Bab 11 – Sentuhan yang Mengguncang

846 Kata
Nayla duduk di ruang tamu dengan wajah letih. Kayla baru saja tertidur setelah seharian rewel. Malam itu rumah begitu hening, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Ia menatap layar ponselnya yang kosong, berharap ada kabar dari Arka. Namun pesan terakhir suaminya hanya berupa kalimat singkat: “Aku sibuk, besok kita telepon, ya.” Hati Nayla mencelos. Dulu, sebelum Arka berangkat ke luar negeri, ia selalu jadi orang yang paling cerewet menanyakan kabar. Sekarang, seolah ada dinding tinggi yang membatasi mereka. Nayla berusaha menghibur diri: Mungkin Arka benar-benar sibuk dengan kuliah dan risetnya. Namun tetap saja, kerinduan yang dipendam membuat dadanya sesak. Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Ia membuka, dan di sana Rangga berdiri dengan senyum ramah sambil membawa kantong plastik berisi makanan. “Aku lewat tadi, lihat lampu rumahmu masih menyala. Takutnya kamu belum makan malam,” ucap Rangga, nadanya lembut. Nayla sempat ragu. Hatinya berkata ia seharusnya menolak, tetapi mulutnya justru berucap, “Masuklah.” Rangga melangkah masuk, menaruh makanan di meja. Aroma sup hangat menyeruak, membuat perut Nayla yang kosong ikut bergemuruh. Ia tersipu malu, sementara Rangga tertawa kecil. “Kamu harus jaga kesehatan, Nayla. Jangan sampai sakit gara-gara memikirkan banyak hal.” Ucapan itu terdengar sederhana, tapi menembus hatinya. Nayla merasa diperhatikan, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari Arka. Bukan karena Arka tidak peduli, tapi karena jarak membuat segalanya terasa dingin. Mereka duduk bersebelahan di sofa. Rangga bercerita ringan tentang pekerjaannya, tentang hal-hal lucu di kantor. Nayla ikut tertawa kecil, sesuatu yang jarang ia lakukan belakangan ini. Namun tawa itu hanya sesaat, karena rasa bersalah langsung menghantam. Rangga memperhatikan wajahnya, lalu berkata pelan, “Nay… kamu nggak perlu menahan semua sendiri. Aku tahu kamu kuat, tapi aku juga tahu kamu manusia biasa yang bisa lelah.” Nayla menunduk. Kata-kata itu seolah membuka kunci hatinya yang rapuh. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menghapusnya. “Aku baik-baik saja, Rangga. Jangan khawatir.” Tiba-tiba, Rangga menyentuh punggung tangannya. Sentuhan hangat itu sederhana, tapi mengguncang seluruh tubuh Nayla. Ia terdiam, jantungnya berdegup kencang. Dalam sekejap, seakan semua dinding pertahanan yang ia bangun retak. “Kalau kamu butuh seseorang untuk bersandar, aku ada di sini,” bisik Rangga, matanya menatap dalam. Nayla segera menarik tangannya, berdiri gugup. “Rangga… jangan. Aku sudah menikah. Aku punya Arka.” Rangga menghela napas panjang, lalu berdiri pula. “Aku tahu. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak peduli. Aku selalu ada untukmu, Nayla.” Kata-kata itu membuat Nayla bingung. Ia ingin marah, tapi bagian hatinya justru hangat oleh perhatian itu. Ia tahu ini salah, tapi kesepiannya membuat ia lemah. “Sudah malam. Kamu sebaiknya pulang,” kata Nayla akhirnya, mencoba tegas. Rangga menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Baiklah. Tapi ingat, kamu nggak sendirian.” Ia lalu melangkah pergi, meninggalkan Nayla dengan hati yang bergetar hebat. Begitu pintu tertutup, Nayla jatuh terduduk di sofa. Air matanya pecah. Ia memeluk bantal erat-erat, merasa bersalah pada Arka. Kenapa aku membiarkan Rangga begitu dekat? batinnya meronta. Namun bayangan tatapan dan sentuhan Rangga tadi terus menghantui, membuat hatinya bergetar dengan cara yang tak seharusnya. Di negeri seberang, Arka menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Nayla dan Kayla. Tubuhnya terasa lemah, napasnya pendek-pendek. Baru saja ia selesai menjalani sesi kemoterapi, kepalanya terasa berat, perutnya mual. Ia ingin sekali menelepon Nayla, mendengar suaranya, menghapus kerinduan. Namun setiap kali ia mengetik pesan, jari-jarinya berhenti. Aku nggak boleh membuatnya khawatir, pikirnya. Ia memilih diam, menyimpan semua sakitnya sendiri. Sahabatnya, Revan, masuk ke kamar rumah sakit. “Kamu yakin nggak mau cerita ke istrimu?” tanyanya khawatir. Arka menggeleng lemah. “Belum saatnya. Aku ingin Nayla bahagia, bukan terbebani.” Revan menatapnya iba, tapi tidak memaksa. Ia tahu Arka keras kepala soal hal ini. Namun dalam hati, ia khawatir Nayla akan salah paham dengan sikap dingin Arka yang belakangan semakin terasa. Keesokan harinya, Nayla bangun dengan wajah sembab. Ia mencoba menata hati, berusaha melupakan sentuhan Rangga. Namun bayangan itu terus menghantui, membuatnya gelisah. Saat mengantar Kayla ke sekolah, ia bertemu Rangga di depan gerbang. Pria itu hanya tersenyum hangat tanpa berkata banyak, seolah ingin menunjukkan bahwa ia ada di sana. Nayla buru-buru menghindar, tapi hatinya bergetar lagi. Sepanjang hari, pikirannya kacau. Ia ingin setia pada Arka, tapi kesepian dan perhatian Rangga seperti racun manis yang perlahan merasuki. Nayla tahu ia berada di tepi jurang, dan satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya. Malamnya, ia duduk di balkon, menatap bintang. Ia menggenggam ponselnya, menunggu kabar dari Arka. Namun yang muncul hanya pesan singkat: “Maaf, aku sibuk. Jaga diri baik-baik.” Air matanya jatuh lagi. “Arka… aku mencoba setia. Tapi kenapa rasanya aku semakin sendiri?” bisiknya lirih. Di kejauhan, Rangga mengirim pesan singkat: “Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, aku hanya sejauh telepon.” Nayla menatap pesan itu lama. Tangannya gemetar, hatinya diliputi dilema. Ia tahu ia seharusnya menghapus pesan itu, tetapi justru ia membiarkannya tersimpan—sebuah celah yang bisa semakin melebar. Malam itu, tiga hati kembali terjebak dalam jarak, rahasia, dan godaan. Dan untuk pertama kalinya, Nayla benar-benar merasa ketakutan pada dirinya sendiri: takut bahwa ia tidak cukup kuat untuk tetap setia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN