3. Janji yang Menjerat

1237 Kata
Makan malam itu berakhir tanpa banyak percakapan. Hanya sesekali terdengar suara Meylin yang berusaha mencairkan suasana, dan sesekali jawaban singkat dari Byantara yang terasa seperti angin dingin dan sekedar basa-basi saja. Ketika mereka akhirnya berdiri meninggalkan meja, pelayan menunduk sopan sambil menyerahkan nota. Byantara dengan cepat mengambilnya. “Saya yang bayar,” katanya singkat. “Seharusnya saya ...” Byantara menatapnya sekilas, cukup untuk membuat Meylin menghentikan kalimatnya. “Sudah jadi kebiasaan keluarga saya,” ujarnya pelan, tapi tegas. Meylin mengangguk kecil, senyumnya tetap terjaga. “Baiklah, kalau begitu, terima kasih.” Mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar restoran. Udara malam yang sejuk menyambut, angin membawa aroma bunga dari taman kecil di halaman depan. Di langit, bintang-bintang masih bertabur, seperti mengingatkan Meylin pada harapannya sendiri. Byantara menoleh sekilas, suaranya datar namun sopan. “Tadi berangkat diantar siapa? Biar saya antar pulang.” Meylin tersenyum kecil, menunjuk ke arah sedan putih yang terparkir di sisi kanan. “Terima kasih, tapi saya bawa mobil sendiri. Saya sudah biasa menyetir malam-malam begini.” Byantara mengangguk, tapi matanya sempat menatap mobil itu sebentar, entah karena kagum atau hanya basa-basi sopan. “Berarti kamu perempuan yang mandiri,” katanya akhirnya, nada suaranya sedikit lebih hangat dari sebelumnya. Meylin menatapnya, menahan senyum. “Saya terbiasa begitu. Di luar negeri, semua harus dilakukan sendiri. Kalau menunggu orang lain, kadang tidak selesai.” Byantara mengangguk lagi, kali ini benar-benar menatap wajahnya. Ada sesuatu di matanya, semacam rasa hormat yang muncul perlahan. Namun sekejap kemudian, bayangan itu hilang, tergantikan oleh ketenangan yang kaku seperti semula. “Kalau begitu, hati-hati di jalan.” “Terima kasih. Anda juga.” Meylin membuka pintu mobilnya, lalu masuk dengan anggun. Ia sempat menatap Byantara lewat kaca jendela, dan mendapati pria itu masih berdiri di tempat, menatap kosong ke arah langit. Entah apa yang ia pikirkan, tapi dari sorot matanya, Meylin tahu, Byantara sedang memikirkan seseorang. Mobil Meylin melaju perlahan meninggalkan halaman restoran. Di kursinya, Meylin menggenggam setir erat-erat, mencoba menenangkan debar yang tidak mau berhenti. Bayangan Byantara masih menari-nari di pikirannya, sosok tenang, dingin, tapi memiliki sorot mata yang tak bisa ia lupakan. Dia bukan seperti Andi… Dia bukan pria yang mudah ditebak. Tapi yang jelas, dia punya hati yang baik. Menolong tanpa pamrih. Senyum kecil muncul di wajah Meylin saat kenangan masa kecil itu terlintas, saat Byantara menyelamatkannya dari sungai yang deras, tanpa berpikir dua kali. Dan… biasanya laki-laki pendiam lebih setia, pikirnya, daripada yang pandai berbicara manis seperti Andi dulu. Meylin menarik napas panjang. Kali ini, ia benar-benar yakin dengan keputusannya. Kalau memang Byantara juga bersedia, aku tidak akan menolak perjodohan ini. Mobil terus melaju menembus malam yang penuh bintang. Di dalam hati Meylin, muncul secercah harapan baru, tentang cinta yang mungkin tidak datang dengan kata-kata manis, tapi bisa tumbuh perlahan dari kebersamaan, ketulusan dan kesetiaan kalau memang mereka berjodoh menjadi pasangan suami-istri. ******* Berbeda dengan pikiran positif Meylin, Byantara justru memandang sebaliknya. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya penuh dengan tanda tanya. Perempuan secantik itu… dengan cara bicara yang tenang dan percaya diri, juga memiliki tubuh yang indah. Aku rasa, dia tidak kekurangan penggemar pria. Lalu mengapa dia harus memilih dijodohkan? Byantara menatap jalan di depannya yang lengang, sementara lampu-lampu kota berpendar samar di kaca mobil. Ada rasa penasaran yang bercampur curiga di dadanya. Awalnya, Byantara mengira perempuan yang dijodohkan ibunya itu mungkin saja berasal dari keluarga yang kurang berada sehingga bersedia dijodohkan dengannya. Sebab sejak awal, ia sudah menolak keras untuk tinggal di rumah besar milik keluarganya setelah menikah nanti. Ia dengan tegas mengatakan akan menetap di rumahnya yang terletak di pinggir kota, tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk, pesta, dan dunia sosialita yang selalu membuatnya sesak. Harapannya sederhana: agar perempuan yang dijodohkan dengannya menolak lebih dulu. Ia yakin, perempuan dari kalangan berada tidak akan mau hidup di tempat terpencil, jauh dari gemerlap kota. Namun ternyata, ibunya menyetujui gagasan itu dengan mudah, bahkan terlalu mudah. Dan kini, ia harus mengakui kehebatan sang ibu. Perempuan yang dipilihkannya kali ini tampak nyaris sempurna: cantik jelita, berkelas, datang dengan mobil pribadi yang tidak murah, dan kalau tidak salah dengar, lulusan S2 dari luar negeri. Byantara menatap kosong ke depan, bibirnya membentuk senyum tipis penuh sinisme. Bagaimana mungkin perempuan seperti itu bersedia dijodohkan? Dan yang lebih aneh lagi, bagaimana mungkin dia mau tinggal di tempat terpencil bersamaku? Pikiran itu berputar tanpa henti di kepalanya. Ia tahu betul sifat sang ibu, keras kepala dan penuh ambisi. Bagi ibunya, status sosial atau kekayaan bukan masalah besar, asalkan satu hal: perempuan itu bukan artis. Sejak dulu, sang ibu menyimpan kebencian mendalam terhadap perempuan dari dunia hiburan. Semuanya berawal dari luka lama yang belum sembuh, luka akibat sang ayah yang pergi meninggalkan keluarga demi hidup bersama seorang wanita muda, seorang aktris kecil yang tidak dikenal siapa pun, yang bersedia menjadi simpanan ayahnya, yang mungkin saja umurnya sama dengan ayah perempuan itu. Dan sialnya, cinta pertama Byantara justru berasal dari dunia yang sama. Dewi, teman kuliahnya, perempuan lembut dari keluarga sederhana, dengan mata penuh impian dan semangat tinggi. Ia adalah sosok yang berhasil membuat Byantara merasakan cinta sejati untuk pertama kalinya. Awalnya, ia percaya bahwa cinta bisa menembus segalanya. Ia bahkan sempat yakin bisa memperjuangkan hubungan mereka di hadapan siapa pun, termasuk ibunya sendiri. Namun, dunia tidak seindah keyakinannya. Saat akhirnya ia memperkenalkan Dewi pada ibunya, segalanya berubah dalam sekejap. Senyum yang semula hangat di wajah ibunya lenyap, berganti dengan tatapan dingin penuh penolakan. Begitu masa lalu sang ayah kembali diungkit, keputusan itu jatuh tanpa bisa diganggu gugat. “Tidak ada perempuan dari dunia itu yang akan masuk ke keluarga ini.” “Ibu akan mati di depanmu kalau kamu menikah dengan perempuan yang bekerja sebagai artis!” Kata-kata itu menghantam keras, meninggalkan bekas dalam di hati Byantara. Ia tahu, ibunya tidak main-main dengan ancamannya. Namun cinta membuatnya bodoh. Ia mencoba membujuk Dewi untuk meninggalkan dunia hiburan. “Tanpa bekerja pun aku bisa menghidupimu, Dewi. Bisakah kamu mengalah kali ini? Kalau kamu ingin berkarier, kamu bisa bekerja di perusahaan ku,” pinta Byantara dengan nada memohon. Tapi yang tidak ia tahu, Dewi bukan tipe perempuan yang mudah mengalah. Selama ini ia hanya melihat sisi lembut dan keibuan Dewi, tanpa menyadari ambisi besar yang tersembunyi di balik sikap manisnya. “Berarti kamu lebih memilih putus denganku?” tanya Byantara kecewa. “Aku tidak akan putus denganmu, Byan. Kamu tahu aku mencintaimu.” “Lalu apa maksudmu?” “Kamu turuti ibumu. Menikahlah dengan perempuan yang dia pilihkan. Tapi berjanji lah satu hal padaku, jangan pernah menyentuh perempuan itu.” “Apa?” “Kalau dia lama tidak punya anak, ibumu juga akan kecewa. Saat aku sudah siap, aku akan hamil anakmu. Dan kalau kita sudah punya anak, ibumu pasti akan berubah pikiran.” “Dewi…” suara Byantara tercekat, tapi belum sempat ia melanjutkan, bibir Dewi sudah menempel di bibirnya. Rayuan lembut itu mematikan seluruh logikanya. Ia tahu rencana itu gila, tapi malam itu ia terlalu lemah untuk menolak. Kini, bayangan itu kembali menghantui. Pernahkah ia benar-benar mengenal Dewi? Perempuan yang lembut dan manis itu ternyata bisa begitu licik dalam memperjuangkan ambisinya. Namun rasa cintanya pada perempuan itu sudah mengaburkan logikanya. Dan entah kenapa, saat wajah Meylin melintas di benaknya, pikiran buruk tiba-tiba muncul. Dewi saja bisa seberani itu… apalagi perempuan yang pernah menempuh pendidikan di luar negeri, di negara yang bebas seperti itu? Siapa tahu, dia sedang hamil dan butuh sosok ayah untuk anaknya? Kalau tidak, mengapa perempuan secantik dan sepintar itu mau dijodohkan begitu saja? Bersambung.......
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN