Bab - 21

1943 Kata
Pagi itu Rendra dan Mawar sudah rapih, mereka tengah bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta. Semuanya sudah berkumpul di meja makan, untuk menyantap sarapan mereka. Mirna dan Herman pun kembali menginap di rumah Desri. Mungkin untuk beberapa hari ke depan pun mereka akan menginap di sana, menemani Desri di rumah. Semuanya menyantap sarapan mereka dengan khidmat. Hanya dentingan sendok makan yang terdengar, selebihnya hanyalah suara kicauan burung-burung yang mulai keluar dari sarangnya. Mawar, gadis itu menikmati setiap suapan makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Suatu hari nanti, dia pasti akan merindukan masakan mamanya. Pasti! Setelah sarapan, mereka duduk di ruang keluarga sejenak. Sebelum akhirnya Rendra dan Mawar pulang ke Jakarta. "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya." Nasihat Mirna pada anaknya, dan hanya dibalas anggukan oleh Rendra. Setelah selesai berbincang-bincang, Rendra pamit untuk segara kembali ke Jakarta. Mawar, gadis itu berpamitan pada kedua mertuanya, lalu memeluk mereka dengan hangat. "Lita titip mama ya, Ma ...." "Iya, Sayang. Kamu jangan khawatir ya ...." Lalu Mawar pun memeluk mamanya. Air matanya tak bisa ia tahan. Tangisnya pecah saat dirinya memeluk mamanya. "Mama, maafin Mawar ya. Mawar harus ninggalin Mama sendiri. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, jangan sering-sering ke restoran. Biar urusan restoran Mawar yang urus sama Sella." Mawar memeluk erat mamanya. Bagaimanapun juga, dia adalah anak yang manja. Anak yang tak bisa jauh dari mamanya sedikit pun. "Iya, jangan khawatir, Sayang. Jaga kesehatan di sana ya, jangan lupa nelpon mama. Berbaktilah sama suami kamu, ya?" Mawar hanya mengangguk. Dia pun melepaskan pelukannya. Lalu Rendra, memeluk orang tuanya bergantian. "Semangat kerjanya! Sekarang kamu udah punya istri yang harus kamu nafkahin lahir dan batin. Batinnya juga, jangan cuma lahirnya aja," ucap Hermawan sambil menepuk-nepuk punggung anaknya. "Iya, Pa." Rendra memeluk mamanya. Dia tau, jika mamanya akan menetap di sini untuk beberapa saat. Menemani mertuanya yang tinggal seorang diri. "Jangan terlalu cuek sama Mawar. Dia sekarang istrimu, tanggung jawab kamu!" Mirna memeluk anaknya, lalu berbisik, "kamu, lupain dia! Kalo nggak, tau kan akibatnya?" "Iya, iya. Bawel banget astaga," keluh Rendra dengan muka kusut. Jujur saja, dia agak kesal jika mamanya terus menerus menyuruhnya untuk melupakan Michelle. Sekarang tiba Rendra berpamitan pada Desri. Laki-laki itu memeluk mertuanya dengan lembut. "Mama titip Mawar, ya? Tolong jaga dia, sayangi dia, jangan duakan dia. Dia anak yang baik, setia, rajin, dan juga perasa. Dia juga anak yang mandiri, meski terkadang penyakit manjanya kadang-kadang kambuh. Kamu mau kan berjanji sama mama? Tolong jaga Mawar, ya? Bahagiakan dia, ya Ren? Hanya dia satu-satunya yang mama punya di dunia ini." Rendra tertegun mendengar ucapan mertuanya. Jika ia berjanji pada Desri, secara tidak langsung laki-laki itu harus melupakan Michelle, dan mengikhlaskannya. Bahkan jika suatu saat nanti Michelle kembali, Rendra harus mengurungkan niatnya untuk kembali merajut kasih dengan wanita pujaan hatinya. Akhirnya, dengan sedikit berat hati, Rendra pun berjanji pada mertuanya. "Iya, Rendra janji. Mama jangan khawatir." "Bagus, mama nggak salah pilih menantu." Lalu mereka pun melepaskan pelukan mereka. Rendra memasukkan barang-barang mereka ke dalam bagasi mobil. Setelah semuanya masuk, Rendra pun masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Disusul oleh Mawar. Gadis itu duduk di samping Rendra. Kaca jendelanya ia buka lebar-lebar, untuk melihat wajah orang-orang yang ia sayangi sebelum ia pergi bersama Rendra. "Dah ... hati-hati di jalan!" teriak Mirna sambil melambaikan tangannya. Rendra dan Mawar hanya mengangguk, lalu tersenyum. Rendra menekan klakson sebelum dirinya pergi. Setelah mobil bener-bener pergi, melaju di jalanan. Mawar hanya diam, dia ke arah luar melalui jendela mobil. Matanya kembali perih, saat mengingat bagaimana dirinya meninggalkan Desri seorang diri. Meski sekarang ada mertuanya di sana. Jika mertuanya sudah kembali ke Jakarta, bagaimana dengan mamanya? Apakah dia akan tinggal seorang diri? Sungguh, baru membayangkannya saja sudah membuat Mawar tak bisa mengontrol air matanya. Gadis itu menangis, menutup mulutnya dengan menggunakan punggung tangan, lalu menggigit telunjuk jarinya, agar suara tangisnya tak terdengar Rendra. Tapi sayangnya Rendra mendengar dengan jelas isak tangis dari istrinya. Mau bagaimana lagi? Dia pun punya pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan. Rendra hanya diam, membiarkan Mawar untuk menumpahkan kesedihannya. Setidaknya perasaan gadis itu akan sedikit lebih baik, jika ditumpahkan dengan melalui tangisan. Hingga mobil pun akhirnya memasuki tol, dan melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Mata Mawar terasa perih, mungkin karena efek menangis di sepanjang jalan. Rasa kantuk mulai menyerang mata Mawar. Tapi sebisa mungkin gadis itu tepis, tak enak pada Rendra katanya. Meski pada kenyataannya mereka hanya saling berdiam, tak mengobrol. Hingga akhirnya Mawar pun terlelap. Kepala gadis itu mengangguk-angguk. Rendra tersenyum tipis, melihat kepala istrinya yang terus bergerak ke sana kemari. Hingga akhirnya mobil laki-laki itu ia belokan menuju rest area. Untuk mengisi bensin, dan ... untuk mengatur posisi jok mobil yang ditempati Mawar. Agar gadis itu bisa tertidur dengan leluasa selama perjalanan mereka menuju rumah. Setelah mengisi bensin, Rendra beristirahat sejenak. Ia sedikit lelah karena kurang tidur. Semalam, laki-laki itu tak bisa tidur dengan nyenyak. Karena istrinya - Mawar, memiliki kebiasaan jelek. Yaitu mendengkur! Mereka terpaksa tidur di ranjang yang sama. Karena di dalam kamar Mawar tak ada sofa, untuk dijadikan tempat tidur. Dengan berat hati, Rendra terpaksa tidur satu ranjang dengan Mawar. Tapi sayangnya tidurnya terganggu karena gadis itu mendengkur dengan cukup keras. Hingga ide gila terlintas di dalam pikirannya. Mencoba menutup mulut Mawar dengan menggunakan bibirnya! Ya, setelah menimang-nimang keputusannya, tak ada salahnya juga untuk dicoba. Dia tak akan rugi sama sekali, bukan? Dan benar saja, hanya dengan satu kecupan. Mawar sudah berhenti mendengkur? Ko bisa? Entahlah, Rendra pun tak mengerti. Setidaknya kini dirinya bisa tidur sedikit lebih nyenyak. Rendra turun dari mobil, untuk membeli kopi dan beberapa makanan untuk dirinya. Saat dirinya sedang mengantri di kasir, matanya melihat ke arah mobil. Ah ... benar juga. Dalam perjalanan kali ini, dia tidak sendirian. Dia ... membawa seseorang, seorang wanita yang kini menjadi tanggung jawab dirinya. Yang ia sebut sebagai istri. Kembali lagi Rendra mengambil beberapa makanan dan minuman, untuk istrinya juga. Setidaknya laki-laki itu tidak akan membiarkan Mawar kelaparan. Setelah membayar, Rendra kembali menuju mobil. Ia menyesap kopinya, dan membenarkan jok yang diduduki oleh Mawar. Agar kepala gadis itu tidak benjol karena beberapa kali membentur kaca jendela. Setelah cukup beristirahat, Rendra kembali melajukan mobilnya. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi. Ingin cepat-cepat sampai ke apartemennya, dan mengerjakan pekerjaannya yang sudah dapat dipastikan sudah menggunung. Senja sudah terlihat di langit Jakarta. Kendaraan roda dua dan empat memadati jalanan ibu kota. Mawar, gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Merasakan jika mobil yang ia tumpangi sudah tidak melaju lagi. "Udah sampe?" tanya Mawar sambil mengumpulkan nyawanya yang masih belum terkumpul semua. "Sampe gundul mu!" jawab Rendra dengan ketus. "Masih lama?" tanya Mawar. Karena tubuhnya sudah merasa tak nyaman, efek terlalu lama duduk. "Bentar lagi. Kejebak macet kita," ucap Rendra sambil melajukan mobilnya sedikit demi sedikit. Mawar hanya mengangguk. Kemudian gadis itu melihat ke luar, menatap jalanan yang terlihat dipadati oleh para pengendara. Tidak seperti di Kuningan, kota itu tidak pernah mengalami kemacetan sampai seperti ini. Di sana mengalami kemacetan pada saat-saat tertentu saja. Seperti saat hari libur nasional, dan libur semester. Setelah keluar dari kemacetan, mobil Rendra memasuki sebuah kawasan apartemen yang cukup elit. Mobilnya terus melaju, hingga akhirnya mereka sampai di basement. Rendra turun dari mobil, diikuti oleh Mawar. Gadis itu mengikuti Rendra yang berjalan menuju bagasi, dan mengeluarkan barang-barang mereka. Mawar, gadis itu mengambil koper miliknya, dan beberapa makanan yang diberikan oleh Desri, untuk mereka makan nanti. Setelah itu dia berlari mengikuti Rendra yang sudah berjalan duluan, dan memasuki lift. Mawar dengan secepat kilat berlari, menyusul sang suami. Hingga akhirnya dirinya sudah masuk ke dalam lift. Napasnya tersengal-sengal, efek berlari. Sedangkan Rendra, laki-laki itu sama sekali tak membantu Mawar membawa barang-barang gadis itu. Dia malah terus memandangi angka yang semakin menaik. Hingga tepat di lantai sepuluh, pintu lift terbuka. Rendra langsung berjalan menuju kamar apartemennya, sambil menarik koper. Sedangkan Mawar, terus melihat ke sana kemari. Asing? Iya, dia asing dengan tempat ini. Sepertinya dia butuh waktu untuk menyesuaikan diri di sini. Rendra memasukkan PIN-nya, setelah itu pintu pun terbuka. Mawar pun ikut masuk setelah pintu sudah terbuka. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas. Ada 2 buah kamar, 1 dapur, dan 1 set sofa di sana. Semuanya terlihat sangat rapih dan mewah. Tak henti-hentinya Mawar berdecak kagum, melihat ruangan yang bernuansa abu-abu itu. Sangat cocok dengan karakter Rendra yang dingin. "Kamar aku di mana?" tanya Mawar pada Rendra saat gadis itu sudah mendudukkan dirinya di atas sofa. "Di sini," kata Rendra sambil menunjuk ke arah pintu berwarna hitam. "Oh ...." Mawar mengangguk. "Terus, kamar kamu di mana? Di sebelahnya?" tanya Mawar penasaran. "Di sini," Rendra kembali menunjuk kamar yang sama. "Lho? Kita tinggal di kamar yang sama? Terus, ruangan itu tempat apa?" "Ruang kerja." Sudah, setelah itu percakapan pun berakhir. Rendra masuk ke dalam ruang kerjanya, sedangkan Mawar masih duduk di atas sofa. Mata gadis itu menjelajah setiap sudut ruangan. Lalu matanya tertuju ke arah dapur. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, sebentar lagi memasuki waktu makan malam. Ia pun berjalan menuju dapur, dan melihat apakah ada beras di sana atau tidak. Setelah itu, Mawar pun mencuci beras dan memasukannya ke dalam rice cooker. Dia pun menghangatkan makanan yang diberikan oleh mamanya. Saat sedang memanaskan makanan, ingatan tentang mamanya kembali hadir. Ini kali pertama Mawar jauh dari sang Mama. Sehari pun belum, tapi rasa rindu sudah menyeruak di dalam hatinya. Dia mengambil ponsel miliknya, dan melakukan panggilan video dengan mamanya. Tak menunggu lama, panggilannya sudah diangkat oleh mamanya. "Mama!" sapa Mawar dengan riang. "Hai, Sayang. Udah nyampe?" tanya Desri dengan nada khawatir. "Iya, udah. Mama lagi apa? Udah makan?" tanya Mawar khawatir. "Mama lagi duduk aja, Sayang. Nanti, sebentar lagi, nunggu Mirna sama Herman dulu." "Emang mama sama ayah kemana?" "Lagi ngambil baju ke rumah mereka." Mawar mengangguk, lalu dia pun bercerita jika sekarang dirinya tinggal di sebuah apartemen yang mewah. Dan mengatakan pada Desri untuk tidak mencemaskan dirinya. Setelah melakukan panggilan video, Mawar pun memutuskan untuk mandi. Ia masuk ke dalam kamar yang Rendra maksud, sambil membawa koper miliknya. Dia melihat kamar itu dengan perasaan kagum. Kamar milik suaminya lebih luas dibandingkan dengan kamar miliknya. Lalu Mawar pun merapikan baju-bajunya, dan memasukannya ke dalam lemari. Setelah dirinya selesai merapihkan baju-bajunya, dia berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar itu. Ia mandi dengan menggunakan air hangat. Untuk melemaskan otot-ototnya, agar tidak kaku. Setelah selesai mandi Mawar pun keluar dengan menggunakan bathrobe, dan handuk yang melilit rambutnya. Saat ia keluar dari kamar mandi, matanya tertuju pada sebuah pigura foto yang ada di atas nakas. Ia melihat jika itu adalah Rendra suaminya, dan ... seorang wanita? Paras sang wanita terasa sangat tidak asing, saat dirinya akan mengambil pigura itu untuk memperjelas penglihatannya. Tiba-tiba pintu terbuka. "Ngapain Lo?" tanya Rendra saat melihat Mawar sedang menggenggam sebuah pigura foto. Mawar yang terkejut dengan kehadiran Rendra yang tiba-tiba, tak sengaja menjatuhkan pigura itu. Hingga pecah, dan kacanya berserakan dimana-mana. Wajah Rendra berubah menjadi murka. Ia berjalan mendekati Mawar, lalu berjongkok dan mengambil foto itu yang sudah terjatuh di atas lantai. "Jangan pernah pegang-pegang barang yang ada di rumah ini, ngerti? Lo jangan berlagak berlebihan, deh! Gue juga lalo bukan karena paksaan nyokap gue, gue ga mau nikah sama Lo!" Setelah mengatakan itu, Rendra keluar dan membanting pintu dengan cukup keras. Sedangkan Mawar, gadis itu hanya terdiam. Dia pun berjongkok untuk membersihkan sisa-sisa kaca yang pecah. Tapi sayangnya malah tangannya yang tergores. Perih? Iya, tapi hatinya yang perih. Bukan tangannya yang terkena goresan kaca itu. "Ma, apakah menikah itu seperti ini? Perih, sakit. Padahal, bukan dia satu-satunya yang menderita akan pernikahan ini. Tapi aku juga ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN