Hayu memasak sarapan pagi dengan bahan sayuran organik yang diberikan oleh Mahesa kemarin. Dia memasak sayuran itu dengan hati-hati dan menyajikannya di meja makan.
Berlian sudah duduk di meja, tapi pikirannya terlihat kosong. Hayu memperhatikan putrinya itu dan merasa sedikit khawatir. “Berlian, apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit sedih hari ini,” ucapnya sambil menyajikan sarapan.
Berlian menggelengkan kepala, “Aku baik-baik saja, Ibu. Hanya sedikit lelah saja.”
Hayu memperhatikan Berlian lebih dekat dan melihat bahwa pikirannya memang kosong, seperti jiwanya melayang entah ke mana. “Apa yang kamu pikirkan, Berlian? Kamu terlihat seperti memikirkan sesuatu yang jauh,” tanyanya dengan rasa ingin tahu.
Berlian tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan makan. Hayu merasa sedikit khawatir tentang keadaan putrinya itu.
Hayu mencoba mengalihkan topik pembicaraan untuk mengalihkan perhatian Berlian yang terlihat merenung.
“Kamu tahu tentang tetangga baru kita, Mahesa?” Hayu bertanya dengan senyum ramah.
Berlian sedikit terkejut, tapi kemudian mengangguk lembut. Hayu melanjutkan, “Aku rasa dia orang baik. Dia murah hati mau memberikan banyak sayur organik pada kita. Aku ingin tahu lebih tentang dia.”
Berlian sedikit tersenyum, penasaran dengan antusiasme Hayu. “Apa yang ingin Ibu tahu tentang Mahesa?” tanyanya, mencoba untuk fokus pada topik baru ini.
Hayu berpikir sejenak sebelum menjawab, “Ibu ingin tahu tentang identitasnya. Dari mana dia berasal? Apa yang dia lakukan sehari-hari? Ibu rasa dia punya cerita menarik di balik senyumannya yang hangat.” Hayu menatap Berlian dengan mata bersemangat. Terlihat bila wanita itu penasaran sekali dengan Mahesa, entah karena apa.
Berlian berpikir sejenak sebelum memberitahukan identitas Mahesa. Dia belum tahu banyak tentang sisi negatif pria itu, hanya bagian luarnya saja yang terlihat baik. Hayu tampaknya sangat tertarik dengan Mahesa, dan Berlian bimbang haruskah memberitahu identitas asli Mahesa yang merupakan target utamanya dalam kasus penipuan Wphone?
Dia mempertimbangkan untuk menyimpannya rapat sampai semua informasi terungkap, tapi dia juga tidak ingin menyembunyikan kebenaran dari Hayu. Berlian tahu bahwa Hayu adalah orang yang bisa dipercaya, tapi dia juga tidak ingin mengambil risiko apapun.
Sementara itu, Hayu menatap Berlian dengan mata penasaran, menunggu jawaban tentang identitas Mahesa. Berlian mengambil napas dalam-dalam, mencoba memutuskan apa yang harus dia lakukan. Apakah dia harus memberitahu Hayu tentang kebenaran Mahesa, atau menyimpannya untuk sementara waktu?
“Menurutku, Mahesa adalah orang yang cukup baik,” kata Berlian, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. “Aku pernah dengar dia seorang duda,” tambahnya, memberikan sedikit informasi yang dia tahu. Data yang ditemukan menyebutkan status Mahesa sebagai seorang duda.
Hayu langsung tertarik. “Duda? Oh, aku baru tahu,” jawabnya dengan rasa penasaran. “Apa yang terjadi pada istrinya?” Hayu bertanya, mencoba mendapatkan lebih banyak informasi.
Berlian menggelengkan kepala. “Aku nggak tahu detailnya. Aku hanya tahu dia seorang duda. Tapi sepertinya dia punya kemampuan di bidang pertanian dan ramah,” katanya, mencoba mengalihkan topik.
Hayu mengangguk, masih memikirkan tentang Mahesa. “Aku rasa dia memang orang baik. Aku suka senyumannya.”
Obrolan mereka terus berlanjut, membahas tentang Mahesa dan kehidupan sehari-hari mereka. Hayu dan Berlian terus bertukar cerita dan pendapat, menikmati sarapan pagi bersama.
Hayu tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang mengejutkan. “Berlian, Ibu rasa kamu harus mencoba membuka hati untuk Mahesa.”
Berlian terkejut, tidak menyangka saja Hayu akan mengatakan hal itu. Kenapa mendadak membahas dan menjodohkannya dengan Mahesa malah?
“Kenapa, Bu?”
“Kamu perlu mencari suami baru, dan Mahesa adalah pilihan yang pas. Dia tampaknya orang yang baik dan perhatian.”
Berlian merasa sedikit tidak nyaman dengan saran Hayu, tapi dia tidak bisa menyangkal bahwa Mahesa memang memiliki kesan yang baik di mata Hayu. Bagaimana bila dia memberitahu yang sebenarnya,apakah ibunya itu masih akan berbaik sangka pada Mahesa?
“Aku nggak tahu, Ibu. Aku belum memikirkan hal itu sama sekali. Baru saja aku bercerai dari Duta. Dan yang lebih terpenting sekarang adalah masalah ayah.” Berlian menjawab datar, mencoba menolak saran tersebut dengan halus.
Hayu hanya tersenyum dan mengangguk. Mungkin sekarang Berlian menolak, tapi karena hatinya saat ini masih panas oleh Duta. Mungkin lain ceritanya bila Berlian sudah tenang hatinya, dia pasti akan membuka hati untuk yang lain.
Hayu yakin Berlian akan mempertimbangkan saran darinya suatu saat nanti.
*
“Bu, aku berangkat kerja dulu. Aku pulang agak sorean nanti. Bila ada tamu yang datang dan nggak dikenal nggak usah diberikan pintu,” pesan Berlian di depan pintu sebelum menutupnya.
Dia harus berangkat kerja lebih awal sekarang sejak tinggal di sini meski dia naik mobil, itu tidak akan mempercepatnya tiba di tempat kerja.
“Ya, tenang saja tak perlu khawatir.”
Di depan rumah, sebelum masuk ke mobil, Berlian bertemu dengan Mahesa. Pria itu juga bersiap untuk bekerja, membawa sepatu boot dan perlengkapan lainnya. Mahesa menyapa Berlian dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Berlian. Kamu mau pergi kerja?”
Berlian membalas sapaannya. “Pagi, Mahesa. Ya, aku mau pergi kerja,” jawabnya datar.
Mereka berbasa-basi sejenak sebelum Mahesa bertanya, “Di mana kamu kerja?”
Berlian berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku programmer di perusahaan Astech.”
Mahesa mengangguk, tertarik. “Oh, perusahaan komputer? Itu kedengarannya menarik. Aku nggak menyangka kamu kerja di sana.”
Mahesa menatap intens Berlian, mengamati detail wajah dan posturnya. Dia terkesan dengan kecantikan alami Berlian yang tidak berlebihan. Wajahnya yang cantik dengan garis-garis halus, mata yang indah, dan rambut yang tergerai dengan rapi, membuat Mahesa merasa tertarik. Posturnya yang tinggi dan proporsional juga menambah kesan elegan.
Meski hanya seorang petani, Mahesa memiliki selera yang baik dalam menilai detail, dan dia merasa Berlian mempunyai keunikan yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Ditambah dengan pengetahuannya bahwa Berlian bekerja sebagai programmer, Mahesa merasa bahwa Berlian memiliki nilai plus sebagai seorang profesional yang cerdas dan berdedikasi.
Entah, Mahesa bukan seorang programmer yang memiliki kemampuan analitis yang baik, tapi dia bisa menilai kemampuan Berlian dari cara wanita itu berbicara dan berinteraksi.
Mahesa berpamitan setelah beberapa saat bicara karena harus segera pergi bekerja. “Sampai jumpa lagi, Berlian. Semoga harimu menyenangkan,” ucapnya dengan senyum.
Berlian membalas sapaannya dan masuk ke dalam mobil. Saat dia duduk di dalam, dia mencoba menyalakan mesin, tapi mobilnya tidak mau jalan meskipun mesinnya sudah menyala.
Berlian terlihat kebingungan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan mobilnya.
Mahesa yang melihat itu kemudian mendekati dan menanyakan ada masalah apa. “Ada masalah apa dengan mobilmu?”
“Aku nggak tahu, mobilku nggak mau jalan meskipun mesinnya sudah menyala,” jelas Berlian.
Mendengar keluhan berlian, Mahesa pun terpanggil untuk membantu wanita itu. Dia pun menawarkan bantuan untuk memeriksanya mungkin saja dia bisa membantu dan Berlian memberikan izin kepadanya untuk memeriksa.
Mahesa memeriksa mobil Berlian dan menemukan masalahnya. “Aki mobilmu lemah, aku bisa memperbaikinya,” terangnya.
Setelah beberapa saat memeriksa, Mahesa berhasil memperbaiki mobil Berlian. “Sudah bisa, coba nyalakan mesinnya lagi,” pintanya.
Berlian menyalakan mesin mobil dan kali ini mobilnya bisa berjalan dengan normal. “Mobilku sudah bisa, terima kasih Mahesa! Kamu benar-benar handal memperbaiki mobil,” ucap Berlian memuji.
Mahesa tersenyum dan mengangkat bahu. “Aku senang mobilmu menyala kembali. Jangan memujiku, aku hanya tahu sedikit tentang mesin.”
“Tapi itu bukan keahlian biasa, aku baru tahu kamu bisa memperbaiki mesin,” balas Berlian kagum.
Mahesa terkejut, “Ternyata aku bisa memperbaiki mesin, aku nggak tahu aku bisa melakukannya dengan baik,” katanya dengan sedikit terkejut. “Aku hanya mencoba membantu kamu,” tambahnya.
Berlian memacu mobilnya untuk berangkat kerja, meninggalkan Mahesa yang masih berdiri di tempat yang sama.
Mahesa menatap kedua tangannya dengan bingung, masih mencoba memahami bagaimana dia bisa memperbaiki mobil dengan mudah.
“Bagaimana aku bisa memperbaiki mobil Berlian? Apakah sebelumnya Aku adalah seorang mekanik?” lirihnya bingung masih terkejut.
Sebagai seorang petani, dia tidak pernah berpikir dirinya punya kemampuan seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan tentang jati dirinya mulai muncul di benaknya.
Siapa sebenarnya dia?
Apa yang mampu dia lakukan?
Mahesa merasa ada banyak hal dalam dirinya yang tidak dia ketahui dan dia tidak tahu bagaimana cara mengetahuinya.
Dia terus memikirkan hal itu sambil berjalan kembali ke areal persawahan, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantui dirinya.
Mahesa mulai bekerja di areal persawahan, tapi pikirannya tidak bisa lepas dari kemampuan memperbaiki mobil yang dia tunjukkan tadi. Rasa penasaran dan pertanyaan tentang jati dirinya terus menghantui dirinya.
“Siapa aku?” Kepalanya mulai berdenyut hebat, rasa sakit yang tidak tertahankan.
Mahesa mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, tapi tidak bisa. Rasa sakit di kepalanya semakin parah, hingga akhirnya dia tidak tahan lagi dan pingsan di tengah areal persawahan.
Tubuhnya jatuh ke tanah, tidak sadarkan diri.
Dari kejauhan saat ini Hayu sedang berjalan-jalan untuk mengusir penatnya. Dia merasa lelah dan berhenti di tengah jalan setelah merasakan kakinya pegal, namun tatapannya terkunci pada sesosok yang tergeletak di tengah areal persawahan. “Siapa itu?”