Semalaman Raila demam. Bahkan sampai mengigau beberapa kali. Gadis itu memanggil-manggil ibunya. Beruntung dokter pribadi Dani sampai dengan cepat, jadi Raila cepat tertangani.
"La, cepet sembuh lagi, jangan kayak gini," bisik Dani pelan. Ia mengelus lembut kepala Raila yang tengah tertidur.
Dani memeriksa kain yang ia letakkan di kening Raila dan segera mencelupkannya lagi ke dalam air hangat. Beberapa kali berulang hingga Dani tertidur di samping Raila.
Sinar matahari yang masuk dari celah gordin membuat mata Raila memicing. Sudah pagi rupanya. Kening Raila berkerut, ia meraba kain yang berada di keningnya. Apa semalam ia demam?
Raila tersenyum kecil saat melihat Dani yang tidur sambil duduk di samping ranjang.
"Maaf, merepotkanmu," bisik Raila pelan.
Perlahan Dani membuka matanya, ia bangun dan melihat Raila sudah bangun.
"Tidurmu nyenyak?" tanya Dani.
"Anda yang nyenyak, Bos! Saya malah susah tidur!" jawab Raila. Mengerjai Dani menjadi hal yang paling menyenangkan.
"Siapa bilang? Enak saja! Saya semalamam merawat kamu, dan sekarang...." Dani meraba dahi Raila, "Sudah turun demamnya," lanjutnya lagi.
"Iya, terima kasih sudah merawat saya," jawab Raila, bibirnya berkedut menahan senyum.
"Kamu makan dulu ya?" tanya Dani sambil bangkit dan mengambil ponselnya.
"Nanti saja, masih pagi juga," jawab Raila. Nafsu makannya sedang pergi. Mungkin efek dari demam.
"Tapi kamu harus makan! Bagaimana mungkin bisa sembuh kalau tidak ada makanan yang masuk?"
"Iya, nanti saja! Bos cerewet deh!"
"Kamu yang susah diatur! Pokoknya kamu harus makan!"
"Tidak mau!"
"Makan, Raila!"
"Ck, enggak! Nanti saja kalau lapar. Lagi pula makanannya juga belum ada kan?"
Dani menyadari sesuatu, ia menepuk jidatnya sendiri lalu terkikik geli.
"Iya, kamu benar! Kenapa tidak memberi tahu?"
"Bos gak nanya," jawab Raila enteng.
"Sebentar saya pesan makanan dulu," Dani memesan makanan via aplikasi online.
Hanya beberapa menit, makanan yang dipesan sudah sampai.
"Sebentar, saya siapkan buat kamu."
Raila tidak menjawab, apa bosnya tuli, ia sedang tak berselera makan, masih saja ngotot.
Dani kembali dengan membawa semangkuk sup dan nasi putih.
"Ini, makanlah! Nanti minum obat penurun demam," Dani mulai mengambil satu sendok nasi putih dan kuah sopnya.
"Bos ngapain itu?"
"Apalagi, nyuapin kamu lah, ayo makan! Buka mulutmu!"
"Bos, saya bukan gak bisa makan sendiri, tapi benar-benar belum mau makan. Jadi simpan lagi aja, ok?"
Dani menghembuskan nafas panjang.
"Terus kamu mau makan apa?"
"Ck, saya bilang nanti kalau lapar pasti dihabiskan, kok!"
"Saya heran sama kamu, kenapa sulit sekali untuk makan? Padahal biasanya paling bersemangat."
"Iya, makanya, kalau semangat makan udah kembali, pasti habis!"
"Tapi, La. Kamu mau sembuh kan?"
"Iya lah, siapa juga yang mau sakit?"
"Jadi ayo makan!"
"Gak mau, Bos! Gak mau! Masa gak ngerti juga sih?"
Raila mendelik kesal. Dani terus memaksanya. Pria itu berdiri dan menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Di ruang TV, Dani bolak-balik kesana-kemari. Ia berpikir keras bagaimana caranya membujuk Raila untuk makan.
Apa menghubungi Salvira ya? Gadis itu kan sahabat dekatnya Raila? Tapi, Dani tidak berani. Menghubungi Vira malah akan menambah buruk rasa rindunya pada gadis itu.
Lalu siapa yang paling mengenal Raila?
Dani diam sejenak. Satria? Tidak, tidak! Ia tidak mau menghubungi si jelek itu. Dani tahu, sejak semalam, ponsel Raila terus berdering. Satria berkali-kali menghubunginya. Hingga Dani mematikan ponsel gadis itu.
Ah, kenapa ia tidak menelpon ibunya Raila saja? Bodoh, kenapa tidak terpikir ke sana?
Dani tersenyum lalu segera menghubungi wanita yang paling memahami Raila.
"Hallo, ini Tuan Dani ya? Bosnya putri saya? Apa kabar, Tuan?"
Terdengar suara cempreng milik ibunya Raila di seberang sana. Mira sudah tahu Dani. Bahkan hutang suaminya yang dulu sudah terbayar lunas oleh Dani. Tapi untuk hutang yang sekarang, Raila menyuruhnya agar tidak memberi tahu Dani.
"Hallo, saya baik, Tante. Bagaimana kabar di sana?"
"Ah, semua baik-baik saja. O ya, ada apa ya?"
"Itu, anu, Raila demam."
"Oh benarkah? Bagaimana bisa?"
"Maafkan saya tidak bisa menjaganya dengan baik. Raila kemarin tercebur ke kolam. Selamam ia demam."
"Hah, anak itu! Dia memang sedikit ceroboh."
"Ya, sekali lagi saya minta maaf. Oh ya, saat sakit, Raila sedikit susah makan. Kira-kira Anda tahu bagaimana membujuk Raila agar mau makan?"
"Ya ampun, Anda baik sekali, Tuan. Terima kasih ya?"
"Ya, sama-sama. Tapi bagaimana caranya membujuk Raila agar mau makan saat sakit?"
"Ah, Anda benar. Raila sejak kecil kalau sakit sangat susah makan. Beruntung dia jarang sakit."
"Ya, jadi bisa jelaskan bagaimana membujuk Raila?"
"Oh hampir lupa, hehe. Raila akan makan saat ia merasa terhibur."
"Benarkah?"
"Iya, Tuan. Jika hatinya terhibur, sesakit apa pun, nafsu makannya pasti naik lagi."
"Hm, baiklah. Kalau begitu saya tutup dulu ya, Bu?"
"Ok, eh titip omongan sama Raila ya, jangan telat ngirim uangnya!"
"Oh ya, baiklah, akan saya sampaikan."
Dani kembali ke kamar Raila. Gadis itu masih anteng dengan ponselnya.
"La, udah dong, main ponselnya!"
"Apa lagi, Bos?" Raila lama-lama kesal juga melihat Dani yang terus menerus memaksanya untuk makan. Ia jadi ingat mamanya dulu.
Dani ikut duduk di tepi ranjang. Lalu memasang wajah senyumnya.
"Tahu gak, La?"
"Apa?" jawab Raila tanpa memindahkan pandangannya dari ponsel.
"Lihat sini!" Dani mengangkat dagu Raila agar menghadap padanya.
"Apa?"
"Saya punya cerita lucu buat kamu."
"Cerita apaan?"
"Tadi saat di toilet, saya dengar kamu kentut besar sekali, haha!"
"Eh?"
"Iya, haha! Ya ampun, sampai saya gak kuat nahan tawa."
"Apaan sih? Siapa yang kentut?"
"Oh enggak ya? Haha, kalau gitu siapa ya?"
Raila menatap heran pada Dani yang menurutnya malah bertingkah aneh.
"Bos gak salah minum obat kan?"
"Apa? Enggak," jawab Dani malah ikut bingung.
"Atau gak kejedot di wc mungkin?"
"Enggak, enak saja! Saya gak kejedot apa pun."
Dani bingung harus menghibur Raila pakai apa lagi.
"Kalau ada perlu ngomong aja, Bos."
"Baiklah, sebenarnya saya mau kamu makan. Katanya kamu mau makan saat merasa terhibur."
"Siapa bilang? Saya makan saat lapar, Bos!"
"Tapi kan seharusnya kamu lapar. Kamu belum makan apapun lho."
Raila merasa geli sendiri. Ia lalu memanfaatkan kesempatan ini untuk mengerjai Dani.
Raila menyeringai, sepertinya ini akan seru, pikirnya.
"Bos, mau saya terhibur agar saya makan?"
"Iya, apa saja akan saya lakukan asal kamu mau makan," jawab Dani dengan antusias. Ya, ia akan melakukan apa pun agar gadis itu mau makan.
Melihat gadis cerewet itu terbaring sakit seperti ini rasanya tidak enak.
"Baiklah, kalau begitu, Bos bisa praktekin jalan gorila gak?"
"Apa?" Terkejut tentu saja. Masa ia harus jalan ala binatang besar itu sih?
"Iya, gorila. Tahu kan? Saya suka melihat gaya jalan binatang yang satu itu."
Dani menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Tapi janji ya, setelah ini kamu makan!"
"Iya, ayo lakukan!"
Meski dengan berat hati, Dani benar-benar melakukannya. Raila mati-matian menahan diri agar tidak tertawa.
"Udah? Lucu gak?"
"Yah.... kurang deh!"
"Terus saya harus berbuat apa dong biar kamu terhibur?"
"Sini deh!"
"Apa?"
"Ambilkan make up saya!"
"Ngapain? Kamu mau dandan?"
"Pokoknya ambilkan saja!"
"Ck, iya deh!"
Dani memberikan alat-alat make up milik Raila.
"Duduk deh, Bos!"
Dani menatap curiga, apa yang akan dilakukan gadis di depannya ya? Tapi Dani menurut tanpa protes.
"Kamu mau ngapain?"
"Bos mau saya terhibur kan?"
"Iya."
"Diem ya? Jangan protes!"
Dani mengangguk patuh. Tanpa diduga, Raila merias wajah Dani.
"La, kok gini amat sih? Gak ada yang lain apa?"
"Gak ada, Bos. Diam ah! Bentar lagi kelar!"
Raila juga menguncir rambut Dani. Fiks, pria tinggi di depannya kini menjelma badut sirkus yang menggemaskan.
"Bos keren deh!" ucap Raila sambil menahan tawa.
"Mana cermin? Saya mau lihat!"
"Eh, jangan! Kita foto dulu yuk?"
"Jangan dong, La! Nanti karyawan saya lihat bagaimana? Saya bisa hancur!"
"Ish, enggak kok. Bos keren! Sini deh!"
Cklik.
Raila berhasil mengambil foto dirinya dan Dani yang sudah ia sulap.
"La lihat!"
"Enggak, ini buat koleksi saya, Bos! Lumayan buat pengusir nyamuk! Hahaha!"
"Kamu ketawa! Saya mirip badut ya?" tanya Dani dengan wajah mengenaskan.
"Bwahahah! Enggak kok, Bos lucu, sumpah! Hahah!"
Biar pun kesal, tapi diam-diam Dani melengkungkan senyum.
"Sekarang kamu makan! Ayo, kan udah janji!"
"Hahaha, ya ampun perut saya sakit! Iya deh!"
"Suapin?"
"Gak usah!"
Raila benar-benar menghabiskan makanannya. Dani lega melihat itu semua.
"Sekarang minum obatnya!"
"Siap, Bos!" Raila melirik wajah Dani. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Kapan lagi bisa mengerjai bosnya itu.
Dani bangkit dari duduknya dan berjalan menuju cermin. Alangkah kagetnya ia melihat wajah tampannya kini berubah menjadi badut yang mengenaskan.
"Raila!!! Kamu apakan wajah saya?!" Dani berteriak keras hingga Raila menutup kedua telinganya.
"Kan Bos bilang mau melakukan apa saja?"
"Saya gak mau tahu, pokoknya hapus semuanya! Bersihkan sekarang!"
Raila berdecak sebal. Dani mendekat sambil membawa tissue basah dan menyodorkannya pada Raila.
Raila mulai membersihkan bekas pensil alis, maskara dan kedua pipi Dani yang dipenuhi dengan bedak dan blush on.
"Pelan-pelan dong, La!" ucap Dani. Padahal matanya dari tadi anteng melihat wajah Raila dari dekat.
Terakhir, Raila membersihkan lipstik dari bibir Dani.
"Tunggu!" Dani menahan tangan Raila.
"Kenapa? Masih mau pakai lipstik?"
"Bukan begitu caranya," suara Dani sedikit parau.
Kening Raila berkerut, lalu tiba-tiba matanya membelalak tak percaya atas apa yang dilakukan Dani. Pria itu melumat bibir Raila dengan lembut.
"Seperti itu, lakukan!" bisik Dani.
"Ta-tapi, Bos sa-hmph!"
Dani kembali memagut bibir Raila.
"Lakukan! Kamu harus bertanggungjawab!"
Dengan gerakan pelan dan ragu, Raila mengikuti apa yang dilakukan Dani padanya.
Dani tidak percaya atas apa yang ia rasakan. Efeknya luar biasa! Darahnya terasa mendidih hingga ke ubun-ubun. Gelenyar aneh itu datang kembali dan membakar seluruh jiwanya. Dani sungguh tidak tahu jika ia begitu mendamba gadis di depannya.
Saat Raila hendak melepaskan tautan mereka, Dani tak rela. Ia kembali meraih tengkuk Raila dan menikmati kelembutan milik Raila. Begitu manis dan memabukkan.
Membuat Dani seakan kehilangan akal sehat. Ia menginginkan Raila lagi dan lagi. Sekujur tubuhnya begitu haus akan sentuhan lebih.
"Sepertinya, saya suka sama kamu," bisik Dani di sela ciumannya.
Ciuman Dani berubah arah. Ritmenya makin panas. Raila tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Apa ia sudah gila? Bagaimana ia mengakhiri semua gairah ini? Sedangkan tubuhnya sendiri telah berkhianat pada perintah otaknya.
Bibir Dani mulai turun ke leher jenjang milik Raila.
"KALIAN?! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!"
Teriakan seseorang menghentikan aksi mereka berdua.
Dani berbalik dan terkejut saat melihat Salsa telah berdiri dengan marah.
"Salsa?! Sejak kapan kamu datang?" tanya Dani.
Jangan tanya keadaan Raila, gadis itu mengerjap canggung dan segera merapikan rambut dan baju atasnya.
"Sejak aku melihat hal yang tak seharusnya terjadi! Aku akan melaporkan semua perbuatan kalian!"
"Salsa, ini tidak seper-"
"DIAM KAMU JALANG! Dani, aku akan bilang ke Oma, kalau status kalian palsu!"
Dani dan Raila tentu saja kaget.
"Sa, ini tidak seperti yang kamu lihat!"
"Aku tidak mau tahu, aku pergi!"
Salsa pergi dengan tatapan amarahnya meninggalkan Dani dan Raila yang terdiam kaku. Mengatur nafas antara percikan gairah dan rasa takut.