2 – Bubur Ayam

1523 Kata
“Lihat, Pa, Mala mulai tidak waras.” Kamala mendelik tidak senang, tapi hanya beberapa saat, karena ia kembali menatap ponselnya lagi. “Iri bilang, Bos! Pasti Abang kesel juga ‘kan diduluin sama Mala. Makanya jangan jomlo. Kalau enggak jomlo-pun, harusnya punya keberanian kayak Kak Daniel. Contoh dia, tuh! Dikatain cupu, anak manja, bajiingan tengik, tapi siapa yang nyangka bisa siapin kejutan luar biasa. Dia wujudin impian perempuan, buat Mala spesial. Buat perempuan-perempuan di luar sana menjerit iri pengen di posisi Mala.” Kamil memutar bola mata malas. “Selama dia belum boyong keluarga ke sini, Abang belum mau akui kalau dia gentleman. Lagipula, pria dinilai bukan dari seberapa heboh dia membuat kejutan, tapi seberapa serius dia dalam menepati kata-katanya.” “Alah, ngeles mulu. Bilang aja Abang ngerasa dikalahin. Selama ini ‘kan kalau Kak Daniel datang ke rumah, Abang selalu musuhin dia. Gertak dia, diancam-ancam kayak yang dia jahat aja.” “Mudah sekali memahami kaum sendiri. Dari wajahnya, apalagi tatapan matanya. Dan anak uang itu, sama sekali tidak lolos dari seleksi Abang. Dia belum layak. Ah, lebih tepatnya tidak layak.” “Papa, Abang nakal!” adu Kamala kesal. “Nggak mau banget dia liat adeknya bahagia. Ini Mala bukan anak kecil lagi. Tegur Abang, Pa! Mala sekarang udah bisa buat keputusan sendiri. Tahu mana yang baik, mana yang buruk buat Mala. Jadi, berhenti atur-atur dan nakut-nakutin.” Farhan menggeleng-gelengkan kepala. Mereka ini, padahal bukan anak kecil lagi. Kamil 25 tahun, Kamala 22 tahun. Tapi, usia tidak membuat mereka berhenti bertindak kekanakan dan saling mengusili. Di mata Farhan, terkadang itu sebuah hiburan, tapi lebih sering merasa pusing karena terlalu berisik. “Mil, berhenti bikin Mala kesal. Lihat wajahnya sampai merah, apa tidak kasihan sama adeknya sendiri? Dan Mala juga, jangan banding-bandingin seseorang. Beda kepala beda pemikiran, beda sifat, beda tindakan. Papa bukan menasihati sepihak, tapi dua-duanya, karena kalian butuh itu.” “Tuh, dengerin!” “Abang tuh yang mesti dengerin!” Mata Kamala melotot, ditunjang napasnya yang kembang-kempis. “Ini bisa jadi peringatan juga buat nggak gertak Kak Daniel lagi. Dia bakal jadi adik ipar Abang, kurang-kurangin jahatnya.” “Sudah merasa yakin dia.” Kamil berdecak, kemudian menatap Farhan. “Pa, gimana masalah Mala ini? Anak uang itu lamaran di belakang kita. Sampai heboh, terus tersebar di mana-mana videonya. Tapi, sekarang apa? Batang hidungnya pun tidak terlihat. Kamil merasa diejek, lho, Pa. Merasa tidak dihormati. Anak uang itu ada-ada saja kelakuannya.” “Ditunggu saja. Baiknya, sih, langsung ke Papa. Tapi tidak ada salahnya mengistimewakan Mala, karena adekmu lebih dari pantas mendapatkan hal itu–” “Dengerin, Bang! Papa aja bisa nilai. Beda dari Abang yang–” “Jangan disela dulu omongan Papa.” Farhan menggeleng pelan, juga tersenyum tipis. “Mereka terhitung lumayan lama pacaran. Bagus Daniel punya pikiran membawa hubungan ke jenjang yang lebih serius. Bagaimanapun dia melamar Mala, Papa tidak masalah. Asalkan nanti dia ada pembicaraan lagi ke antar keluarga. Kalaupun dia hanya bertindak di depan publik, tanpa mau mempertanggungjawabkan ucapannya, maka dia sendiri yang malu.” “Tapi kita juga ikut malu, Pa. Wajah Mala jelas terpampang di sana. Kalau dilamar heboh berujung gagal menikah, orang-orang mudah menelusuri sampai ke akar-akar. Sudah pasti keluarga kita diejek nanti.” “Mala, coba bilang ke Papa, sudah berapa hari terlewat dari kejutan Daniel?” “Dua hari, Pa.” “Dua hari masih terbilang singkat. Kita tunggu saja, kalau lebih dari sebulan baru patut dipertanyakan. Kamu itu, Mil, kayak petasan banting saja. Yang dilamar Mala, yang heboh malah kamu.” “Terserahlah.” Kamil mendengkus kesal, kemudian pergi dari ruang tamu. Tersisa Kamala dan Farhan. Kini Kamala merangkul lengan Farhan, bersandar manja dan tersenyum senang. “Terima kasih, Pa. Kak Daniel bilang nanti datang, kok, sama orang tuanya. Mala yakin sama dia. Hanya saja Mala suka kesel sama Abang, selalu aja kompor-komporin. Kalau memang nggak suka, yaudah sendiri aja. Jangan ngajak-ngajak orang.” Farhan terkekeh. Ia membelai rambut si bungsu, dengan sayang. “Senang banget, ya, sampai Abangnya diomelin karena menyinggung Daniel. Secinta itu sama dia, Nak?” “Iya, cinta banget. Tapi, masih cinta Papa sama abang, kok. Kalian nomor satu, baru Kak Daniel setelahnya.” “Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Padahal baru saja kemarin Papa ajarin kamu naik sepeda, antar di hari pertama masuk sekolah, bahkan rasanya baru melihatmu memakai toga, sekarang tiba-tiba ada yang melamar saja. Gadis Papa tumbuh sempurna, kayak almarhumah mamanya.” “Sayang Papa banget. Terima kasih banyak, ya. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang bisa menggantikan posisi Papa di hati Mala.” “Terima kasih, Nak.” Mereka berpelukan, dengan Kamala menenggelamkan wajah di dadaa papanya. Senyum gadis itu tidak luntur di bibir, ia memejamkan mata sambil membayangkan betapa sempurna hidupnya. Memiliki papa, abang yang perhatian walau rkadang menjengkelkan, dan Daniel nanti. Lengkap sudah hidupnya saat ini. *** Kakak : [Love, tunggu kedatangan kami nanti. Have a nice day, Sayang.] Kamala senyum-senyum sendiri setelah membaca. Jantungnya berisik sekali, debaran yang buat geli sekaligus mengantarkan desiran kecil. Nanti itu ... ia tidak sabar menunggu. Ia ingin melihat Daniel mengungkapkan keseriusannya di depan Farhan, sebagaimana dia melamar Kamala di depan orang banyak. Me : [Hive a nice day too ... Mala sayang Kakak.] Dengan dipenuhi emoticon love yang banyak. Setelah dikirim, didekapnya erat-erat ponsel di dadaa. Napasnya ditarik dalam, lalu diembuskan perlahan dan teratur. Tidak lama, Kamala cekikikan sendiri. Merasa senang sekaligus kasmaran. “Siapa yang tertawa sendiri, maka temannya adalah setaan.” Percikan air menyusul setelah kalimat itu diucapkan. “Lihatin apa, sih? Pagi-pagi sudah berseri saja. Padahal harinya lagi mendung.” “Abang tuh setaannya!” dengkus Kamala, sewot. Ia mengusap wajah yang basah, kemudian mengikat kembali tali sepatu yang sempat terhenti. “Gangguin kesenangan orang aja. Cari sendiri, gih!” Airlangga terkekeh. Bergegas ia meletakkan selang, lalu turut memasang sepatu. Pagi buta memang seperti ini rutinitas mereka. Olahraga bersama, berdua saja. Kamil jangan ditanya, dia memilih mendengkur di kamar dibanding mencari keringat. “Kapan lamaran resminya? Kira-kira, Abang boleh lihat tidak? Sekalian belajar, biar melamar cewek nanti bisa intip kalian.” “Sebentar lagi. Nanti kalau deket harinya, Mala kasih tau ke Abang, tante sama om, kok.” Gadis itu menyibak rambutnya ke belakang, kemudian bangkit setelah mengantongi ponsel di celana. “Yuk, Bang! Tiga putaran, ya, abis itu makan bubur ayam di Pak Ari. Kali ini Mala yang traktir.” “Tumben?” “Soalnya lagi bahagia. Kalau tiap hari bahagia, Abang juga tiap hari dapat traktiran Mala.” Kekehan Airlangga kembali mengudara. Ia lebih dulu lari keluar halaman, menunggu Kamala di depan pagar. “Abang juga mau ikut bahagia. Tidak cuma lihat kamu saja. Tapi, tidak janji mau traktir kamu.” “Ish, pelitnya ...” Mereka kini bersama, dengan tujuan ke lapangan komplek. “Yang dibilang pelit ini uangnya sering dipakai beliin bubur kamu tiap pagi. Tanyakan saja sama Pak Ari.” “Nggak ikhlas, ya?” “Kalau Abang bilang iya, kamu mau apa?” Kamala menoleh cepat, ternganga. “Serius nggak ikhlas?” “Bercanda.” Airlangga mengedipkan sebelah mata, kemudian mempercepat larinya. “Ayo kejar Abang. Kalau bisa, pulangnya nanti Abang gendong sampai rumah.” “Ish, culas!” Keningnya berkerut kesal, tapi tidak lama ikut menyusul. “Bang Angga culas, ih!” *** Kamala menambahkan dua sendok sambal, membubuhkan kecap banyak-banyak. Diaduknya sampai tercampur rata, lalu disuap dalam satu suapan yang besar. Mata Kamala sampai terpejam, menikmati rasa bubur yang enaknya tidak terkira. Makanan pekat satu ini kesukaannya sekali. Ia rela menolak steak asal bisa melahap bubur yang topingnya bejibun. “Masih pagi. Awas sakit perut.” “Apalah artinya bubur tanpa sambal, Bang. Lagipula Mala udah biasa, kok.” Airlangga turut menambahkan kecap, tidak banyak, tidak bersambal, tidak juga diaduk. Dalam hal ini, ia dan Kamala berseberangan. Kamala tim bubur diaduk, sementara ia tim bubur tidak diaduk. “Jadi, gimana? Menikah, fokus jadi istri dan ibu rumah tangga, menikah dan bekerja, atau menikah dulu baru bekerja?” “Dinikahin calon suami, melamar kerja, menikah, bekerja, lalu jadi ibu. Bukankah itu sempurna?” “Tidak. Baru tahap melamar kerja, sudah menikah. Gimana kalau syaratnya kamu diterima asal tidak menikah?” “Ya batal bekerja, lah! Lagian ya, Bang, niat baik enggak boleh ditunda. Pamali kata orang tua zaman dulu.” “Giliran begini saja kamu bilang pamali.” Airlangga menggeleng-gelengkan kepala, kemudian fokus meminum teh tawar hangatnya. “Oh, iya, Abang keberatan nggak kalau Mala nanti nebeng? Perusahaannya deket sama perusahaan Abang. Jalan dikit dari sana sampai, kok.” “Antar lamaran?” “Iya. Mau sama Bang Kamil, tapi dia resek. Kak Daniel juga agak sibuk sama kuliah, terus persiapan lamaran. Maka dari itu Mala sama Bang Angga aja. Ya? Ya, ya, yaaa ...?” “Ya sudah. Jangan telat, nanti Abang terlambat briefing.” “Okay, Bos!” Kamala bertindak hormat kemudian ikut tertawa saat melihat Airlangga tertawa. Mereka kembali menandaskan bubur dan Kamala menepati janjinya untuk mentraktir Airlangga. Pulangnya ia merasa menang, karena Airlangga mau menggendongnya sampai pagar rumah. Padahal saat berlomba untuk mengejar tadi, Kamala kalah karena tidak bisa mengimbangi langkah kaki Airlangga yang panjang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN