Bab 15. Hutang Caleb

1125 Kata
Caleb menepis kepala James, karena James yang masih menatap pintu kamar yang baru saja ditutup dari luar oleh Kara. Dia tahu James yang sudah tertarik dengan pengasuhnya. “Pa,” decak James dan dia tertawa malu. Huda mengulum senyumnya, mengakui Kara yang memang memesona bagi siapa yang baru atau sudah mengenalnya. “Kamu itu sama saja dengan papamu, genit,” ujarnya. Caleb berdecak, tidak terima akan kata-kata Huda yang menyindirnya. “Hei, aku sudah tidak genit lagi, Huda, aku sudah minta ampun kepadamu, ‘kan?” “Maksudku sama dengan kelakuan kamu yang dulu, Caleb,” ujar Huda meralat, tapi sambil menggerutu. James senang melihat papa dan mamanya yang akur, meskipun sedang beradu argumen. Keadaan ini benar-benar membuatnya lupa masalah beratnya dengan sang kekasih di Amerika. Masih mengingat keduanya yang kerap bertengkar di masa lalu, hampir setiap hari karena masalah yang serupa, papa yang suka main perempuan, dan mama yang tentu saja cemburu. “Hei, bagaimana dengan Devina?” tanya Caleb tiba-tiba. James menghela napas pendek, tadinya dia hampir melupakan masalahnya, tapi malah papanya yang mengingatkannya. “Aku dan dia sudah berakhir,” jawabnya, dan dia tidak tahu kenapa merasa lega saat mengatakannya. “Ha. Putus?” kaget Huda. “Setelah hampir enam tahun?” James mengangguk. “Iya, Ma.” Caleb juga ikut terkejut. “Wow, enam tahun … dan putus?” James mengangguk lemah. Huda mendekap bahu James, seolah memberi kode agar James tidak dulu membahas percintaannya yang kandas dengan Devina di depan papanya yang sedang sakit. “Tapi aku oke dengan itu. Hm … aku jadi lebih bebas, Pa,” ujar James, dengan sengaja merubah ekspresi wajahnya lebih ceria, padahal hatinya masih terluka. “Ya, ya. Begitulah dunia percintaan. Mungkin kamu yang terlalu lama berpacaran dengannya. Ah, pasti membosankan,” ujar Caleb, menduga anaknya yang baik-baik saja setelah putus dari kekasihnya. “Masih banyak yang lain, banyak sekali perempuan di dunia ini yang jauh lebih baik dari Devina, James.” Caleb menepuk-nepuk lengan James dengan pukulan lemahnya. “Hei, biarkan saja dia sendiri dulu, Caleb. Jangan dulu suruh cari pacar,” sela Huda, tidak sepakat dengan kata-kata suaminya yang seolah memprovokasi James untuk segera mencari pengganti Devina. “Aku hanya ingin menenangkannya, Huda. Hm … satu hal….” Caleb menggantungkan ucapannya. Huda dan James menunggu kelanjutan kata-kata Caleb. “Jangan Lovely,” bisik Caleb. “Dia milikku.” Huda mencebikkan bibirnya dan James tertawa lepas. “Pa, aku tadi mendengar kamu punya hutang dengannya, hutang apa, Pa?” tanya James tiba-tiba. Entahlah, dia merasa papanya memiliki hutang dengan Kara dan bukan hutang uang. Caleb menoleh ke arah Huda yang juga sedang menunggu jawabannya. “Dia hutang satu ciuman untukku,” ujarnya, menurutnya tidak ada gunanya lagi bersembunyi dari Huda, istri setianya. Huda mendengus tersenyum, dia tahu kedekatan Kara dan suaminya dan tahu pula keprbadian Kara, tidak seperti perempuan-perempuan muda pada umumnya yang hanya memanfaatkan harta Caleb untuk memuaskan keinginan, dan mereka yang sama sekali tidak mempedulikan Caleb. James menggeleng tertawa, menduga papanya hanya bercanda dengan keadaan. “Ya, dia janji akan menciumku jika aku sudah mau mandi, tapi … dia tidak juga memberiku ciuman itu.” “Lip kiss?” tanya James iseng. “Pipi, James! Pipi! Ah, kamu. Lovely bukan perempuan serampangan.” “Ya, ya. Aku tau, Pa. Jangan marah begitu, aku baru pulang menemui Papa.” “Ah, kamu pulang sudah beberapa hari di Jakarta, dan hari ini kamu baru pulang ke siini.” James mengulum senyumnya, senang melihat keadaan papanya yang jauh lebih baik, dan masih dengan candaan khasnya. Cukup lama James berada di dalam kamar orang tuanya dan berbincang banyak hal, sampai Caleb pun tertidur lelap. “Hm … jadi Michael sedang di Sangatta?” tanya James ke mamanya saat baru saja ke luar dari kamar. “Iya. Dia di sana selama tiga bulan, sedang ada proyek besar, sekalian mengurus tambang papamu yang bermasalah.” James manggut-manggut. “Apa mereka masih nggak teguran, Ma?” tanya James lagi. Setahunya hubungan Michael dan Caleb buruk dalam dua tahun terakhir, karena Michael yang tidak mematuhi saran papanya untuk tidak dulu membangun jaringan baru karena keadaan keuangan perusahaan yang tidak stabil. Namun, Michael tetap mendirikan cabang perusahaan, dan apa yang dikhawatirkan Caleb terjadi, keadaan keuangan yang terpuruk, dan Michael yang harus bertanggung jawab. “Ya, masih begitu-begitu saja, James. Meskipun Michael sudah membayar semua dan lunas, tapi papamu masih kesal, ogah-ogahan kalo Michael datang ke sini.” James menghela napas berat. Dia sendiri juga sebenarnya memiliki hubungan yang kurang baik dengan kakaknya, terkait kelakuan Michael yang mirip dengan kelakuan papanya. “Oiya, apa kamu tau Michelle sudah resmi jadi keponakanmu?” tanya Huda tiba-tiba. “Ya, ya. Aku sudah tahu itu. Aku berencana akan bertemu dengannya lusa ini.” Huda menangkat alisnya, tidak begitu antusias, karena dia sendiri yang tidak dekat dengan Michelle. “James,” desah Huda tiba-tiba dan langkah keduanya terhenti di sekat ruang. “Ya, Ma?” “Doakan tahun ini Michael menikah.” James tentu saja terkejut. “Michael menikah?” Huda mengangguk. “Dengan Freya, keponakan tante Busyra.” “Oh, ya … aku akan mendoakan.” “Kamu mengenal Freya, ‘kan?” James mendengus tersenyum, dan mengangguk. “Ya, aku mengenalnya. Dia lulusan Cambridge, bukan?” “Benar sekali. Ah.” Huda berdecak tiba-tiba, seolah menyadari tentang suatu hal. “Apa, Ma?” Huda tertawa kecil. “Nggak ada apa-apa. Seandainya Mama tahu kamu putus dari Devina, menurut Mama Freya lebih cocok dengan kamu. Seumuran dan latar pendidikan yang hampir sama.” James terkekeh pelan, “Aku baru putus, Ma. Masih trauma.” “Ya, Mama tau itu.” “Emangnya Michael sudah mau menikah?” “Doakan saja, James. Tante Busyra lapor ke mama bahwa Freya sudah diajak Michael bertemu Michelle.” “Oh ya?” James manggut-manggut, turut senang dengan kabar baik ini. “James, ada ada ada dengan kalian berdua, kamu dan Devina?” tanya Huda. James terdiam, memikirkan jawaban yang tepat, “Terlalu lama … aku bosan dengannya.” Huda tertawa kecil, menggeleng, tidak percaya dengan jawaban James. “Bosan? Lalu kamu sampai pulang ke Jakarta?” “Aku juga bosan di Washington.” “Jangan sampai bilang kamu bosan kuliah.” James menghela napas panjang, tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Tak lama kemudian, Kara muncul dari ruang makan, dan dia sepertinya sudah siap kembali bekerja di kamar Caleb. Dia berjalan mendekati Huda dan James, menunduk dan tersenyum. “Gabriel?” tanya Huda. “Di taman belakang, Bu. Main sama pak Dito," jawab Kara. “Oh, ayo, James, kita ke taman belakang,” ajak Huda bersemangat. James pasrah tangannya ditarik mamanya, dan Kara yang berjalan tegap menuju kamar Caleb. Tampak James memutar kepalanya ke belakang, menatap Kara berjalan tegap menuju kamar papanya dan tersenyum penuh makna. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN