24. Proyek 9: Rival Lama

1683 Kata
“Cel, aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi loh! Kamu apa kabarnya?” Lio hanya tersenyum samar dan tetap bersikap tenang melihat antusiasme kliennya untuk hari ini. Dewi namanya. Gadis yang dulu pernah menjadi teman seangkatan Lio ketika kuliah dan merupakan salah satu dedengkot dalam perkumpulan penggemar untuk pemuda itu. Ketika diminta datang untuk melakukan pemotretan foto produk, Lio tidak tahu kalau kliennya adalah Dewi. Begitu melihat sosok kliennya di lokasi, Lio sedikit terkejut. Bagaimanapun juga, perempuan ini memiliki andil dalam kacaunya hubungan Lio dengan gadis yang ia cintai sejak dulu. Bukan penyebab utama, tetapi ikut memperkeruh keadaan. Namun, seorang Lio akan berusaha tetap bersikap profesional meski ada hal yang mengganjal perasaannya. Bagi Lio, pekerjaan adalah pekerjaan. “Aku baik, Wi. Kamu bagaimana?” “Aku sih gini-gini aja, Cel.” “Hebat kamu sudah bisa launching produk sendiri.” Lio memberikan pujian demi kesopanan. Pekerjaan Lio hari ini memang mengambil gambar produk kosmetik yang akan Dewi pasarkan dalam waktu dekat. “Ini bukan produk aku, Cel. Ini cuma branding ulang produknya orang tua aku.” “Tetap saja keren, Wi.” “Kamu lebih keren, Cel." Dewi menyentuh lengan Lio sekilas. "Bisa bangun studio sendiri.” “Ini juga bukan punya aku, Wi. Ini punya om aku, aku cuma bantu menjalankan saja.” “Tetap aja keren, Cel. Tingkat kegantengan kamu naik berlipat-lipat pas beraksi pake kamera gini," ujar Dewi genit. “Biasa saja, Wi.” Sejak tadi, Lio menjawab singkat-singkat dan formal, tetapi sepertinya Dewi tidak menyadari kalau pemuda itu menjaga jarak darinya. “Dulu aku kira kamu bercanda pas bilang mau fokus di fotografi, ternyata beneran ya.” Lio tersenyum singkat. Ia mulai gerah dengan basa-basi ini dan segera berusaha mencari pengalihan “Wi, talent buat foto produk kamu mana?” “Lagi dirias. Bentar lagi selesai kayaknya.” Sambil menunggu model untuk foto produk Dewi selesai dirias, perempuan itu terus saja menempel pada Lio dan tidak henti mengajaknya berbincang. Sekitar 15 menit kemudian, barulah sang model datang. “Nah, itu dia!” seru Dewi sambil melambai memanggil sang model yang berjalan mendekat diiringi seorang penata rias di belakangnya. Begitu mengenali penata rias yang berjalan di belakang sang model, senyum Lio langsung mengembang. “Kamu yang rias?” “Kamu kenal, Cel?” tanya Dewi heran mendengar betapa hangatnya nada bicara Lio ketika menyapa sang penata rias. “Aku sama Mia sudah sering kerja bareng, Wi.” Sementara Lio merasa lega melihat kehadiran Mia, gadis itu sebaliknya. Perasaan gusar mulai menyerang Mia ketika mengenali sosok orang yang membayarnya untuk merias sang model hari ini. Dewi mengamati wajah Mia lekat-lekat, berusaha mengenalinya. “Bentar bentar. Ini Mia yang dulu junior kita di kampus bukan sih?” “Iya.” Lio mengangguk cepat. “Yang pernah deket sama kamu itu kan?” tanya Dewi tidak suka. “Hm.” Kembali Lio mengangguk. “Ck ck ck!" Dewi langsung berdecak sinis. "Masih aja buntutin kamu sampe sekarang.” Melihat tatapan Dewi saat ini, seketika Mia teringat kejadian bertahun-tahun lalu. “Na, talentnya udah siap buat difoto?” tanya Lio untuk mengalihkan pembicaraan. “Udah.” Lio tersenyum ramah ke arah sang model. “Kita langsung ke set aja ya.” “Tunggu!” cegah Dewi. “Kenapa, Wi?” tanya Lio heran. Perempuan itu segera berjalan ke depan sang model, memandanginya sedemikian rupa, kemudian berujar angkuh sambil beralih pandang pada Mia. “Riasannya bisa diperbaiki dulu enggak?” “Ada yang salah dengan riasannya?” tanya Mia kaku. Dewi mengangkat bahunya dengan gaya menyebalkan. “Kayaknya terlalu pucet deh, dipertegas dong warnanya!” “Kita coba dulu aja di set," sela Lio. Ia tidak ingin terjadi keributan di sini. "Mungkin di sini kurang terlihat, tapi waktu kena lighting bisa aja udah pas.” Dewi menatap gusar pada Lio. Jengkel karena pemuda itu terlihat memihak Mia. Namun, Dewi tidak bisa langsung membantah. Diturutinya juga usul Lio. Dewi terus mengamati dengan jengkel ketika Lio mengambil gambar sang model dengan produknya. “Bagaimana?” tanya Lio sambil menunjukkan hasil jepretannya di kamera. “Aku enggak suka, terlalu pucat,” ujar Dewi angkuh. “Jadi kayak mayat. Ini kan konsepnya cheerful, tapi keliatannya malah kayak dandanan berkabung.” Lio mengangguk paham dan tetap menampilkan wajah tenang. Perlahan, ia menghampiri Mia dan bertanya baik-baik. “Na, boleh tolong ditambah sedikit?” “Oke.” Mia mengangguk kaku. Bukan karena permintaan Lio, melainkan karena ia malas berdebat. “Jangan lupa rambutnya tuh!” seru Dewi dari tempatnya berdiri. “Standar banget sih. Buat lebih ceria bisa kan?” Lio kembali menatap Mia penuh harap. “Na?” “Oke.” Kembali Mia mengangguk kaku. “Kamu masih perhatian aja ya sama dia,” ujar Dewi sinis ketika Mia menghilang bersama sang model untuk memperbaiki riasan sesuai permintaannya. “Memangnya tidak boleh?” balas Lio datar. “Apa hebatnya dia sih sampe kamu kayaknya memuja dia banget dari dulu?” “Wi, kita bahas pekerjaan saja ya. Urusan di luar pekerjaan tolong diabaikan,” pinta Lio tegas. Usai ditanggapi demikian oleh Lio, Dewi jadi segan untuk bertanya lagi. Namun, Dewi diam dengan memendam kedongkolan. Ia sudah bertekad akan terus mencari gara-gara dengan Mia setelah ini. Sekitar setengah jam kemudian, Mia kembali bersama sang model. “Udah, Na?” tanya Lio lembut. Mia tidak menjawab apa-apa, hanya balas menatap Lio dengan gusar. Perasaannya mengatakan Dewi akan melanjutkan mencari-cari kesalahannya. Dewi menghampiri sang model kemudian mengernyit tidak suka. “Kenapa jadi kayak gini sih?” tanya Dewi ketus. “Kenapa lagi, Wi?” sahut Lio. “Tebel banget riasannya. Jadi menor. Norak.” Kesabaran Lio mulai menipis melihat tingkah tidak jelas Dewi. Namun, ia masih berusaha untuk tidak terpancing. “Wi, tadi kan kamu yang minta ditebalkan.” “Emang. Tapi bukan jadi kayak badut gini dong!” protes Dewi berapi-api. “Terus itu rambutnya! Norak banget! Emang ini produk anak-anak?” Lio mengembuskan napasnya perlahan. Dalam pandangan Lio sendiri, baik riasan pertama maupun yang kedua ini, tidak ada yang salah. Semua bagus, sempurna bahkan. Begitu juga dengan tatanan rambut. Kalau yang pertama tadi Mia hanya menguncirnya menjadi satu, kini tatanan rambutnya dibentuk menjadi cepol dua. Namun, semua itu masih sesuai dengan konsep kosmetik untuk remaja yang mengusung tema cheerful. Tidak ada yang salah dalam pandangan Lio sebagai seorang fotografer. Ingat! Dia sendiri cukup rewel masalah riasan, tetapi untuk yang kali ini sudah sesuai menurut Lio. “Wi, kamu kenapa sih?” tanya Lio dingin. “Aku kenapa?” balas Dewi dengan nada menyebalkan. “Kenapa kamu terus mengajukan protes yang tidak berdasar?” Pertanyaan Lio membuat Dewi tertawa sinis. “Aku tuh cuma mau minta pelayanan terbaik loh sebagai klien dia. Buat apa bayar mahal-mahal kalo enggak bisa komplain?” tantang Dewi sombong. “Gimana sih kerjanya? Bisa ngerias yang bener enggak sih? Katanya profesional. Katanya makeup artist bagus. Kalo cuma kayak gini sih pembantu aku juga bisa ngerjain.” Lio mengatupkan rahangnya erat-erat untuk beberapa detik. Perlahan, ia menoleh ke arah Mia. “Na, bisa aku pinjam peralatan rias kamu?” “Buat apa?” tanya Mia heran. “Biar aku yang perbaiki sesuai maunya Dewi.” “Enggak bisa gitu dong!” seru Dewi sengit. “Enak banget dia, yang kerja siapa, dia tinggal enak-enakan terima bayaran.” Kesabaran Mia yang aslinya memang tidak tebal-tebal amat, akhirnya habis tak bersisa. Ia sudah muak melihat tingkah Dewi. Semuanya membuat Mia teringat dengan kejadian dulu, dan ia geram. Sejak tadi Mia masih diam dengan pemikiran bahwa Dewi adalah kliennya. Namun, melihat perempuan itu semakin bertingkah, Mia tidak peduli lagi. Dengan berani Mia maju menghampiri Dewi dan berdiri menantangnya. “Maaf ya, Mbak. Mbak ada masalah sama saya?” “Na …,” tegur Lio mengingatkan. Ia meraih tangan Mia dari belakang dan berusaha menarik gadis itu menjauh dari Dewi. Namun, Mia tidak menggubris Lio. Ia tetap menantang Dewi tanpa gentar. “Mbak enggak suka hasil pekerjaan saya?” Melihat sikap Mia yang berani, Dewi sedikit terkejut. “Mbak kalau enggak suka sama pekerjaan saya, kenapa minta saya yang merias buat proyek ini? Mbak kan datang ke kantor saya. Mbak liat portofolio saya. Kenapa tanda tangan kerja sama kalau ngerasa saya enggak becus ngerias?” tanya Mia dengan nada menantang. “Atau Mbak enggak suka sama saya karena saya dulu dekat sama Lio. Gitu?” Mendengar Mia menyebut panggilan spesial itu dengan lantang, Dewi jadi semakin emosi. Ia yang pernah berharap bisa memangil Lio seakrab itu, malah tidak pernah mendapat kesempatan. “Lo nantangin gue?” Dewi maju selangkah lalu mendorong bahu Mia. Mia segera menepis tangan Dewi dengan kasar. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Nantangin apa?” “Gini pelayanan lo sama klien?” tanya Dewi sambil berkacak pinggang. Sikap Dewi yang semakin menjadi membuat Mia melupakan segalanya. Peduli setan dengan urusan pekerjaan! Jiwa premannya langsung bangkit. “Asal lo tau ya. Klien itu ada banyak macemnya,” ujar Mia dingin sambil menatap Dewi dengan pandangan menghina. “Ada yang sok tau, ada yang sok ngatur, ada yang enggak tau apa-apa, ada yang iya-iya aja, ada yang nyebelin, pokoknya banyak. Kalo lo, lo itu klien rese, enggak guna, bayar kecil, tapi ngerasa udah keluar duit gede, sombongnya selangit padahal level hidup lo setara comberan!” Rasanya Mia begitu lega setelah menyemburkan kemarahannya. Seperti membuang kentut yang sejak lama ditahan-tahan rasanya. “Nona!” tegur Lio terkejut. Ia tidak menyangka Mia akan seberani ini menghadapi Dewi. “Kenapa?” Kini Mia membalik tubuh dan menatap tajam ke arah Lio. “Enggak suka aku ngomong gitu? Mau belain dia? Ikutan tersinggung?” “Na, kenapa jadi marah-marah sama aku?” tanya Lio bingung. “Terus aku harus marah sama siapa?” balas Mia gusar. “Kalo bukan gara-gara kamu, emangnya dia bakal injek-injek aku kayak gini?” Lio menatap Mia tidak mengerti. “Maksud kamu apa, Na?” “Dari dulu enggak berubah,” desis Mia marah. “Enggak paham-paham juga!” “Kamu mau ke mana?” Lio menyambar lengan Mia, mencegah gadis itu berlalu. “Pergi!” sahut Mia ketus. “Kerjaannya?” “Bodo amat!” seru Mia tidak peduli. “Batalin aja sekalian. Aku enggak takut.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN