan oleh Max untuk sahabatnya. Sedangkan Rendra, laki-laki itu hanya diam. Apa yang dikatakan oleh Max memang benar, dan hati kecilnya pun setuju dengan pendapat Max. Tapi, otak dan hatinya tak bisa bekerja sama. Mereka tak pernah kompak ketika dalam urusan Michelle. Ketika hatinya sudah ingin berhenti, tapi sayangnya otaknya menolak dengan keras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN