Bab 2 – Tatapan yang Tak Biasa

1015 Kata
Perpustakaan kampus sore itu cukup ramai. Deretan meja dipenuhi mahasiswa yang sibuk menulis, beberapa lainnya terlelap di balik buku tebal. Di sudut ruangan, cahaya matahari menembus jendela besar, memantulkan warna keemasan yang hangat. Arka duduk di kursi favoritnya, tepat di dekat jendela itu. Tangan kanannya memegang pulpen, sementara di hadapannya buku catatan penuh coretan dan sketsa bagan. Fokusnya terarah pada teori pendidikan yang harus ia pahami untuk ujian minggu depan. Namun kali ini, fokus itu terusik. Dari seberang meja, sosok Nayla duduk dengan tenang. Rambutnya tergerai, wajahnya tersembunyi di balik buku. Sesekali ia menggigit ujung pulpen, lalu menuliskan sesuatu dengan penuh semangat. Arka berusaha mengabaikan, tapi matanya sering kali secara tidak sengaja melirik ke arah Nayla. Ada yang berbeda. Cara Nayla membaca, menulis, bahkan sekadar menghela napas—semua tampak memikat. Ketika pandangan mereka akhirnya bertemu, Nayla tersenyum kecil. Senyum sederhana, tapi cukup untuk membuat Arka salah tingkah. Ia buru-buru menunduk, pura-pura menulis sesuatu di buku catatannya. “Arka,” suara Nayla memecah keheningan. Arka mendongak pelan. “Ya?” “Kamu ngerti nggak bagian teori konstruktivisme ini?” tanyanya sambil menunjuk halaman bukunya. Arka mencondongkan badan, melihat catatan yang ditunjukkan Nayla. “Hmm… iya, ini intinya tentang bagaimana seseorang membangun pengetahuannya sendiri lewat pengalaman. Jadi bukan cuma menerima dari guru, tapi aktif mencari.” Nayla mendengarkan dengan serius, matanya berbinar. “Oh, jadi kayak belajar dari kesalahan juga, ya?” “Iya, tepat sekali.” Arka tersenyum kecil. “Kamu nangkep cepat.” Nayla menutup bukunya, menghela napas lega. “Untung ada kamu. Kalau sendirian, mungkin aku butuh waktu lebih lama.” Arka menggeleng. “Kamu juga pintar. Mungkin cuma butuh penjelasan dengan cara berbeda.” Ucapan itu membuat Nayla terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat. Tatapan matanya kali ini terasa lebih lama dari sebelumnya. Ada sesuatu dalam sorot itu, sesuatu yang membuat Arka tak sanggup berpaling. Hari-hari berikutnya, kedekatan mereka semakin terasa. Bukan lagi kebetulan bertemu di perpustakaan atau taman belakang kampus, tapi perlahan menjadi kebiasaan. Setiap selesai kelas, Nayla sering menunggu Arka untuk berjalan bersama menuju kantin. Kadang mereka makan bersama, kadang hanya sekadar minum teh sambil berbincang hal-hal sepele. “Arka,” kata Nayla suatu sore di kantin, “aku heran deh, kenapa kamu selalu terlihat serius banget. Apa kamu nggak pernah capek jadi orang rajin?” Arka terkekeh singkat. “Rajin itu bukan pilihan, tapi kebiasaan. Kalau aku malas, aku takut ketinggalan. Lagi pula… aku nggak terlalu pandai bersosialisasi, jadi ya lebih baik sibuk belajar.” Nayla menatapnya lama. “Tapi tahu nggak, justru itu yang bikin kamu kelihatan beda. Kamu nggak ikut-ikutan, tapi tetap diperhitungkan. Orang seperti kamu jarang ada.” Ucapan itu membuat Arka terdiam. Hatinya hangat, tapi ia tak berani menanggapinya terlalu jauh. Hanya senyum tipis yang ia berikan sebagai jawaban. Malam itu, di kamar kosnya, Arka kembali menatap buku catatannya. Namun kali ini, ia tak bisa berkonsentrasi. Tatapan Nayla di kantin tadi terus muncul di kepalanya. Ada sorot penuh keyakinan, seolah Nayla benar-benar melihat sesuatu yang orang lain tak pernah peduli. Arka menutup bukunya, bersandar di kursi. Ia menatap langit-langit kamar yang putih polos. “Apa aku… mulai jatuh hati?” gumamnya lirih. Namun ia segera menggeleng. “Tidak. Aku harus fokus belajar. Hanya teman. Hanya… teman.” Di sisi lain, Nayla menulis di jurnal kecil cokelatnya malam itu. Tinta penanya menari di atas kertas, mencatat kejadian sehari yang paling berkesan. Hari ini aku makin yakin. Ada sesuatu dalam diri Arka yang berbeda. Dia tenang, sederhana, tapi cara dia menjelaskan membuatku merasa dihargai. Entah kenapa, aku ingin mengenalnya lebih dalam. Nayla berhenti menulis, tersenyum kecil. Ia menutup bukunya, lalu menatap ke luar jendela kamarnya. Angin malam berhembus lembut, membawa rasa hangat yang tak bisa ia jelaskan. Hari-hari mereka terus berlanjut, dengan tatapan-tatapan yang semakin sulit disembunyikan. Mereka belum berani mengucapkan apa pun. Tapi di balik senyum, percakapan singkat, dan diam yang tercipta… benih cinta itu mulai tumbuh, pelan namun pasti. Dan meski keduanya belum menyadari sepenuhnya, tatapan-tatapan sederhana itu akan menjadi awal dari perjalanan panjang yang kelak mengguncang seluruh hidup mereka. Suatu sore, hujan turun deras mengguyur halaman kampus. Mahasiswa berlarian mencari tempat berteduh, beberapa nekat menembus hujan dengan jaket tipis. Arka yang baru selesai kuliah memilih duduk di beranda gedung, menunggu reda. Tak lama, Nayla datang tergesa dengan payung lipat kecil di tangannya. Rambutnya sedikit basah, wajahnya memerah karena berlari. “Arka! Kamu belum pulang?” serunya sambil tersenyum. Arka menggeleng. “Aku nunggu hujan reda dulu. Kamu?” Nayla membuka payung kecilnya. “Aku juga. Tapi kayaknya lama.” Ia duduk di samping Arka, menyandarkan punggung ke dinding. Hujan deras menimbulkan aroma tanah basah yang khas. Suara rintik menghantam genting terdengar menenangkan. Di sela keheningan itu, Nayla bersenandung pelan, entah lagu apa, tapi nadanya lembut. Arka melirik sekilas. “Kamu suka nyanyi?” Nayla tersenyum malu. “Iya, tapi suaraku biasa aja. Aku nyanyi buat diri sendiri, bukan buat orang lain.” “Boleh aku dengar?” Arka bertanya hati-hati. Nayla menoleh, matanya berbinar. “Serius mau dengar?” Arka mengangguk. Dengan suara lembut, Nayla melantunkan sepenggal lagu sederhana. Tak panjang, hanya beberapa bait, tapi cukup membuat suasana hujan terasa lebih hangat. Arka terdiam, terpaku mendengarnya. Ketika lagu berhenti, Nayla tersipu. “Maaf, jelek ya?” Arka menggeleng cepat. “Tidak. Suaramu… menenangkan. Aku suka.” Ada jeda hening yang menggantung setelah itu, tapi bukan hening yang canggung. Hening yang justru membuat keduanya merasa nyaman. Hujan masih turun deras, tapi bagi Arka dan Nayla, waktu seolah melambat. Dalam tatapan singkat di beranda itu, mereka sama-sama menyadari satu hal—ada sesuatu yang berbeda ketika bersama. Sesuatu yang tidak bisa mereka abaikan begitu saja. Malam itu, setelah hujan reda, Arka dan Nayla pulang bersama dengan satu payung. Langkah mereka pelan, seolah tak ingin waktu berakhir. Tak banyak kata yang terucap, hanya tawa kecil dan percakapan ringan. Namun justru dalam kesederhanaan itu, ada sesuatu yang tumbuh. Di balik diam, di balik tatapan yang tak berani lama menatap, benih cinta mulai bersemi. Mereka mungkin belum berani menyebutnya cinta, tapi hati mereka tahu: sejak hari itu, kebersamaan bukan lagi kebetulan. Itu adalah awal dari kisah yang akan mengubah segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN