Ratzel, Marko, Daniel, Rose, dan Jessica. Mereka bersiap di samping pintu pesawat untuk menyambut sang putri. Ratzel terus memperhatikan Caroline yang masih berjalan di karpet merah di temani ratu dari negara ini.
"Ternyata begitu rumit menjadi seorang bangsawan." Komentar Jessica, dia melihat bagaimana Caroline menekuk kakinya dan menjabat tangan sang ratu dengan hormat.
"Kau ingin menjadi bangsawan? Carilah seorang pangeran bukan seorang pilot." Celetuk Ratzel.
"Shut the f**k up." Lerai Daniel, sebenarnya dia akan senang melihat pasangan ini bertengkar. Tapi sepertinya waktunya tidak tepat, karena Caroline sudah mulai menaiki tangga.
"Your Highness." Sambut mereka dengan bersamaan sembari menunduk hormat.
"Oh Ya Tuhan, dia sangat cantik." Ucap Daniel, ini kali pertamanya melihat sang putri secara dekat.
Marko dengan sigap menyikut lengan Daniel, yang benar saja, Daniel mengatakan demikian saat Caroline masih ada di depannya. Sementara Caroline hanya tersenyum tipis menanggapi pujian yang mungkin tidak sengaja diucapkan itu.
"Maaf, My Lady." Daniel cepat-cepat meminta maaf sembari membungkukan badannya.
"Tidak masalah tuan..?" Caroline memberi nada menggantung seolah menanyakan nama pria di depannya.
"Daniel, Daniel Aderson. My Lady."
Caroline mengagguk sembari tersenyum.
"Baiklah, tidak masalah Tuan Aderson." Lalu Caroline beranjak begitu saja menuju kursi favoritnya.
##
Pesawat telah lepas landas kira-kira 30 menit lalu. Caroline asik membaca surat yang masuk ke email milik kerajaan, tentu surat itu banyak dikirimkan oleh beberapa penggemarnya atau anak-anak daerah konfilk untuk di kunjungi.
"Anda ingin minum, Yang Mulia?"
Lantas Caroline menadahkan kepalanya, dia menatap wajah wanita berambut blonde itu. Wajah tirus dengan senyum ramah yang di paksakan.
"Aku ingin kopi." Caroline tetap menatap wajah itu sembari tersenyum tipis. Bandingkan mereka, Caroline sangat sempurna dibandin Jessica.
"Ini kopi milik mu, Yang Mulia." Gadis itu langsung menganggkat cangkir putih berisi kopi, belum juga sampai diletakan di atas meja portable yang ada di kursi itu, Jessica sudah membuat kopi panas itu tumpah mengenai d**a Caroline.
"Ya Tuhan." Pekik Caroline sembari mengibas-ibaskan tangannya berharap bisa menghilangkan panas dari kopi itu.
Dengan sigap pengawal Caroline menghampiri mereka.
"Ya Tuhan, maaf aku tidak sengaja menumpahkannya." Jessica mengambil tissue untuk membersihkan tumpahan itu.
Belum sempat tissue milik Jessica itu menempel pada baju Caroline, tangan Jessica sudah terlebih dahulu dicekal kuat oleh salah satu pengawal Caroline.
"Jangan berani menyentuhnya, nona." Ucap sang pengawal dengan nada dingin dan penuh peringatan.
"Marie, tolong bantu Princess Caroline." Tambahnya.
Marie yang ikut berdiri di sana,dengan sigap langsung membawa Caroline ke kamar pribadinya di pesawat.
"Tolong minta serbet, dan air dingin. Sekarang." Seru Marie dengan panik.
Sementara Marie memapah Caroline, para pengawal segera menyiapkan apa yang dibutuhkan sang putri. Bahkan mereka sudah menelfon ambulans agar menjemput Caroline saat mereka landing nanti.
Senyum miring penuh kepuasan tampak sekejap menghiasi wajah Jessica. Senyum itu sempat ditankap salah satu penawal Caroline dan menimbulkan kecurigaan.
"Kenapa anda tersenyun seperti itu, nona?" Tanya pengawal yang masih ada di situ.
"Tidak tuan, aku hanya salut kalian bekerja dengan cepat. Mari."Ucap Jessica sebelum kembali mendorong troli makanannya.
##
Marie menempelkan serbet dingin itu pada d**a Caroline. Terdapat ruam merah yang cukup luas di sana. Dia menapat sedih putrinya itu, jika saja dia yang menyiapka kopi pasti ini tidak akan terjadi.
"Maafkan saya, Yang Mulia." Ucap Marie.
"Tidak apa Marie,ini bukan salah mu." Caroline tersenyum tulus di sana.
"Perih." Eluh Caroline.
"Ya Yang Mulia, bahkan aku juga merasakannya." Marie ikut meringis seolah dia ikut mesarakan semuanya.
Caroline mengoles sendiri salep luka bakar di dadanya, gaunnya sudah di ganti dengan gaun dengan potongan leher rendah. Memang ini menyalahi aturan, tapi mau bagaimana, keadaan memaksanya untuk mengenakannya.
"Terimakasih Marie, aku fikir, aku ingin istirahat sebentar. Kau boleh kembali ke tempat mu sekarang." Ujar Caroline dengan halus.
"My pleasure, Your Highness." Marie menekuk kakinya sembari menunduk sebelum beranjak dari kamar pribadi sang putri.
Caroline mulai merebahkan badannya di kasur empuknya, ruam kemerahan itu sangat tampak jelas di antara kulitnya yang putih. Panas dan perih masih sangat bisa dia rasakan.
"Aku ingin berkata kasar." Desis Caroline. Yang benar saja, pramugari itu baru saja mencelakainya.
"Tidur akan membuat luka ini lebih baik, semoga saja." Caroline memilih menutup matanya dan mulai meluncur ke alam bawah sadarnya.
##
"Your Highness." Suara ketukan di pintunya membuat Caroline membuka matanya yang masih sangat berat.
"Kau bisa membukanya." Ucap Caroline, dia belum meniliki niatan untuk turun dari kasurnya.
Marie muncul di balik pintu dengan senyum ramahnya.
"Bagaimana keadaan mu?" Tanya Marie.
"Sama saja." Jawab Caroline.
"Mari, kita sudah mendarat dari sepuluh menit lalu." Marie membantu Caroline untuk beranjak dari ranjangnya.
Marie meletakan heels coklat yang sudah disiapkan untuk Caroline.
Sementara Caroline mengenakan sepatunya, Marie membantu merapikan rambut Caroline.
"Akan sangat perih jika itu tergores bahan pakaian anda Yang Mulia, Her Majesty akan memaklumi itu." Marie memperingatkan saat Caroline hendak mengenakan long coat-nya.
"Tolong, bawakan ini." Caroline memilih memberikan long coat itu pada Marie, yang langsung disampirkan di lengan kanan Marie.
Caroline berjalan mendahului Marie dan pengawalnya, dia masih pada senyum manis nan anggunya seolah tidak terjadi apa-apa beberapa waktu lalu.
"Your Highness." Sapaan itu terlontar dari empat awak pesawat yang berdiri di dekst pintu.
Caroline menangkap tatapan tidak suka yang diberikan pramugari yang menumpahkan kopi padanya, 'Jessica' nama itu tertera pada papan namanya.
"Maafkan atas kejadian kopi tadi, Yang Mulia." Ucap Ratzel, sekali lagi dia menunduk hormat, dia sadar Caroline menatap Jess dengan tatapan menghanyutkannya.
Ya, dia dan semua awak pesawat sudah tau mengenai kejadian tidak menyenangkan itu. Untuk Ratzel, ini benar-benar mencoreng muka perusahaan ayahnya di mata keluarga kerajaan.
"Itu kejadian yang menurunkan reputasi perusahaan ayah anda tuan, membahayakan." Caroline mendongakan kepalanya untuk menatap sang pilot itu.
"Aku akan membicarakan hal ini dengan ayah mu nanti, datanglah ke Windsor Castle malam ini." Tambah Caroline sebelum beranjak dari sana.
Di bawah sana, sudah ada ayah dan ibunya, ambulans, dan polisi. Membahayakan anggota kerajaan merupakan kesalahan besar yang dilakukan Jessica. Dan jangan harap setelah ini hidupnya akan tenang.
##
Ratzel mengusap wajahnya frustasi, sementara Marko dan Daniel sibuk menertawakan tingkah Ratzel. Sahabatnya itu tak berkutik di depan sang putri, sangat menggemaskan untuk mereka.
"Kau tau? Jess pasti cemburu pada Caroline." Ucap Marko dengan entengnya sembari menuang air dingin ke gelasnya.
"Dia bukan wanita yang seperti itu." Elak Ratzel.
Marko mengangkat bahunya acuh. Ratzel memang pria keras kepala.
"Terserah." Ucapnya.
"Hey, itu mungkin saja terjadi. Kau tau? Wanita memang makhluk Tuhan yang sulit dimengerti." Sahut Daniel sebelum melempar kacang ke udara dan menangkap dengan mulutnya.
"Daniel, kau lihat ruam pada d**a Caroline?" Tanya Marko yang ikut duduk di samping Daniel.
"Bodoh, aku tidak melihatnya. Kau lupa? aku tidak ada di sana saat kalian memberikan sapaan terbaik kalian sebelum Caroline turun dari pesawat." Daniel memukul kepala Marko membuat lelaki itu mengaduh.
"Kau pasti rugi. Astaga, bahkan luka itu sangat indah di tubuhnya. Bisa dibayangkan bila ada jejak kepemilikan yang ada di sana."
Baru Marko menutup mulutnya,Ratzel sudah menatapnya dengan tatapan tajamnya. Menyadari ini Marko hanya memutar bola matanya jengah.
"Jangan bersikap seolah kau kekasihnya, dude." Marko melempar kulit kacang pada Ratzel.
"Tidak bisakah, otak kotor kalian disingkirkan dulu sekarang?" Bentak Ratzel.
##
Malam tiba, windsor castle terlihat lebih ramai karena Leonore dan keluarganya sudah kembali dari perjalanan dinas mereka, dan ya semuanya berkumpul ini adalah momen langka.
"Silahkan Tuan Archer, Yang Mulia Arthur susah menunggu kalian di ruang kerjanya." Sambut kepala pelayan yang membukakan pintu untuk mereka.
Ratzel datang bersama ayahnya dan ibunya, mereka membawa beberapa bingkisan tanda maaf untuk sang putri. Netra abu-abu milik Ratzel, menangkap Caroline yang tengah menuruni tangga megah di hadapan mereka. Caroline masih memilih menggunakan gaun berpotongan d**a rendah untuk memulihkan kulitnya yang melepuh.
"Tuan dan Nyonya Archer." Sapa Caroline saat dia berhasil menuruni anak tangga terakhirnya. Nada sapaan tadi sangat akrab dan hangat, ditambah dengan senyum manis milik Caroline.
"Your Highness." Balas Billy, diikuti tundukan hormat dari mereka.
"Senang bisa bertemu dengan kalian." Caroline menjabat tangan mereka dengan ramah. Saat tangannya menjabat Ratzel, pria itu terus memandangnya lekat sebelum mengecup punggung tangannya.
"Baiklah, ayah sudah menunggu kalian. Lewat sini." Caroline kembali menaiki tangga megah nan mewah itu.
Ratzel masih saja menatap Caroline dengan intens, menatap tengkuk yang diumbar tanpa terhalang rambut coklat indahnya yang digulung rapih keatas.
"Hay Olie, kau akan pergi?" Caroline menghentikan langkahnya ketika dia berpapasan dengan Oliver, pria itu tampan dengan mata birunya dan karisma yang diwarisi dari Leon, ayahnya.
"Kunjungan ke Australia." Oliver tersenyum dengan manis menanggapi pertanyaan saudara cantiknya.
"Baiklah, hati-hati di sana." Ucap Caroline.
"Tentu, My Lady." Oliver menarik pinggang Caroline lalu memeluk gadis itu dengan sayang.
"Aku mencintai mu, princess. Sapai jumpa minggu depan." Oliver mengecup puncak kepala Caroline.
"Sampai jumpa." Balas Caroline ketika Oliver sudah melepaskan pelukannya.
Melihat keakraban mereka berdua, dua tangan itu terkepal kuat mengisyaratkan sang empunya sedang mati-matian menahan amarahnya. Juga rahang kokoh itu mengerat saat tubuh gadis itu dipeluk hangat begitu saja. Ratzel tau hubungan Oliver dan Caroline adalah saudara, tapi mereka harusnya tidak seperti tadi. Mengumbar kemesraan. Tunggu, untuk apa dia tidak suka? Toh Caroline bukan siapa-siapanya.
##
Sementara dua keluarga itu tengah berunding, bersama empat pengawal yang menjadi saksi kejadian siang itu. Caroline memilih duduk di pantry dengan memainkan ponselnya. Beberapa notifikasi pesan muncul, tentu dari grub "The Royal Family." Mereka juga seperti orang-orang lain, mereka menggunakan ponsel untuk bercakap-cakap atau mencari kesenangan lain.
Sembari sesekali meminum coklat hangatnya, Caroline terus menatap layar datar itu sebelum Caroline benar-benar menyimpannya di atas meja.
Merasa bosan, Caroline akhirnya memilih untuk naik menuju kamarnya. Dengan bersenandung kecil, Caroline melewati lorong yang akan membawanya ke kamar pribadinya. Tapi, betapa terkejutnya Caroline saat mendapati pintu kamarnya terbuka sedikit.
"Mungkin Marie tengah mengambil pakaian kotor ku." Caroline mengangkat bahunya sebelum masuk dan menutup pintunya.
Caroline mengganti gaunnya dengan kimono sutra serwarna biru gelap kesukaannya. Dahinya berkerut saat mendengar suara air pembuangan closet. Seingatnya saat dia mengambil kimononya, tidak ada Marie di closet-nya.
Tidak mau ambil pusing, dan berfikir positif. Caroline memilih memakai salep untuk luka merah di dadanya itu.
"Uhh, cukup mengerikan ternyata." Caroline menatap ngeri pantulan dirinya, tepatnya pada ruam itu.
Caroline kembali memasukan salep itu pada nakasnya, sebelum kembali menatap dirinya di cermin.
"Ya Tuhan." Pekik Caroline saat mendapati pantulan pria berdiri di dekat pintu kamar mandinya.
Caroline memutar tubuhnya menghadap pria yang lancang masuk ke kamarnya. Ratzel berdiri disana, pria itu seolah membeku saat melihat sang putri sempurna ini dengan gaun tidurnya.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" Tanya Caroline dengan nada sinis dan tatapan dinginnya, well ini kamar pribadinya jadi Caroline bebas bersikap bagaimana pun.
Bukan menjawab pria itu berjalan mendekatinya, tidak terlalu dekat tapi tidak juha terlalu jauh. Ratzel masih menyadari posisi mereka, dan dia masih menjaga sikap dan kehormatan gadis di depannya.
"Aku baru melihat mu menggenakan gaun tidur." Ucap pria itu dengan kekehan singkatnya.
"Dan kau orang asing pertama yang melihat itu." Caroline memutar malas dua bola matanya, lalu memutar badannya membelakangi Ratzel.
"Jadi, kau bisa bersikap sinis seperti itu. My princess?" Ratzel menatap mata biru ke hijauan itu dari cermin di depannya.
"Lantas, aku harus beramah tamah dengan penyusup?" Caroline menekan nadanya saat menucapkan kata terakhir itu.
Ratzel melangkah maju, dia semakin dekat dengan gadis itu. Tatapan matanya teralih pada tengkuk dan ceruk leher mulus di depannya. Gelungan rambut asalnya membuat leher itu terbuka bebas seolah memanggilnya.
Tangan Ratzel menangkap tangan Caroline dengan cepat. Kali ini tatapan mereka kembali beradu lewat cermin besar di depannya. Entah setan mana yang menghasutnya,
perlahan, Ratzel mengendus ceruk leher jenjang itu dengan halus membuat Caroline mengenggam tangannya erat.
"Lihat Tuan Ratzel, mata mu menggelap." Ejek Caroline.
Ratzel tidak perduli dengan ucapan Caroline, dia masih fokus mengecup leher segar itu. Caroline menatapnya remeh, bagaimana bisa dia berani bersikap seperti ini padanya?
"Ya Tuhan, kau kehilangan akal sehat mu Tuan?" Caroline menyandarkan tubuhnya pada tubuh tinggi besar di delakangnya. Bahkan pria itu tidak memperdulikannya. Caroline membalikan tubuhnya untuk menghadap pria kurang ajar di belakangnya, dia harus di beri pelajaran.
"Itu sebagai simbol permohonan maaf ku atas kejadian siang tadi, dan aku yang meminjam toilet mu." Ucap Ratzel dengan enteng.
Caroline menatap netra abu-abu itu, netra itu tidak bisa membohonginya.
"Kau menginginkan lebih dari itu? Oh Tuan Ratzel kau mengacaukan ku." Caroline memeluk leher Ratzel, sementara kakinya berjinjit dengan bertumpu di atas sepatu pria itu.
Caroline mendekatkan wajahnya dengan wajah pria yang di peluknya, woo bahkan tangan Ratzel sudah memeluk pinggangnya dengan rapat. Caroline memiringkan kepalanya sedikit, sembari tangannya mengusap tengkuk Ratzel.
Caroline berhenti saat bibir mereka hanya menyisakan jarak sepersekian inchi saja. Caroline memilih membelokan arah, dia mengecup ujung bibir Ratzel dan berakhir dengan mengecup ceruk leher Ratzel dengan singkat. Dia bisa mendengar pria itu menggeram kesal karena Caroline berhasil mengodanya.
Dengan semua tenanganya, Caroline tiba-tiba menjatuhkan Ratzel membuatnya turut jatuh di atas pria itu. Tangannya terarah menekan leher Ratzel, dan dia duduk di atas perut keras pria itu.
"Akibat kau berani menyentuh ku, Tuan Ratzel." Caroline semakin menekan tangannya pada leher Ratzel.
"Kalau begitu, aku akan dengan senang hati menyentuh mu agar kau mengecup ujung bibir ku dan leher ku, lagi." Ratzel tersenyum miring di sana, senyuman itu sangat menyebalkan.
"Tidak maukah kau beranjak? Posisi ini sangat menuntungkan mu." Tegur Ratzel.
Caroline tidak bisa mencegah mulutnya tetap tertutup, bukankah yang diuntungkan dalam posisi ini adalah Ratzel.
"Bangun sexy lady, atau aku akan menculik mu dan membawa mu ke apartemen ku." Ancaman Ratzel ini berbasil membuat Caroline beranjak dari atas sana.
Tatapan angkuh masih mendominasi netra biru indah itu. Tak jarang dia mendapat perlakuan seperti ini oleh mantn kekasihnya, Caroline tak keberatan selagi tidak ada keluarganya yang tahu.
"Keluar sekarang." Perintah Caroline sembari memalingkan mukanya.
"Aku yakin pengawas tata krama mu selalu menyuruh agar menatap lawan bicara mu." Ratzel membawa dagu gadis itu agar menatapnya.
Ratzel menundukan kepalanya, dia mendekat ke telinga Caroline.
"Ternyata kau perempuan yang sempurna My Lady, terimakasih atas apa yang kau hadiahkan pada ku." Bisik Ratzel dengan nada rendah.
Ratzel kembali mengecup pipi gadis di depannya, kali ini lebih lama.
"Sepertinya aku menemukan gelar baru untuk mu." Ratzel menatap mata biru itu.
"Apa?" Tanya Caroline dengan dingin.
"My Sexy Lady." Jawab Ratzel.
##