“Apa yang kau inginkan sebenarnya, bella? Kau sengaja mau menggodaku?”
Amelia tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan polos yang bisa membuat pria manapun luluh. Jari tangannya secara provokatif malah menyentuh d@da telanjang pria itu.
Dalam hati Amelia tersenyum, keberhasilan rencananya sudah separuh jalan.
Matteo mengembuskan napas, setengah frustrasi pada dirinya sendiri. “Gadis kecil, kau benar-benar tidak tahu dengan siapa kau bermain.”
Dia membungkuk dan tangan kirinya segera meraih belakang paha Amelia, lalu mengangkatnya dengan mudah ke dalam gendongan. Mereka masuk ke dalam lift yang akan membawa mereka ke lantai kamar suitenya.
Kepala Amelia rebah di bahu Matteo sambil kedua lengannya melingkari leher kokoh itu erat. Ia terkekeh pelan, berlagak seolah sudah sangat mabuk. Hembusan napasnya mengenai telinga pria itu. Sama sekali tidak menyadari kalau tawa itu seperti percikan bensin di atas bara.
Matteo berjalan cepat menuju pintu kamar suitenya, setiap detik sadar bahwa singa yang selama ini ia jinakkan… sudah sepenuhnya terbangun.
Pintu suite menutup dengan bunyi klik yang terlalu nyaring di telinga Matteo. Dia terus ke kamar dan meletakkan Amelia di ujung ranjang king size, tapi gadis itu tidak langsung melepasnya—tangan mungilnya justru bertahan di kerah kemejanya, membuat Matteo terhenti di tempat.
“Tolong jangan buat aku melakukannya dengan kasar,”cetus Matteo, dengan berat hati mendorong tubuh Amelia rebah di atas ranjang.
Seprei putih itu dingin menyentuh punggung Amelia, tapi hawa di ruangan justru terasa memanas. Amelia terbaring telentang, membiarkan napasnya teratur seolah-olah ia benar-benar kalah oleh alkohol. Padahal, pikirannya masih bekerja jernih—menghitung, menimbang, dan memutuskan langkah berikutnya.
Di tepi ranjang, Matteo berdiri bagai bayangan besar yang menutup sebagian cahaya lampu. Jemarinya mulai membuka kancing kemeja putihnya satu per satu, gerakannya tidak tergesa tapi penuh keyakinan.
Amelia menatap, pura-pura setengah sadar, membiarkan bibirnya terbuka sedikit seolah ia kehilangan kendali.
Di balik kemeja yang perlahan terbuka, otot-otot d@da Matteo terdefinisi jelas, seperti dipahat dengan teliti. Ada guratan tipis di sekitar perutnya, membentuk garis-garis tajam yang menuntun mata Amelia turun, dan turun lagi. Kulitnya kecokelatan, berkilat samar di bawah cahaya lampu.
‘Ya Tuhan… Dia memang benar-benar dewa seks.’
Amelia terjebak antara rasa puas melihat pria yang dia pilih dan perasaan benci membayangkan setelah ini dia akan menjadi istri dari pria yang paling tidak dia inginkan di dunia.
Amelia masih memperhatikan pria itu. Beberapa tato terlihat di lengan dan d**a. Ia tidak hanya tampan—ia berbahaya. Aura dingin berkuasa dan sepasang mata dinginnya yang tertuju padanya membuat Amelia sadar, ternyata yang telah ia pilih bukanlah pria sembarangan.
Amelia merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Dia sudah terjun dalam permainan yang menuntut keberanian.
Sementara Matteo menatapnya dengan mata gelap, tatapan yang seperti sedang mengukur berapa lama ia bisa menahan diri. Di matanya, Amelia hanyalah seekor rusa muda yang terjebak di hadapan seekor singa lapar.
Gaun yang ia kenakan tersingkap sedikit ke atas, membiarkan kulit pahanya yang putih dan halus terekspos. Matteo tidak berusaha menyembunyikan bahwa pandangannya jatuh ke sana. Napasnya dalam, bahunya naik-turun perlahan, seolah sedang menimbang apakah ia akan menelan godaan itu mentah-mentah atau bermain lebih lama.
Amelia memalingkan wajahnya sedikit, membiarkan rambutnya yang harum jatuh menutupi sebagian pipi. Ia tahu bau tubuhnya—perpaduan vanilla dan sesuatu yang lebih liar. Itu adalah kombinasi sempurna untuk menggoda seorang pria.
‘Ayo, Matteo… hadiahmu sudah menunggu…’ batinnya.
Tapi di saat yang sama, ia juga sadar, seekor singa yang terbangun mungkin tidak mudah untuk dikendalikan lagi.
Amelia bergerak lagi, tidak sadar gerakannya terlihat seperti geliat wanita pengg0da.
Matteo bergerak cepat, nyaris tak kuat menahan godaan penampilan kontras Amelia. Wajah cantiknya begitu polos, tapi setiap gerak geriknya begitu mengundang. Lekuk tubuhnya yang sempurna membuat benteng pertahanan Matteo jebol.
Kendali dirinya hancur. Dia segera naik ke atas ranjang. Tubuh besarnya membuat ranjang berguncang sedikit. Nafasnya berat, mendesak, seakan seluruh udara di ruangan itu tak cukup untuk mereka berdua.
Suara gesekan kain terdengar nyaring di telinga Amelia, diikuti kreeesshh—bagian atas gaunnya tercabik begitu saja.
Amelia menahan napas. Jantungnya berpacu kencang, bukan hanya karena kaget, tapi karena kilatan di mata pria itu yang menyambar bagai lidah api. Tatapan Matteo menyapu setiap inci kulitnya yang terbuka, liar, tanpa tedeng aling-aling, namun juga penuh aura berkuasa.
Keheningan sesaat terasa mencekik. Matteo menunduk, jemarinya yang hangat namun keras menyusuri sisi lengannya, membuat bulu kuduk Amelia meremang. Dari jarak sedekat itu, Amelia bisa mencium aroma maskulin yang pekat—campuran wangi kayu cendana dan alkohol mahal.
‘Fokus, Amelia… ini cuma permainan. Setelah ini selesai kamu bisa menjalani perkawinan tanpa cinta dengan laki-laki b******k itu,’
Amelia terus menyemangati dirinya sendiri.
Tapi tubuhnya punya bahasa sendiri. Setiap sentuhan Matteo seperti memanggil naluri yang berusaha dia kunci rapat-rapat. Dia tahu apa yang harus dia lakukan, tapi sulit mengabaikan kenyataan bahwa pria ini terlalu… memabukkan.
Matteo mendekatkan wajahnya, bayangan rahangnya yang tegas menutupi sebagian pandangannya. Suaranya berat, hampir berbisik, namun mengandung ancaman manis,
"Kalau kau datang padaku seperti ini, jangan berharap aku akan berhenti, bella."
Kata-kata itu membuat napas Amelia tercekat. Tubuhnya merespons sentuhan Matteo. Pandangan mereka bertemu dalam jarak dekat.
Dia tampan sekali, dan aroma maskulinnya membungkus Amelia, mengikat kewarasannya dalam rengkuhan hasrat dan keinginan menyerahkan diri seutuhnya pada pria itu.
Kenneth bahkan tidak bisa mencapai separuh ketampanan dan karisma pria ini.
"Kamu yang membangunkannya..." Desis pria itu. Matanya menatap nanar wanita pasrah di bawah tubuhnya dari sela bulu matanya yang bergetar.
Matteo menutup matanya sesaat, lalu membukanya kembali dengan tatapan yang jauh lebih gelap. “Kau pikir kau bisa bermain-main dengan singa, dan keluar tanpa lecet?”
Senyum Amelia tak berubah. “Tergantung… singanya mau menggigit, atau hanya mengaum.”
Senyum Amelia lenyap dalam ciuman pria itu. Bukan ciuman ringan, tapi ciuman panas dan basah yang menuntut, memaksa bibirnya membuka dan menerima kehadirannya, menjelajah semakin dalam.
Amelia nyaris sulit bernapas, tidak bisa menjauh karena tangan kokoh itu menahan belakang kepalanya. Dia mengerang di dalam mulut pria itu. Hasrat yang selama ini terikat dalam kendali diri yang kuat sekarang terlepas. Dia meleleh pasrah ketika di tengah ciuman itu tangan Matteo bergerak liar di titik-titik sensitif tubuhnya.
Ini pertama kali seorang pria menyentuh tubuhnya dan berada dalam posisi seintim ini. Amelia terkejut menyadari dadanya berdebar, menanti apa yang akan diberikan oleh pemilik tubuh kekar yang sedang menidihnya ini.
Sedikit mabuk yang sebelumnya diberikan oleh anggur yang dia minum lenyap sepenuhnya. Yang ada dalam dirinya adalah hasrat yang membakar, dorongan untuk menyerahkan diri seutuhnya pada pria pilihannya ini. Dia yakin, pria ini tidak akan mengecewakan.
Amelia memekik kecil, desahan dan erangannya meningkat seiring sentuhan yang semakin intens di area sensitif tubuhnya.
“Kamu sangat menginginkannya, heh?” desis pria itu di telinganya.
Hembusan napas hangat mengenai kuping, Amelia menggelinjang. Gelenyar gairah semakin merambati sekujur tubuhnya.
Matteo tidak bisa menahan diri lebih lama. Dia merentangkan kaki gadis yang terasa seperti bola api di bawah tubuhnya, membuatnya ingin segera menyatukan tubuh mereka.