5. Saat tangan itu menggapai aku

1286 Kata
Byantara baru saja merapikan berkas di meja kantornya ketika ponselnya bergetar pelan. Nama yang muncul di layar membuat senyum kecil terbit di wajahnya. “Dewi,” gumamnya lembut sebelum mengangkat panggilan itu. “Halo, Wi. Ada apa?” suaranya terdengar hangat, lega setelah seharian penuh tekanan kerja. Di seberang sana, suara Dewi terdengar lembut tapi bergetar. “Aku... bertemu ibumu hari ini, Byan.” Byantara langsung menegakkan tubuhnya. “Untuk apa?” tanyanya terkejut, nada suaranya berubah tajam. “Ibumu yang memanggilku,” jawab Dewi pelan. “Dia... meminta aku untuk memutuskan hubungan denganmu.” Hening sejenak. Byantara merasakan dadanya menegang. “Apa? Kau serius?” “Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, Byan,” lanjut Dewi dengan nada nyaris berbisik. “Tapi... aku tidak tega melihat kondisi ibumu. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya. Bukankah kau pernah bilang kalau beliau menderita sakit jantung?” Byantara terdiam lama. Ia memijat pelipisnya. “Benar, Wi... Ibu memang sakit. Tapi mengapa sampai segitunya? Mengapa dia begitu membencimu...” “Tidak apa-apa, Byan,” potong Dewi cepat. “Aku bisa memaklumi. Aku pikir... mungkin sebaiknya kamu turuti dulu permintaan ibumu. Aku tidak ingin kamu menyesal kalau sesuatu terjadi padanya.” Byantara menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Lalu bagaimana dengan kita?” Hening sebentar, lalu terdengar suara lembut Dewi yang menyusup seperti bisikan di telinga. “Kita tidak akan benar-benar putus, sayang. Aku akan sabar menunggu. Yang penting, kau berjanji satu hal pada aku.” “Hal apa?” tanya Byantara hati-hati. “Jangan sentuh istrimu, siapa pun dia nanti,” ucap Dewi pelan, tapi nadanya tegas, penuh penekanan. “Aku tahu, cepat atau lambat, rencana ini akan berhasil. Setelah semua reda, aku akan kembali padamu… dan ibu pasti akan menerima kita.” Byantara menunduk. Suara Dewi terdengar begitu yakin, namun hatinya terasa semakin berat. “Tapi, ini tidak adil... baik untukmu, maupun untuk perempuan itu,” katanya perlahan, setengah protes. “Kalau kamu mencintaiku, lakukan apa yang aku minta,” jawab Dewi, lembut tapi mengandung perintah yang tak bisa ditolak. “Ini cuma sementara, Byan. Setelah semuanya stabil, kita akan bersama lagi. Percayalah.” Suara Dewi di ujung telepon berubah semakin manja, namun ada nada manipulatif di balik kelembutannya. Byantara tak lagi menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, memejamkan mata, lalu mengiyakan pelan. “Baiklah, Wi…” Dewi tersenyum puas di seberang sana, senyum yang tidak terdengar namun terasa getir di ujung kalimatnya. Ia tahu, kata-katanya sudah menancap sempurna di hati Byantara. Sementara itu, di ruang kerjanya yang mulai gelap, Byantara duduk mematung. Tangannya terangkat, meremas rambutnya sendiri dengan gelisah. Napasnya berat. Antara suara ibunya dan suara Dewi terus bertarung di kepalanya. Ia tahu rencana itu gila. Tapi cintanya pada Dewi terlalu dalam untuk diabaikan. Ia juga tidak sanggup melihat ibunya jatuh sakit karena stres. Dan di antara dua perempuan yang sama-sama ia pedulikan, Byantara hanya bisa memilih jalan yang paling menyakitkan bagi dirinya sendiri. Ia bersandar di kursi, menatap langit malam yang terlihat samar dari balik jendela. “Dewi…” gumamnya lirih, seolah ingin meyakinkan diri sendiri. “Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja. Untukmu, dan untuk Ibu…” Namun jauh di lubuk hatinya, ada perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan, seperti firasat bahwa langkah ini bukan awal dari ketenangan, belum lagi rasa bersalah pada Meylin, jika dia menikahi Meylin, bukankah Meylin di pihak yang paling dirugikan? ****** Risma sudah mendapat pesan dari Dewi kalau Dewi sudah melaksanakan tugas darinya, yaitu memutuskan hubungan dengan Byantara. Risma pun langsung menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan rencananya pada Byantara. “Ibu ingin kamu segera melamar Meylin,” ujar Risma pelan namun tegas ketika meletakkan sendok di atas piring setelah makan malam selesai. “Kalau bisa, pernikahan kalian dilangsungkan secepatnya. Meylin itu perempuan cantik, sopan, dan berpendidikan tinggi. Ibu tidak mau sampai langkahmu kalah dengan yang lain.” Byantara yang sejak tadi menunduk, perlahan mengangkat pandangannya. “Belum tentu Meylin mau menerima aku, Bu. Kok ibu bisa begitu yakin?” tanyanya ragu. Risma tersenyum kecil, menyesap teh hangat di depannya. “Tadi siang ibu bertemu ibunya di acara arisan,” katanya dengan nada santai, tapi matanya memancarkan kepuasan. “Ibu sudah menanyakan langsung, dan katanya Meylin punya kesan yang baik tentang kamu. Sepertinya dia juga tidak keberatan kalau perjodohan ini berlanjut.” Byantara terdiam, matanya menatap kosong ke arah meja makan yang kini mulai sepi. Penilaian yang positif? gumamnya dalam hati. Ia teringat wajah Meylin saat pertama kali bertemu, lembut, sopan, dan terlihat tulus. Tapi setiap kali wajah itu muncul, bayangan Dewi selalu datang menutupinya. “Terserah Ibu saja, kalau memang itu yang Ibu inginkan. Ibu yang atur semuanya,” ucapnya akhirnya, menyerah tanpa semangat. Senyum puas langsung merekah di wajah Risma. Ia menepuk lembut tangan anaknya. “Bagus, Byan. Ibu tahu kamu anak yang bijak. Percayalah, suatu hari nanti kamu akan berterima kasih atas keputusan ini. Ibu yakin, Meylin gadis yang benar-benar pantas menjadi istrimu.” Risma lalu bangkit dari kursinya, wajahnya berseri-seri. “Ibu akan segera bicara dengan Bu Sarah besok. Mungkin kita bisa mulai persiapan lamaran minggu depan.” Byantara hanya mengangguk pelan. Dari punggung ibunya yang menjauh, ia bisa melihat betapa senangnya sang ibu — tapi di dalam dirinya, justru ada ruang kosong yang perlahan terasa sesak. Maafkan aku, Dewi... batinnya lirih. Aku menjalani ini demi Ibu, tapi hatiku tetap milikmu. ****** Sarah menatap putrinya yang baru pulang dari bertemu dengan sahabat sekolahnya dulu dengan senyum yang sulit disembunyikan. “Mey, duduk dulu, Nak. Ibu punya kabar baik,” ujarnya penuh semangat. Meylin menaruh tasnya di sofa, menatap ibunya dengan bingung. “Kabar baik apa, Bu? Kelihatannya ibu bahagia sekali.” “Ibu baru ditelepon Bu Risma,” suara Sarah terdengar bergetar menahan antusiasme. “Sepertinya Byantara menyukai mu, ia setuju dengan perjodohan itu. Mereka akan datang melamar kamu minggu depan!” Meylin tertegun. “Minggu depan?” ulangnya pelan. “Iya, Nak. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Sarah hati-hati. “Bu Risma bilang Byantara juga sudah menyetujui. Ibu yakin ini jodoh yang baik. Laki-laki seperti dia jarang, Mey.” Meylin mengangguk perlahan, meski dadanya terasa sesak tanpa sebab. “Kalau memang sudah disepakati, aku ikut saja, Bu,” ujarnya lembut. Namun di balik ketenangan itu, pikirannya berputar cepat. Ia masih bisa mengingat tatapan mata Byantara saat pertemuan pertama mereka, tatapan yang sopan, tapi terasa jauh dan dingin. Meylin menatap keluar jendela, senyum tipis tersungging di wajahnya. Mungkin dia hanya butuh waktu untuk terbuka, batinnya mencoba meyakinkan diri sendiri. Aku pun akan berusaha, dan rasanya tidak sulit bagiku untuk menyukainya. Aku sudah kagum padanya, sejak hari itu... saat dia menolongku. Kenangan itu kembali mengalir jelas di benaknya, hari di mana hujan turun tanpa henti, dan ia nekat menyeberang jembatan kecil di pinggir desa, saat sekolah mereka mengadakan study tour..Tanah yang licin membuat pijakannya tergelincir, dan sebelum sempat berpegangan, tubuhnya sudah terhanyut arus deras sungai yang meluap. Air yang dingin menusuk kulit, napasnya tercekat, sementara arus menyeretnya makin jauh. Ia nyaris putus asa ketika tiba-tiba sebuah tangan kuat menarik lengannya. Dengan sekuat tenaga, Byantara menyeretnya ke tepi sungai, tubuh mereka sama-sama basah dan menggigil. “Kamu gila! Kenapa nekat menyeberang di cuaca begini?” suara Byantara terdengar keras, tapi di baliknya ada nada panik dan cemas. Meylin hanya bisa terisak, menggigil di pelukannya, sementara ia merasakan d**a Byantara yang naik turun cepat menahan napas berat. “Kalau aku terlambat sedikit saja…” gumam Byantara pelan, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan, campuran lega, marah, dan sesuatu yang lembut di balik mata dinginnya itu. Namun sesudah itu Byantara menepuk punggungnya lembut, "Tenang, kamu sudah aman." Karena itu, Meylin tahu, ada sesuatu pada pria itu yang berbeda. Pria yang terlihat dingin, tapi memiliki hati yang hangat, hati yang menolong tanpa pamrih. Bersambung.........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN