"Hari yang indah untuk hati yang lelah," gumamku lirih.
Aku sudah di kantin, menikmati secangkir kopi hitam. Mata kuliah hari ini sangat membosankan. Tidak ada hal bagus yang bisa dipelajari kecuali berkonsentrasi untuk bisa mendapat nilai tinggi dalam sebuah teori. Aku sangat membenci hal semacam itu. Walau sebenarnya, ada hal yang lain yang jauh kubenci daripada itu.
"Hei," sapa Betty, teman serumah dan satu jurusanku.
"Hei," sahutku membalas sapaannya.
"Jadi, apa kamu berencana untuk pergi?" tanya Betty.
Aku menghela napas panjang lalu menggeleng pelan.
"Ayolah, dia adalah lelaki yang baik," bujuk Betty.
Aku hanya menggeleng sekali lagi.
Tadi pagi Betty mengajukan sebuah penawaran bahwa ingin aku pergi menemui salah satu temannya yang meminta Betty untuk menjodohkan dirinya denganku. Bisa dibilang, ini semacam kencan buta. Entah sudah berapa kali kukatakan bahwa aku tidak ingin pergi tetapi Betty selalu memaksa.
"Ayolah, aku akan sangat berterimakasih jika kamu bersedia pergi. Dia seniorku saat SMA, cukup tampan dan kaya." Betty kembali berusaha membujukku.
"Betty, sudah aku katakan bukan? Saat ini aku tidak tertarik dengan hubungan asmara," ucapku.
Betty menghela napas berat.
"Ah, padahal aku pikir kali ini kamu akan mau. Ini sudah ke-27 kalinya dan kamu selalu menolak. Sampai kapan kamu akan begini? Apa menjadi jomblo itu asyik?" tanya Betty penasaran.
Aku terkekeh mendengar pertanyaan Betty sehingga gadis itu sedikit menekuk wajahnya, BT.
"Hei, aku ini sedang serius. Mengapa kamu malah tertawa huh?" protes Betty.
Aku hanya sedikit menyeringai lalu meneguk kembali kopi hitamku.
"Ih, kamu minum kopi hitam tanpa gula lagi huh?" tanya Betty dengan sedikit bergidik ngeri.
"Huum, kenapa?" tanyaku heran.
"Tidak pahit?" tanyanya balik.
"Tentu saja pahit," jawabku.
"Lalu mengapa kamu suka sekali dengan itu?" tanya Betty lagi.
Aku hanya tersenyum.
"Karena yang manis belum tentu menyehatkan," sahutku.
Betty menautkan alisnya.
"Oke, kita hentikan saja. Jika aku lanjutkan, aku yakin 100% kamu akan mengoceh tentang hormon, daya tubuh manusia dan lain-lain. Jika kamu begitu tertarik pada kesehatan, mengapa kamu tidak menjadi dokter saja huh?" kata Betty panjang-lebar.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku pelan sembari tertawa ringan.
"Jika aku melakukan itu, kamu pasti akan kesepian di jurusan hukum bukan?" tanyaku setengah menggodanya.
Betty memajukan sedikit bibirnya dan menatapku lekat beberapa saat.
"Oke, aku tidak bisa menyangkal soal itu," katanya langsung menyerah.
"Tapi, aku masih berpikir kalau kamu salah jurusan," kata Betty bersikeras.
"Btw, bukankah dulu kamu pernah kuliah jurusan kedokteran sebelum akhirnya keluar dan mendaftar di jurusan hukum bukan?" tanya Betty.
Aku terdiam, senyumku lenyap dalam sekejap.
Aku meletakkan cangkir kopiku dan menatap Betty dingin.
"Kamu…." Aku menghela napas ringan, menatap tepat bola mata Betty yang hitam dan sedikit sipit itu.
"Tahu dari siapa?" tanyaku penuh penekanan.
Betty menelan ludah. Mendadak, dia terlihat takut.
"Jangan menatapku begitu," pinta Betty dengan suara yang gemetar. Betty hendak menarik tangannya yang berada di meja, tetapi aku menangkap tangan itu. Walau itu tangan berbeda dengan yang hampir kupatahkan tadi pagi.
"Tahu dari siapa?" kataku mengulang lagi pertanyaanku.
"Kak Della," jawab Betty sambil sedikit meringis kesakitan.
"Apa ada yang tahu selain kalian berdua?" tanyaku.
Betty menggeleng.
"Bagus, sebaiknya kamu kunci rapat mulutmu. Jika tidak, aku akan membunuhmu!" kataku serius.
Betty tampak pucat, gadis itu berkeringat dingin. Bibirnya tampak memutih dan matanya tak henti-hentinya berkedip. Aku rasa bulu kuduknya sudah berdiri semua. Aku pun melonggarkan cengkramanku dan tertawa.
"Bagaimana? Apa aktingku sebagai penjahat bagus?" tanyaku lantas tertawa.
"Huh?"
Betty melongo.
"Jadi, kamu…Ah!" Dia terlihat kesal sekaligus lega.
Aku tertawa sekali lagi sehingga nyaris terbahak.
Betty memukul ringan lenganku.
"Dasar," dengusnya kesal.
"Kamu ini menakutiku tauk! Jantungku nyaris meledak!" protes Betty.
"Jika aktingmu sebagus itu, pindah jurusan sana! Dari hukum ke jurusan film!" imbuh Betty kesal.
"Ogah," tolakku.
"Aktingmu sempurna, jadilah aktris!" sindir Betty.
"Aku tidak ingin berbeda kampus denganmu," ujarku yang membuat Betty langsung luluh.
"Duh, bisa saja mencairkan hatiku," puji Betty.
Aku hanya tersenyum geli.
Praangg.
"Kamu masih berhubungan dengannya huh? Wanita sialan yang sudah kamu buang, bukankah seharusnya tidak kamu pungut lagi?" Teriakan keras itu membuatku dan Betty seketika menoleh ke sumber suara.
Dua orang—lelaki dan perempuan, sepertinya pasangan, sedang bertengkar hebat. Perempuan itu bahkan melempar ponsel milik lelaki itu hingga layarnya pecah dan baterainya terpisah dari casingnya.
"Tidak! Aku hanya menanyakan kabarnya saja," bantah lelaki itu.
"Menanyakan kabar huh? Jika kamu masih peduli padanya, mengapa kamu mencariku dan memilihku huh?" perempuan itu kembali meninggikan suaranya sepertinya amarahnya sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
"Aku merasa kalau dia bukan seperti dia yang dulu. Aku merasa merindukannya sedikit, tidak bolehkah aku tahu keadaannya setelah aku meninggalkannya demi kamu?" ungkap lelaki itu yang juga mulai sedikit terpancing amarahnya.
"Jelas saja tidak boleh! Dia hanya mantanmu, bukan siapa-siapamu lagi. Kamu yang membuangnya demi aku, jadi jangan berani-berani membuangku demi dia. Jika tidak, akan aku ungkap semua kebusukanmu!" kata perempuan itu setengah mengancam.
"Kamu ini, ternyata perempuan seperti itu ya? Dia saja tidak pernah mengancamku dengan trik murahan begitu walau tahu semua aibku." keluh lelaki itu.
"Tentu saja, aku dan dia berbeda. Aku adalah perempuan yang cerdas sedangkan dia adalah perempuan bodoh!" sanggah perempuan itu dengan sombong.
"Aku tidak tahu kalau ternyata kamu sebusuk ini," ujar lelaki itu geram.
"Cih, bukankah kamu lebih busuk?" sindir perempuan itu.
"Apa?" teriak lelaki itu antara kesal dan kaget.
"Apa? Apa kata-kataku salah huh?" tantang perempuan itu.
Mereka saling menatap dengan tatapan kebencian yang saling tersembunyi dibalik sebuah perasaan yang mereka sebut Cinta.
"Hei, itu siapa?" tanyaku pada Betty.
"Ah, Aulia Fitri Yanti," jawab Betty.
"Siapa?" tanyaku lagi.
"Kamu tidak kenal?" tanya Betty heran.
Aku mengeleng sehingga Betty menepuk jidatnya ringan.
"Aulia, si pelakor zaman now!" jelas Betty.
"Huh?"
Betty menghela napas panjang.
"Kamu ini benar-benar kudet," ledek Betty.
Aku hanya memberikan cengiran.
"Jadi, lelaki itu adalah Fufu, anak Elektro. sedangkan si Aulia itu anak Ekonomi. Mereka adalah pasangan paling hits di kampus." jelas Betty.
"Kenapa begitu?" tanyaku mulai tertarik.
"Karena hubungan mereka dimulai dari sebuah perselingkuhan. Fufu sudah memiliki kekasih di kampus lain. Mereka sudah berpacaran selama hampir 6 tahun dan si Aulia, rubah betina itu merebut Fufu hanya dalam waktu 3 bulan. Parahnya, dia sudah tahu status Fufu dan masih nekat. Karena itulah dia disebut pelakor zaman now!" jawab Betty menjelaskan panjang-lebar.
Aku menaik-turunkan kepalaku.
"Oh, jadi sekarang si Fufu itu mulai menyesal karena telah memilih Aulia?" tanyaku mencoba menyimpulkan penjelasan dari Betty.
"Ya, kalau dilihat dari pertengkaran- pertengkaran mereka sepertinya begitu," jawab Betty ragu.
"Heh? Jadi ini bukan pertengkaran mereka yang pertama?" tanyaku memastikan.
Betty mengangguk.
"Iya, bagaimanapun aku membenci hubungan semacam itu." kata Betty.
"Semacam itu?" tanyaku tidak mengerti.
"Iya, hubungan pacaran yang dimulai dari merebut milik orang lain," jawab Betty.
"Hm," ucapku berpura-pura belum mengerti.
"Hubungan yang dimulai dari permulaan yang salah seperti perselingkuhan hanya akan menghasilkan penyakit pada diri sendiri. Karena menyegarkan bangkai lebih susah daripada mengawetkan daging yang nyaris membusuk," kata Betty menambahkan.
"Ah, tapi aku peringatkan, jangan dekati lelaki seperti itu. Kamu ini cantik dan pasti akan aku kenalkan lelaki yang baik untukmu. Paham?" nasehat Betty.
"Iya, iya," sahutku agak malas.
"Jangan iya iya, awas kalau kamu terlibat cinta busuk begitu," ancam Betty.
"Tidak akan, tenang saja," janjiku.
"Good," kata Betty merasa lega.
Aku tersenyum kecil lalu meminum kembali kopi hitamku lalu melihat Betty. Dia juga melakukan hal yang sama denganku. Diam-diam aku memperhatikan lagi kedua orang yang tengah berdebat itu.
Ah, pasangan pengkhianat dan pelakor ya? Haruskah aku lenyapkan saja mereka? Aku yakin, daging busuknya akan menjadi campuran yang pas untuk kueku.