9 – Orang-orang Terdekat Kamala

1987 Kata
Kamala sudah menghabiskan satu botol infus karena belum bisa menerima makanan. Kondisinya masih bisa dikatakan lemah, tekanan darahnya juga rendah dan tidak bisa melakukan banyak hal selain berdiam di ranjang. Sebelumnya setiap Tante Mia atau Kamil ingin menyuapkan bubur atau buah-buahan, Kamala menolak dengan membuang muka. Ia hanya melamun dengan tatapan sendu, kesedihan masih merundung Kamala. Dari semua keluarga besar yang datang, tersisa Tante Mia yang tidak pulang. Beliau masih khawatir kalau meninggalkan Kamala dalam kondisi seperti ini. Karena memiliki pekerjaan yang cukup santai, Tante Mia rela tinggal untuk menemani sang keponakan. Ini juga cukup meringankan Kamil dan Farhan yang tengah sibuk mempersiapkan kepindahan. Sebagian barang-barang sudah dipacking. Kalau tidak ada halangan, mungkin seminggu lagi mereka akan berangkat. Menunggu keadaan Kamala cukup membaik untuk dibawa bepergian. Tidak banyak yang mereka bawa, karena fasilitas rumah di Surabaya cukup lengkap. Kecuali yang penting-penting saja, seperti bingkai foto serta semua benda kepunyaan Kamala yang tidak boleh ditinggal. Siang ini masih seperti biasa. Kamil dan Farhan bekerja, sementara Kamala di dalam kamar. Tante Mia, sebelum menemani Kamala akan disibukkan dengan pekerjaan rumah. Beliau mencuci pakaian semua orang rumah, memasak untuk makan siang, mencuci piring, bahkan menyapu dan mengepel. Kamala sedang bersandar di punggung ranjang. Ia melamun beberapa saat, kemudian menunduk melihat tangannya dipasangi infus. Dua belas hari sudah berlalu, tapi bayang-bayangan gagal menikah dan penghianatan Daniel masih membekas di ingatan. Hati Kamala seperti diremas, rasa sakit dan sesak teramat mencekik. Emosi dan sedih menggumpal jadi satu, ingin melampiaskan tapi tidak sudi lagi melihat wajah laki-laki itu. Bobot tubuh turun drastis. Beban yang ditanggung, mencuri sebagian nutrisi di tubuh Kamala. Semua orang yang melihat, pasti kompak berpendapat Kamala sekarang hanya punya tulang yang menyelimuti kulit. Cekungan di mata terlihat jelas, begitu juga lingkaran hitam di bawahnya karena susah tertidur. Tapi, ini lebih mending dari sebelumnya. Karena sebelumnya Kamala beberapa kali jatuh pingsan, sadarpun digunakan untuk menangis sesegukan. Kalau kelelahan, dia akan tertidur dengan mata sembab dan hidung memerah. Farhan sampai kehabisan akal, dokter silih-berganti datang ke rumah. Banyak obat yang diresepkan, namun Kamala tidak menunjukkan perubahan. Hingga jawaban satu-satunya yang mereka dapat adalah, membawa Kamala pergi dari lingkungan ini. Demi kesembuhan fisik dan hati, serta kewarasan pikirannya. Ketukan di pintu kamar membuat Kamala mendongak. Ia mendapati Tante Mia berdiri di sana, dengan sebelah tangan memegang handle. Beliau tersenyum lembut pada Kamala. “Mau makan dulu, Nak?” tanya beliau, seiring dengan melebarkan cela. “Tante buat ayam geprek kesukaan kamu. Cicipin sedikit ya, Sayang?” Kamala tidak menjawab. Bibirnya masih enggan membuka, tapi ia mendengarkan Tante Mia. Termasuk mengamati dalam diam wanita yang ia anggap mama kedua itu. Jejak basah terlihat jelas di pakaian yang Tante Mia kenakan, menandakan tadi beliau baru selesai mencuci sesuatu. Kamala tidak sampai hati melihat tantenya kerepotan, tapi susah mengekspresikan perasaan di kondisi sekarang. “Itu infusnya dikit lagi habis. Jaga-jaga biar badannya nggak lemas, makan dulu bareng Tante.” Beliau melangkah mendekati Kamala. Melihat tabung infus sebentar, kemudian menatap Kamala lagi. Tangan beliau otomatis terangkat, memeriksa suhu tubuh Kamala. “Mala hebat, ini enggak panas lagi, Nak. Semangat sembuh ya, Sayang. Biar bisa pergi ke tempat baru sama papa dan abang.” Ia menggigit bibir, kemudian mengangguk pelan. Perihal kepindahan, Kamala sudah tahu. Ia juga pasrah dan tidak punya tanggapan, karena lingkungan sini memang tidak bisa ditinggali lagi. Ia yakin, beberapa bulan ke depan kabar batalnya pernikahan masih belum hilang. Siapa yang bisa menjamin kalau Kamala keluar, tetangga tidak akan berbisik-bisik tentangnya. “Makannya di kamar, di ruang makan, atau ... di ruang santai? Sudah lama juga ‘kan nggak keluar, pasti sumpek di sini. Kalau mau, Tante bisa ambil kursi roda. Kemarin Langga ada bawa, katanya minjem punya ibu teman kerjanya yang nggak terpakai. Buat Mala ke mana-mana semisal masih lemas buat berdiri.” Lagi, Kamala mengangguk. Kali ini ia tidak mau lagi terlalu larut. Meski tidak mudah menyudahi kesedihan, tapi setidaknya sudah ada inisiatif untuk merespon orang-orang sekeliling yang mengajaknya bicara. “Tunggu di sini, ya. Tante ambil dulu.” Saking senangnya, Tante Mia sempat mengusap pipi Kamala. Akhirnya sekarang sudah berbalas, setelah berhari-hari hanya mendapat kebisuan. Beliau yakin, keponakannya sangat tangguh. Tidak mudah berada di posisi Kamala, maka dari itu beliau mengapresiasi apa pun perkembangannya sekarang. Sambil menunggu, Kamala pelan-pelan membawa kakinya menapaki lantai. Saking tidak seringnya ia bergerak, kaki terasa gemetar dan tubuh terasa lemas. Napasnya juga tidak beraturan, karena merasa sedikit kelelahan. Tante Mia datang di waktu yang tepat. Beliau bergegas mendorong kursi roda ke samping Kamala, kemudian membantu duduk setelahnya. Tidak lupa beliau mendekatkan tiang infus, yang nantinya akan Kamala pegang saat Tante Mia mendorong kursinya. “Sambil nonton aja, ya. Langga juga bilang mau pulang, makan siang di sini katanya. Tadi nelpon, nawarin Tante mau dibelikan apa sekaligus nanya Mala mau apa.” Memikirkan Airlangga, Kamala bisa merasakan hangat memenuhi dadaa. Selain keluarga, laki-laki itu, Om Pradana dan Tante Paramitha juga memperdulikannya. Mereka ... sangat perhatian padanya. “Tapi, Mala marah nggak ‘kan kalau jawaban Tante ‘nggak usah’. Soalnya ‘kan Tante udah masak.” Kamala mengangguk. Atas respon itu, Tante Mia tersenyum. Beliau mulai mendorong kursi roda keluar dari kamar, menuju ruang santai yang jaraknya tidak begitu jauh. Letaknya di ujung lorong, sebelum ruang tamu. Setelah sampai, Tante Mia membantu Kamala berpindah ke sofa. Beliau kemudian meletakkan kursi roda di sudut ruangan, juga menghidupkan televisi. Untuk jaga-jaga, Tante Mia mencari saluran yang menayangkan acara hiburan. Supaya Kamala tenang dan berharap kesedihannya bisa sedikit mencair. “Tante ke dapur dulu, ya. Ambil semuanya.” Beliau berlalu detik itu juga. Kamala sempat mengamati kepergian Tante Mia, tapi tidak lama karena Tante Mia menghilang di balik pintu. Kini ia memfokuskan pandangan pada benda layar datar yang menampilkan kartun. Sekarang ia benar-benar diperlakukan seperti anak kecil yang pesakitan. Tapi tidak dipungkiri, Kamala terharu dan perasaan sayangnya terhadap Tante Mia makin besar. Beberapa menit kemudian, suara panggilan dari arah luar membuyarkan konsentrasi. Kamala langsung menoleh, karena ia kenal dengan pemilik suara ini. Airlangga. Laki-laki itu terdengar memanggil Tante Mia. Suaranya juga semakin lama semakin mendekat. Kamala ingin menyahut atau memunculkan diri, tapi yang ia lakukan justru masih tidak bergeming. “Tante Mi–hai, Putri Tidur.” Airlangga melongokkan kepala bersamaan dengan sapaan yang absurd. Dia tersenyum pada Kamala, kemudian melangkah masuk. “Sudah tidak di peti lagi, ya. Sudah bangun dari tidur panjang. Mungkin sihirnya sudah patah oleh pesona pangeran yang bernama Langga.” Kemudian Airlangga meletakkan beberapa kantong kresek di atas meja, lalu ikut duduk di samping Kamala. “Kita tes kesadaran dulu. Ini berapa, La?” Jari telunjuk dan tengahnya membentuk v, dibarengi kekehan pelan. “Kalau jawabannya benar, baru Abang yakin kamu Mala yang biasanya.” Tidak ada jawaban. Ia hanya menatap wajah dan tangan Airlangga bergantian, tapi jujur di dalam hati Kamala meringis geli. Kenapa sahabat abangnya ini kerap kali bertindak aneh. Tapi, hal itu juga yang buat Kamala senang berteman dengan Airlangga. “Yah, masih puasa bicara. Tapi tidak pa-pa. Yang penting sudah mau keluar.” Tangan Airlangga terangkat, mengacak pelan rambut Kamala. “Abang senang Mala mulai berdamai. Semoga ke depannnya lebih baik lagi.” “Lho, sudah lama datangnya, Ngga?” Airlangga menoleh, kemudian bangkit membantu Tante Mia. Dia membawa nampan yang berisi piring, gelas, juga teko air. “Tidak juga, Tante. Tadi sempat ngobrol lewat batin sama Mala. Dia jawabnya lancar.” “Ada-ada saja.” Tante Mia menggeleng dibarengi tawa kecil. Mereka makan lesehan di lantai, jadi setelah Airlangga meletakkan nampan di atas karpet, langsung memindahkan meja agar lebih leluasa. Sedang Tante Mia terlihat menata beberapa menu makan. Termasuk mulai menyendok nasi ke piring dan menuang air ke dalam gelas. “Pelan-pelan turunnya, Nak.” Kamala mengangguk sebagai respon. Saat ia mengangkat tangan, Airlangga yang super peka juga membantunya. Dengan cekatan Airlangga menarik tiang infus, termasuk membuat lebih rendah supaya selangnya tidak tertarik saat Kamala duduk. Makan siang mereka dimulai. Tidak banyak yang diobrolkan, karena baik Airlangga maupun Tante Mia sama-sama terlihat fokus pada piring masing-masing. Sedang Kamala, sedikit kesulitan karena makan menggunakan sendok. “Mau Abang bantu?” Ia mendongak. Tatapan mereka bertemu dan Kamala tidak menemukan binar geli di sana. Pelan Kamala menjilat bibir, kemudian mengangguk sebagai jawaban. Airlangga mengambil alih. Dia memotong kecil-kecil ayam di piring Kamala, lalu menyodorkan sendok yang berisi nasi ke depan bibir Kamala. “Buka mulutnya, anak manis.” Tante Mia tertawa mendengarnya. Sedang Kamala, menurut dengan mulai wajah bersemu. *** Kamil tidak bisa menahan emosi. Ia lepas kendali begitu saja saat melihat Daniel berdiri di depan pagar rumah mereka. Tadinya Kamil pikir, pulang kerja jadi satu-satunya waktu yang ditunggu. Karena ia akan bertemu Kamala, termasuk bisa melihat kondisi adiknya. Sayang sekarang tidak lagi. Ia menyeret Daniel ke tempat yang lebih jauh dari rumah, kemudian melayangkan tamparan detik itu juga. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. “Berengsekk! Masih berani lo muncul di depan gue?!” “Bang, gue–” Kamil tidak mengizinkan dia membalas. Ia mendorong Daniel sampai tersungkur, kemudian menendang berkali-kali. “Matii lo, bangsatt! Matii! Adek gue lo buat hancur berantakan. Sebelum lo menderita, gue nggak bakal lepasin.” Suara Daniel terbatuk-batuk menandakan apa yang diterima tidak bisa dia ditoleransi. Kamil benar-benar kalap, matanya semakin menggelap dengan wajah datar tanpa ekspresi. Segala tindak kekerasan dia layangkan pada Daniel, tanpa ampun dan tanpa belas kasih “Menyesal gue pernah kasih izin lo pacarin dia. Menyesal banget, anjingg! Keluarga gue nggak pernah biarin dia terpuruk, sementara lo yang notabene orang luar bikin dia nangis berhari-hari. Lo sama aja bunuhh diri!” Orang-orang yang mendengar keributan, lantas keluar dari rumah. Beberapa satpam juga mendekat, mereka meminta berhenti, juga lekas melerai. “Mas Kamil, sudah! Atau kalau tidak, kami terpaksa memanggil polisi.” Hanya karena Kamil tiba-tiba teringat Kamala, ia akhirnya mau menarik diri. Ia terengah-engah, dengan telunjuk teracung. “Sampai gue lihat lo lagi di sekitar sini, lo nggak akan selamat. Gue pastiin lo benar-benar matii detik itu juga!” Keduanya kemudian dilerai. Daniel dibantu dipapah satpam lain, sementara Kamil dibawa menuju pos terdekat. Salah satu di antara mereka juga memanggil orang tua Kamil. Mereka nanti akan interogasi sebentar, sebelum memutuskan apakah ini perlu dibawa ke kantor polisi atau tidak. Kehebohan tidak bisa dihindari. Beberapa tetangga yang menyaksikan mulai berbisik-bisik. Satu dua kalimat mereka terdengar oleh Kamil, membuatnya otomatis mengepalkan tangan, karena nama Kamala disebut-sebut di sana. Terlebih ada kata yang membuat Kamil marah, ‘gagal menikah’. Kalau tidak memikirkan keluarga, detik itu juga Kamil akan membungkam mulut-mulut mereka. Kamil berusaha menarik napas, membuat dirinya lebih tenang, kemudian fokus pada langkah. Mereka tiba di pos beberapa menit kemudian. Ada Daniel juga, dia tengah diobati, membuat Kamil melayangkan dengkusan sinis. Kalau saja mereka turut merasa apa yang keluarganya alami, tentu Kamil yakin mereka tidak sudi menolong laki-laki bejatt itu. Papanya kemudian datang dengan Airlangga. Sempat papanya menanyakan kondisi Kamil, yang jelas Kamil jawab baik-baik saja. Setelah itu baru papanya mendengar penjelasan dari satpam, tanpa melirik sekalipun pada Daniel. “Lo apa-apaan, Mil?” bisik Airlangga. “Mala baru agak baikan. Kalau lo bikin kehebohan berujung di balik jeruji besi, dia jauh lebih terpukul dibanding batal menikah.” “Gue marah, Ngga!” “Gue tau, tapi nggak harus gini, kan? Lo pernah tanya Mala soal balas Daniel buat dia. Tapi, lo ingat jawabannya apa?” Kamil diam. Napasnya memburu, menandakan ia kesal. Airlangga yang paham, langsung merangkul bahunya. Menenangkan. “Gue juga, Mil. Gue juga marah sama anak bangsatt itu. Tapi dibanding semuanya, gue lebih sayang Mala. Dia jauh lebih butuh perhatian. Balas dendam cuma buang-buang waktu.” Mendengar Kamil tidak menyahut, Airlangga kembali melanjutkan, “Berharap aja Daniel nggak nuntut, supaya malam ini lo pulang dalam keadaan aman. Tapi ingat, ini bukan berarti lain kali lo bisa ulangi lagi. Mala jauh lebih senang kalau abangnya nggak terlibat apa-apa. Dengan begitu, kalian semua bisa fokus ke rencana yang ada.” “Banyak omong lo!” dengkus Kamil seraya melepaskan rangkulan, tapi tidak dipungkiri ia juga mendengarkan kata-kata Airlangga. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN