Raila memberikan helm pada Satria.
"Thanks ya, La. Untuk hari ini. Aku senang banget, akhirnya kita bisa kencan. Yah, walau pun kencan bareng Bos kamu itu," Satria menerima pemberian Raila.
"Ya, aku juga senang. Maaf ya, kadang mulut bosku emang menyebalkan. Tapi percaya deh, dia orang baik, kok."
"Ya aku tahu. Kalau gak baik, mana mungkin kamu bisa utuh seperti ini. Padahal kalian tinggal satu atap."
Raila mengangguk membenarkan ucapan Satria. Mereka duduk di bangku sekitar gedung apartemen.
"Iya sih, kamu benar."
"Tahu gak? Aku sebenarnya sangat khawatir sama kamu."
"O ya? Kenapa?"
"Aku takut Dani berbuat yang tidak-tidak. Ya, kamu tahu lah," Satria menggaruk tengkuknya sambil tersenyum garing.
"Tenang saja, aku punya bekal bela diri yang mumpuni, hehe. Kalau dia berani macam-macam, aku kasih dia jurus."
Raila mengepalkan tangannya ke atas..
"Haha, baguslah! Aku jadi tidak khawatir lagi."
"Hm."
"La?"
"Ya, kenapa?"
"Sampai kapan kamu menjalani pekerjaan double seperti ini?"
"Sampai hutang ayahku lunas. Dan aku bisa membuatkan rumah untuk mama."
"Begitu, ya? Memang berapa hutang ayah kamu?"
"Kamu gak bakalan percaya," Raila tersenyum kecut.
"Berapa memangnya?"
"350 juta."
"Ha? Oh maaf, maksudku. Sebanyak itu?"
"Ya, gila kan? Aku juga hampir mau mati mendengarnya. Tapi mau bagaimana lagi, ayah suka main judi. Dulu sempat berhenti. Saat keadaan mulai membaik, ayah kembali ke dunianya. Lalu hutang menggunung lagi."
"Kamu yang bayar?"
"Iya, gaji dari pekerjaan ini aku kirim buat bayar cicilan hutang sama biaya kehidupan mamaku."
"Oh, tadinya kupikir aku bisa membantumu. Jadi kamu gak perlu lagi menjalani pekerjaan ini."
"Kamu jangan khawatir, aku bisa jaga diri kok," Raila tersenyum meyakinkan.
Kecuali untuk hatinya, ia tak yakin bisa menjaga diri dari pesona Dani Mahendra.
Sorot lampu mobil yang baru datang membuat Raila sedikit memicingkan matanya.
"Ah, bosmu sudah datang. Aku pergi dulu ya?" Satria pamit dan memakai lagi jaket yang ia simpan di atas motor.
"Gak apa-apa kali, dia juga pasti habis nganterin pacarnya," jawab Raila sambil tersenyum.
Tiba-tiba Satria diam. Ia menatap Raila lama.
"La."
"Ya? Kenapa?"
Telunjuk Satria mengarah pada mata kiri Raila.
"Itu ada bulu mata di sana!"
"Oh ya? Sebelah mana?" Tangan Raila menepuk-nepuk sekitar matanya.
"Sebelah sini!" Telunjuk Satria mengarah pada mata kirinya sendiri.
"Masih ada?"
"Sini deh, kamu merem dulu!"
Raila mengangguk dan nurut.
Dengan hati-hati, Satria mengambil bulu mata yang jatuh di bawah mata kiri Raila.
Sesaat ia tertegun. Raila masih menutup matanya. Satria masih betah menikmati wajah Raila dari dekat. Meski pacarnya ini jarang memakai riasan, tapi ia sangat cantik. Satria mengagumi pahatan Yang Maha Kuasa di depannya.
Hatinya berbisik, bukankah Raila adalah kekasihnya? Mungkin tidak mengapa jika ia sedikit menyentuh bibir indah milik Raila yang masih menutup matanya itu.
Dengan mengumpulkan keberanian, Satria mendekat. Jantungnya berdebar tidak karuan.
"Bubar kalian! Jangan m***m di sini!" Suara seseorang sukses menggagalkan misi Satria. Ia mengerjap dan melihat siapa yang datang.
Satria berdecak sebal, Si Pengganggu itu lagi!
Raila membuka matanya dan menatap heran pada Satria dan Dani secara bergantian.
"Sat, gimana? Udah ilang kan bulu matanya?"
"Apa?" Satria gelagapan.
Dani tersenyum mengejek, "apa La? Bulu mata? Si Satria bilang ada bulu mata? Modus!"
"Heh, Bos! Anda kenapa sih? Datang-datang bikin kerusuhan! Emang ada bulu mata kok! Ya kan, Sat?"
"Eh, iya. ada kok, tapi sudah kubuang!"
"Halah, modusnya kurang update!" Dani melirik jam tangannya lalu menoleh ke arah Raila.
"Lima menit lagi gak masuk, kamu kunci pintu dari luar!" ucap Dani lalu meninggalkan keduanya.
"Pergi saja! Saya tidak takut! Saya tahu password-nya kok!" jawab Raila cuek.
"Saya sudah ganti!" Dani menjawab tanpa menoleh ke belakang.
"Apa? Hei! Bos! Mana bisa begitu? Ah, sial! Sat, sorry ya? Bosku kesurupan lagi kayaknya. Pake ganti password segala!"
"Oh, ya udah, pergi aja. Selamat malam, Sayang! Mimpi indah, ya?" Dani mengacak rambut Raila. Meski ia dongkol setengah mati, tapi apa daya. Mungkin lain kali saja.
Dani seperti jin gentayangan yang menjaga Raila dari segala arah. Menyebalkan!
***
Raila menyandarkan punggungnya ke kursi. Hari yang melelahkan. Jadwal Dani makin padat akhir-akhir ini. Pria itu sungguh hebat, dengan kepiawaiannya memimpin perusahaan, omset mereka melesat naik dengan cepat.
Dani tidak main-main dalam mencari mitra kerja. Ia selalu mengutamakan kualitas meski dengan harga yang sangat mahal. Tapi dengan hasil yang memuaskan, kliennya berani membayar sepuluh kali lipat dari yang mereka keluarkan.
Raila mengambil botol mineral di atas meja, tenggorokannya terasa kering.
"Hai, La? Apa kabar?"
Hampir saja Raila menyemburkan air yang sudah masuk ke mulutnya.
Yah, ia terlalu terkejut melihat siapa yang datang. Salsa, si wanita genit itu lagi.
"Mau cari Bos? Ada noh, di dalam!"
"Oh, ya. Makasih!" Salsa tersenyum manis -di mata Raila malah pahit- lalu masuk ke ruangan Dani.
Raila mengetuk-ngetuk telunjuknya ke atas meja. Kira-kira mereka sedang apa ya? Dan mau apa Si Genit itu datang ke mari? Masalah pekerjaan? Mungkin saja. Mengingat Salsa pernah menjadi klien perusahaan ini dalam membangun hotel miliknya.
Tapi kalau masalah pekerjaan, kenapa tidak melalui dirinya dulu? Ah, pasti bukan!
Raila merutuki dirinya sendiri. Dasar bodoh! Tentu saja mereka pacaran di dalam sana! Sedang apa ya? Ngobrol sambil menceritakan hal-hal yang lucu? Tapi Salsa tidak pandai membuat cerita lucu. Atau jangan-jangan mereka lagi pelukan? Ah tidak-tidak! Itu tidak mungkin!
Atau mungkin mereka sedang makan bersama? Aish, kenapa tidak terpikirkan ya? Ck, pasti Salsa beli makanan enak dari restoran! Sial, mengingat makanan, seketika perut Raila portes minta isi.
Awas saja kalau Dani tidak menyisakan makanan yang dibawa Salsa! Apalagi perutnya belum diisi. Ia tidak sempat makan siang, pekerjaan sangat banyak.
Raila mengambil sebungkus snack krakers dalam laci dan membukanya dengan kesal. Ia memakan krakers pengganjal lapar itu sambil menatap tajam ke arah pintu ruangan Dani yang tertutup.
Jahat sekali mereka! Makan enak dari restoran, sementara dirinya hanya memakan krakers sendirian seperti ini!
***
"Hai, Sayang? Sibuk ya?" Salsa duduk di kursi ruangan Dani.
Pria itu sedang nampak sangat kelelahan di kursinya.
"Udah beres, kok. Tumben kamu ke sini? Ada apa?" tanya Dani sambil membereskan berkas di atas meja.
"Ih, kok kamu gitu sih? Aku kan kangen! Masa gak boleh?"
"Bukan gitu, Sa. Cuma ya gak biasanya aja."
Salsa mengambil bawaannya.
"Tada...! Aku bawa makanan spesial buat kamu."
"Hm," Dani masih sibuk dengan berkas yang baru ia pelajari.
"Sayang, sini dong! Udah dulu kerjanya! Kita makan ya? Ayo!" Salsa menarik tangan Dani untuk duduk bersamanya di sofa.
Pandangan Dani mengarah pada hidangan yang Salsa bawa. Perutnya memang lapar. Tadi siang ia tak sempat makan.
Dani duduk dan tersenyum menatap Salsa.
"Wah, kamu bawain semua buat aku?"
"Iya, buat kamu. Makan ya?"
Tiba-tiba Dani ingat, jika dirinya belum makan, maka Raila juga sama. Gadis itu pasti masih menunggu di luar sana.
"Duh, kayaknya enak banget ini. Tapi..."
"Tapi apa, Yang?"
"Tapi aku udah makan. Gimana dong?"
"Ih, kok gitu sih? Masa aku bela-belain bawa ke sini, kamu gak mau makan?"
Salsa cemberut. Melihat itu, Dani menjentikkan jarinya.
"Ah, gini aja. Berhubung ini makanan spesial dari kamu, aku mau banget memakannya. Jadi boleh kubawa pulang ya?"
"Benarkah kamu mau memakannya?"
"Iya, janji!"
"Wah, makasih!" Salsa tersenyum senang. Dengan semangat ia segera memasukkan kembali makanan itu ke dalam rantang plastik bersusun yang digilai kaum wanita.
Sesaat ingatan Dani melayang pada kejadian menyebalkan tadi malam. Si Berengsek Satria hampir saja mencium Raila. Ya, bukan apa-apa. Hanya saja, ia khawatir jika Satria tidak serius dan malah menyakiti Raila. Kasihan kan?
Malah Dani yakin, Raila telah jatuh pada pesonanya. Bibir Dani tersenyum lebar mengingat itu semua. Sepertinya mengasyikkan jika membuat gadis itu cemburu.
"Sa, sini deh!"
Salsa mendekat ke arah Dani, "Ada apa?"
"Coba kamu cium kemeja saya! Kok kayak bau kotoran cicak ya?"
Dani mengulurkan tangannya yang berkemeja krem itu.
Salsa menurut, ia sedikit mencium baju Dani. Lalu dengan sengaja, Dani menyentuhkan bajunya ke bibir Salsa.
"Aduh, kamu kenapa sih, Yang?" Salsa merengut. Bibirnya sedikit terbentur pada lengan Dani.
"Eh, maaf-maaf! Aku gak sengaja, hehe. Sakit gak?"
Dalam hati, Dani bersorak saat melihat bekas lipstik yang mencolok di tangannya.
"Sakit tentu saja!"
"Coba aku lihat!"
Salsa mendekat, ia menunjukkan bibirnya yang terbentur.
Cklek.
"Eh, maaf, saya mengganggu ya? Cuma mau pamit, pulang duluan ya, Bos!"
Dani dan Salsa kompak menoleh ke arah pintu. Nampak Raila sudah bersiap untuk pulang.
"Ya, pulang saja sana!" Salsa kembali menghadap Dani.
Dani bersorak. Raila pasti cemburu! Ya, posisi dirinya dan Salsa sangat dekat. Sekilas saja, nampak sedang berciuman. Dani menyeringai.
"Gimana, Yang? Ada yang memar gak?" Salsa menutup mata, ia berharap Dani melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memeriksa bibirnya.
"Hm, gak. Baik-baik aja, kok."
Dani bangkit dan mengambil jasnya. Raila sudah pulang. Ya, pulang duluan. Tunggu! Ia pulang duluan sendiri? Atau dijemput sama Si Satria?!
Ah, sial! Kenapa tidak terpikir ke arah sana? Bagaimana kalau Si Jelek itu mengelabui Raila lagi seperti semalam?!
Bodoh, ia harus segera menyusulnya!
"Mau kemana, Sayang?" Salsa mengekor langkah Dani yang bersiap untuk pulang.
"Aku mau pulang."
"Anterin aku dulu dong!"
Dani melirik jam tangannya.
"Duh, maaf ya, Sayang! Aku buru-buru nih. Ah, aku juga ditungguin Oma. Kamu tahu kan gimana Oma?"
Salsa cemberut. Ya, ia tahu nenek tua jelek itu. Yang jelas sekali tidak menyukainya dalam segi apa pun. Di mata Omanya Dani alias Deswita, Salsa selalu salah. Dan yang benar pasti Raila.
"Ya sudah, aku pulang sendiri. Tapi minta ongkosnya dong!"
"Masa kamu gak bawa uang sih?"
"Enggak, ah, atau gini. Aku pinjam kartu kreditmu, ya? Boleh kan? Ada barang bagus yang mau kubeli, please!"
Dani menghembuskan nafasnya pelan, lalu mengeluarkan dompetnya.
"Ini," Dani memberikan kartu ajaib favorit Salsa.
Selepas Salsa keluar, Dani segera bergegas pergi. Ia berjalan agak cepat, berharap bisa menyusul Raila.
Sepertinya Raila sudah lama pergi. Dani memukul stir dengan kesal. Ia berharap Raila dan Satria tidak melakukan hal seperti dalam bayangannya.
Sesampainya di apartemen, Dani buru-buru masuk dan mencari Raila.
"La! Raila!"
Ia melihat kamar Raila terbuka. Tapi penghuninya tidak ada. Kemana dia?
"La! Raila! Kamu di ma-" ucapan Dani terputus saat melihat Raila sedang asyik menonton drama di laptop. Pantas saja gadis itu tidak mendengar, telinganya ditutup dengan earphone.
Menyadari kedatangan Dani, Raila membuka penutup telinganya dan menatap Dani.
"Baru pulang?"
"Ekhm, iya. Kamu dijemput Satria?"
"Iya. Kenapa?"
Dani berdecak kesal. Dugaannya tidak meleset ternyata.
"Apa dia melakukan konspirasi lagi?"
"Konspirasi apaan sih, Bos?"
"Ya, seperti pura-pura apa gitu, ujungnya dia nyium kamu!"
"Haha! Enggaklah, Bos! Lagipula kalau mau juga gak masalah! Dia pacar saya kan?"
Jawaban Raila membuat Dani tergelak.
"Apa? Ah, iya. Pacar ya kamu bilang? Tentu saja! Saya juga sudah punya pacar! Kami makan enak bersama! b******u mesra juga! Lihat, dia menciumi saya sampai ke lengan baju, haha!"
Dani tertawa garing sambil menunjukkan bekas lipstik di lengan bajunya.
Raila mengangguk kecil, ia menatap tajam ke arah lengan Dani.
"Kamu jangan cemburu begitu, dong, La! Kita kan punya pacar masing-masing!" ucap Dani dengan bangga. Ia yakin, Raila sedang memperhatikan bekas lipstik itu dan mulai membayangkan yang bukan-bukan.
Tiba-tiba Raila menyambar rantang susun plastik dari tangan Dani.
"Bos, ini apa? Wah, buat saya aja ya?" Raila segera pergi ke dapur setelah berhasil mengambil bawaan dari tangan Dani
Dani terkejut tentu saja.
"Hei, La! Ngapain kamu?" teriak Dani kesal. Jadi gadis itu lebih peduli pada rantang daripada bekas lipstik yang ia buat?!
"Saya lapar, Bos!" teriak Raila dari dapur.