Bab 4 Malam Panas

1071 Kata
Namun, gairah telah sepenuhnya menuntut untuk dipuaskan. Dalam satu hentakan dia menyatukan tubuh mereka. Amelia merasakan sengatan rasa sakit. Namun dia menggigit bibir, menahan erangan. Dia yang menginginkan ini. Ini keputusan dan pilihannya sendiri. Dengan kesadaran itu, Amelia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya berayun seiring gerakan pria di atasnya. ‘Jadi seperti inilah rasanya,’ batin Amelia, pada akhirnya tak mampu menahan desahan dan erangan lolos dari bibirnya. ** Peluh masih membasahi kulit, helaian rambut Amelia menempel di pelipis. Napasnya berat, terengah, sementara jantungnya seolah memukul-mukul dari dalam d@da. Seluruh tubuhnya melemah, setiap otot masih gemetar oleh sisa ledakan emosi yang baru saja menguasainya. Semua akhirnya usai. Pria itu melepas rengkuhan tangan kokohnya dan jatuh rebah di sampingnya, setelah melenguh puas untuk kedua kalinya. Mata Amelia terasa berat, hampir tertutup, tetapi pikirannya tidak kabur sedikit pun. Justru terlalu jernih, terlalu sadar akan semua yang baru saja terjadi. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan debar yang terus menggema. Ada sengatan rasa nyeri yang membuatnya semakin menyadari satu hal—malam ini ia telah melangkah ke titik yang tidak akan pernah bisa ia kembalikan lagi. ‘Jadi… beginikah rasanya menjadi seorang wanita seutuhnya?’ pikirnya takjub. Di bibirnya bergerak perlahan, entah senyum atau sekadar refleks yang lahir dari keterkejutan. Amelia melirik ke samping. Di sana, Matteo sudah tertidur lelap. Nafasnya tenang, wajahnya begitu damai—kontras dengan gairah buas yang ia tunjukkan beberapa waktu lalu. Amelia terpaku menatapnya. Wajah pria itu… ‘Ya Tuhan. Dia bukan hanya titisan, tapi benar-benar jelmaan dewa Yunani.’ Dari jarak sedekat ini, Amelia bisa melihat garis rahangnya yang tegas, hidungnya yang sempurna, dan bulu mata yang panjang seakan melingkupi mata yang tadi menatapnya dengan bara. ‘Sayang sekali… aku akan menikah dengan pria lain,’ batinnya, sebuah rasa getir menyusup di balik kepuasan aneh yang masih bergetar samar. ‘Kalau tidak… aku bersedia bersamanya, walau hanya menjadi pacar bayangan.’ Jemarinya—tanpa sadar—menggurat udara beberapa sentimeter di atas wajah Matteo, seperti ingin menghafal bentuknya. Setiap lekuk, setiap garis wajahnya. Amelia menatapnya sekali lagi, tahu bahwa ini adalah pertama dan terakhir kali ia melihatnya dari jarak sedekat ini. Ia berbaring menyamping, masih menatap pria itu dari samping. Matteo bergerak sedikit, menarik napas panjang, lalu kembali tenang. Amelia memejamkan mata, memateraikan ketampanan itu dalam memorinya. Sebuah kenangan… yang akan ia bawa, entah ia mau atau tidak, selama sisa hidupnya. Detik-detik terasa melambat, hanya terdengar dengung AC dan tarikan napas pria itu. Hingga akhirnya, kelopak mata Amelia menyerah, membiarkannya ikut tenggelam ke dalam tidur. Sementara di dalam hatinya, satu pikiran terakhir berputar, ‘Malam ini… akan selalu menjadi rahasiaku.’ ** Amelia menggeliat pelan, kelopak matanya berat, namun kesadaran mulai kembali. Dia melirik ke sisi ranjang di sebelahnya, sudah kosong. Amelia merasa lega kalau pria itu sudah pergi, karena itu berarti urusannya sudah selesai. Tapi pandangannya langsung terarah ke kamar mandi, begitu telinganya menangkap suara gemericik air dari sana. Amelia mengerjap, menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Dia segera terduduk, menyadari apa yang sudah dia lakukan. Dia tak boleh berlama-lama di sini. Kalau tidak, cerita ini akan meluncur keluar dari kendali yang sudah ia rencanakan. Tujuannya sudah tercapai. Kehormatannya… telah ia serahkan kepada pria yang menurutnya jauh lebih pantas daripada Kenneth, si br3ngsek itu. Menyentakkan selimut dari tubuhnya, Amelia langsung merasakan nyeri di bagian bawah tubuhnya. Ia berusaha turun dari ranjang sambil menggigit bibir, sia-sia menahan desis pelan yang tetap lolos. Peluh dingin muncul di tengkuknya saat ia meraih gaun yang tergeletak kusut di lantai. Jemarinya bergerak cepat mengenakannya, namun ia tertegun. Robekan di bagian depan gaun cukup lebar. “Br3ngsek…” bisiknya nyaris tak terdengar, lebih kepada dirinya sendiri. Matanya berkeliling, mencari sesuatu untuk menutup tubuhnya. Tatapannya berhenti pada kemeja pria itu yang teronggok di lantai. Ia meraih kemeja tersebut, aromanya langsung menyeruak—aroma maskulin yang tajam. Amelia mengenakan kemeja itu, kebesaran, membuat tubuhnya nyaris tenggelam, namun cukup untuk menutupi bagian d@da gaunnya yang robek. Ia berjalan tergesa keluar dari kamar suite itu, takut pria itu keburu keluar dari kamar mandi. Yang ada di pikirannya hanya satu, segera pergi dari sana, dan melupakan semua yang sudah mereka lewati semalam. ** Matteo berdiri mematung di tengah kamar ruang suite dengan hanya berbalut handuk yang melingkar di pinggang, dan air yang masih meleleh dari rambutnya yang basah kuyup. Ranjang itu sudah kosong. Padahal sebelum dia masuk kamar mandi, gadis itu masih tertidur lelap di sana. ‘Kemana dia pergi?’ Dia celingukan mencari di setiap sudut ruang suite, tapi hanya keheningan yang terasa di sana. Tidak ada orang lain selain dirinya. Matteo kembali ke ruang tidur. Pandangannya melayang ke atas ranjang—selimut tersingkap, sprei sedikit kusut, dan di sana… tepat di tengah, sebuah noda merah tergambar jelas. Matanya menyipit dengan nafas tertahan. "Tidak mungkin…" gumamnya, hampir tanpa suara. Ia melangkah pelan, mendekati ranjang. Noda merah itu sudah mengering, tapi cukup jelas untuk memberitahu satu hal, gadis itu… masih perawan. Matteo menghela nafas panjang, namun dadanya justru terasa makin sesak. Bayangan wajah gadis itu kembali muncul dalam pikirannya—mata beningnya yang semalam sempat memandangnya dengan campuran gugup dan tekad, napas terputus-putus saat memeluknya erat. Dia tidak ingat kapan terakhir kali bertemu perempuan seperti itu. Bukan… dia bahkan tidak pernah. "Siapa kamu sebenarnya…?" Matteo menggumam, suaranya serak, hampir seperti orang yang baru kehilangan sesuatu yang tak sempat ia genggam dengan baik. Rasanya aneh. Selama ini, Matteo selalu berpikir hubungan fisik hanyalah permainan, bagian dari insting pria dewasa dengan vitalitas tinggi. Tetapi kali ini, ada sensasi yang menempel lebih dalam dari sekadar fisik—ada kesan yang meninggalkan jejak, persis seperti noda di sprei itu. Ia melirik ke arah pintu suite yang sudah tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda gadis itu akan kembali. Tidak ada pesan atau nomor telepon di atas meja, bahkan aroma parfumnya pun mulai memudar di udara. Matteo tersenyum miring, namun tatapan matanya tajam penuh tanya. ‘Kau lari… tapi untuk apa? Kau menyerahkan sesuatu yang begitu berharga, lalu menghilang seperti ini? Gadis macam apa kau ini?’ Matteo meraih ponselnya, jemarinya bergerak cepat, bermaksud memanggil seseorang. Ia baru saja akan menekan nomor asistennya, namun, ponselnya sudah bergetar lebih dulu dan layar menampilkan nama asistennya. Matteo mengangkatnya sambil menghela napas, “Ya, Liam?” Suara cerah asistennya langsung menyapa telinga. “Selamat pagi, Tuan Hayes. Semua karyawan sudah berkumpul. Agenda pertama pagi ini—” “Apa?” Matteo mendadak tegak. “Kau bilang semua karyawan?” “Ya, Sir. Mereka menunggu Anda di aula utama. Pagi ini perkenalan resmi Anda sebagai CEO baru.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN