Suara mesin monitor jantung kembali menjadi musik yang menakutkan bagi Nayla. Malam itu, ruang perawatan intensif terasa semakin dingin, seakan ikut meresapi kecemasan yang memenuhi dadanya. Arka terbaring dengan wajah pucat, tubuhnya lemah, dan napasnya berat. Nayla duduk di kursi, tangannya menggenggam erat jemari Arka yang terasa dingin. Tatapannya kosong, namun hatinya penuh doa. Ia hampir tidak ingat kapan terakhir kali tidur nyenyak. Sejak Arka masuk ruang ICU, seluruh dunia seolah hanya berkisar pada detak mesin dan hembusan napas suaminya. “Ka…” bisiknya lirih, berusaha agar suaranya tetap tenang meski tenggorokannya tercekat. “Kamu dengerin aku, kan? Aku di sini. Jangan pergi. Tolong jangan tinggalin aku dan Kayla.” Kelopak mata Arka bergerak sedikit, seolah mencoba memberi res

