TUJUH

1080 Kata
"Oi, Nis." Denis mengguncangkan tubuhku. Aku tersadar dari lamunanku lalu melihat kearahnya. "Ada apa?" tanyanya cemas. "Denis, pacar cewek itu. Tidak! Seluruh keluarganya akan mati,” kataku dengan yakin. Denis menatapku heran. Meski wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan, dia hanya mengelus lembut kepalaku. "Semua orang pasti akan mati, Nis," sahut Denis sambil tersenyum tipis. "Tiga hari dari sekarang, mereka semua akan mati!!" tegasku membuat Denis sempat terkejut. Denis masih diam. Cowok itu hanya menatapku, aku sama sekali tidak mengerti apa yang ada dipikirannya saat ini. Aku tidak peduli. Aku harus menyelamatkan cewek itu. Kali ini. Aku pasti bisa! Aku berdiri lalu mulai mengejar cewek itu. Jarak kami sudah cukup jauh namun aku masih bisa melihatnya. Cewek itu menuju parkiran mobil dan aku bergegas menyusulnya. Cewek itu masuk ke dalam mobil honda jazz merah miliknya. Aku semakin merasa aku tidak akan sempat dan muncullah ide gila di kepalaku. Cewek itu melaju pelan hendak keluar dari taman dan aku segera meloncat ke depan mobilnya untuk menghentikannya. Tiiiiit. Brak Badanku terpental sedikit. Arggh, sakit. Aku merasa lutut dan sikuku berdarah. Perih. Denis segera berlari menghampiriku. Cowok itu segera memberiku ceramah. Entah ini sebagai bentuk perhatian atau memang dia suka mengomel. Yang jelas, aku berharap dia memarahiku karena mengkhawatirkanku. Namun, jujur saja, aku sama sekali tidak mendengarkan omelannya. Telingaku berdengung dan beberapa detik kemudian aku tak sadarkan diri. *** Aku perlahan membuka mataku. Ruangan yang asing, bau obat-obatan, udara yang sembab, kebisingan ini... Ah, ini rumah sakit. Aku menoleh ke samping kiriku dan kulihat ayah tersenyum kecil. Kerutan di matanya bertambah lagi, ada sisa bekas air mata di ujung mata tuanya. Ah.. Lagi-lagi aku membuatnya sedih. "Ayah," panggilku lirih. "Iya, Sayang. Sudah sadar, Nisa?" tanya ayah sambil menggengam erat tanganku. Saat itu aku merasakan betapa dinginnya tangan lelaki yang paling aku sayangi di dunia ini. "Nisa minta maaf ya," ucapku lirih. Tak sanggup rasanya melihat ayah yang sejak kecil merawat dan menjagaku bersedih. "Nggak apa-apa, Sayang," ucap ayah lembut. "Hem..hem.. Sorry banget nih. Aku ganggu moment mengharukan kamu, Nisa,” celetukan itu membuatku menoleh, Denis juga ada di sini. “Hai! Aku juga di sini lho. Baru kelihatan ya?" katanya. Dia sama sekali tidak berubah. Menyebalkan. Melihatnya membuat hatiku mendadak jadi kesal. Si cowok k*****t mengubah suasana haru biru menjadi kelabu. “Ngapain sih di sini?” dengusku kesal. "Nisa, jangan gitu!” tegur ayah. “Denis khawatir lho, dia nungguin kamu terus !" lanjut ayah sambil senyum-senyum seolah sengaja mengatakan itu untuk menggodaku. "Mia gimana?" tanyaku pada Denis, mengabaikan godaan ayah yang bukannya membuat baper malah jadi makin kesal. Ayah menghembuskan napas kecil karena aku mengacuhkan lawakannya yang garing. "Owh, Mia. Ratu Drama itu lagi pulang. Perlu mandi katanya karena udah dua hari di sini nungguin kamu sadar," jawab Denis sambil ngemil kacang atom. "Hah? Dua hari?" tanyaku tidak percaya. "Aku ditabrak dikit doang, deh. Kok bisa nggak sadar dua hari?" protesku. Denis hanya mengangkat bahunya sambil terus ngebantai kacang atomnya. "Cewek itu gimana?" tanyaku kemudian. "Ada, kok. Lagi keluar bentar nyari makan." "Dia hidup'kan?" Pertanyaanku membuat Denis dan ayah bingung. Mereka saling pandang dan beberapa detik kemudian tawa mereka pecah. "Nis, Nis. Yang ditabrak kamu masak yang mati dia, sih." Denis ngakak membuatku makin eneg parah sama cowok k*****t yang tampan ini. Eh .. Ah.. lagi-lagi. Aku keceplosan mengakuinya tampan. Pintu ruangan tiba-tiba diketuk, pintu terbuka dan seorang cewek kuliahan masuk dengan diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Aku mengenal keduanya. "Hai, Nisa," sapa si lelaki lembut. Cowok itu tersenyum. Lesung pipinya terlihat. Ah.. gantengnya. Ups. "Oi, sadar! Gantengan juga aku," sergah Denis ketus membuatku memelotinya. Darimana dia tahu aku terpesona? Dia pembaca pikiran? Aku melirik cewek itu. Cewek yang hendak aku selamatkan. "Ah.. Aku Aldo dan ini pacarku, Tasya. Maaf ya karena kecerobohan Tasya kamu sampai masuk rumah sakit. Maaf sekali!" kata Mas Aldo sambil senyum lagi. Aku tidak menjawab hanya tersenyum penuh nafsu pada senyumannya yang membuat Denis memarahiku sekali lagi. "Ngapain sih minta maaf. Dia yang salah, ngeloncat ke depan mobil orang sembarangan." Cewek bernama Tasya itu protes. Nada suaranya tinggi. Kekesalannya stadium tiga dan sama sekali tidak terlihat ramah. Jutek parah. "Oh.. ini sedikit oleh-oleh buat Nisa. Cepat sembuh ya!" kata Mas Aldo lagi. Ayah menerima pemberian Mas Aldo sambil mengucapkan terimakasih. Mas Aldo melirikku sebelum akhirnya keluar dengan ayah untuk mengatakan sesuatu. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bisa menguping karena ada si cowok k*****t. Kak Tasya, cewek itu melihatku dari atas ke bawah. Habis itu melihat Denis lalu balik lagi melihatku. "Kenapa, Kak?" tanyaku penasaran. "Cowokmu udah ganteng. Jaga matamu napa. Nggak kasihan cowok seganteng ini kamu sia-siain?" jawabnya sedikit ketus. "Hah? Dia ini teman-." "Hidupnya Nisa, Kak. Tenang aja, mas Aldo nggak akan direbut Nisa kok. Soalnya.." Denis memotong ucapanku dan sekarang dia sedang berteka-teki. Kak Tasya hanya terkekeh membuatku merinding mendengarnya. "It's our secret. Don't out from your line. Cz you will be regret it." "Like two but three, isn't it?" Denis membalas ucapan kak Tasya dengan santai membuat gadis itu menyingsingkan senyuman miring di bibirnya. "Oke, aku rasa ini sudah tidak menarik!" katanya kemudian. Kak Tasya berjalan menuju pintu keluar dan sebelum pergi dia seolah membisikkan kata-kata yang tidak bisa aku dengar sama sekali. "Oi, Denis. Maksudnya apa?" tanyaku penasaran. "Dasar, Oon," sahut Denis sambil ngelanjutin proses pembantaiannya pada kacang atomnya. Kasihan kacang atom itu. Ayah masuk ke ruangan dan beliau memelukku. "Urusan administrasi, resep obat dan lain-lain udah selesai. Nisa udah bisa pulang hari ini." ujar ayah senang. Denis hendak bergabung untuk memelukku sama seperti yang ayah lakukan tetapi aku segera menghempaskan tubuhnya dengan kaki kanan sehingga dengan sigap dia menghindar. "Waduh, bahaya!" kata Denis sedikit terkejut. Aku berdecak pelan saat Denis berhasil menghindari seranganku. "Gagal," kataku kecewa. Denis menjitak ringan kepalaku. "Untung bisa dihindari, kalau aku kenapa-kenapa gimana coba?" omel Denis. "Gitu doang. Paling parah juga benjol!" sahutku santai. "Udah-udah. Oh iya, Nisa nggak boleh gitu ya sama Denis. Kasihan." Ayah menasehatiku. Denis tersenyum senang, dia menjulurkan lidahnya untuk mengejekku. Aku hanya mengangguk pasrah. Tidak bisa melawan ayah. "Oh iya, nanti malam nak Aldo katanya bakal tunangan. Dia minta doa restu tadi sama ayah. Padahal masih muda tapi udah tunangan ya," kata ayah kagum. Aku terperanjat mendengar ucapan ayah. Denis melihat reaksiku tetapi dia tidak bertanya apapun. Aku pun juga hanya bisa diam, membagi apa yang kutahu untuk diriku sendiri. Aku baru ingat bahwa sudah dua hari berlalu, maka seharusnya besok hari H. Ini adalah kedua kalinya terjadi penyimpangan hari dalam penglihatanku. Tunggu dulu. Tadi nama cewek itu siapa? Ah.. ini sungguh gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN