Bab 1 – Pertemuan Pertama

1098 Kata
Matahari sore menyorot lembut ke halaman kampus. Mahasiswa lalu-lalang dengan buku menempel di d**a, sebagian duduk berkelompok sambil bercengkerama. Di antara riuh itu, seorang pemuda berperawakan tegap berjalan tergesa, kacamata tipis bertengger di batang hidungnya. Namanya Arka Pratama, mahasiswa tingkat dua yang terkenal rajin, pendiam, tapi diam-diam disegani karena prestasi akademiknya. Tangannya sibuk merapikan map biru yang penuh dengan catatan kuliah. Seperti biasa, ia memilih melewati taman belakang kampus—tempat yang lebih sepi dibanding lorong utama. Namun hari itu, langkahnya terhenti. Di bangku kayu yang sedikit tua, seorang gadis duduk sendiri dengan rambut panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya. Jari-jarinya sibuk membalik halaman buku tebal berjudul Psikologi Pendidikan. Dari kejauhan, Arka bisa melihat betapa seriusnya gadis itu membaca, seolah dunia luar menghilang. Arka sempat ragu untuk melintas. Namun bangku itu persis di jalur yang ia pilih. Saat ia semakin mendekat, tiba-tiba buku di tangan sang gadis terlepas, jatuh ke tanah, membuat beberapa lembar kertas berhamburan. Refleks, Arka membungkuk membantu mengumpulkannya. “Ini… bukunya,” ucap Arka pelan, menyodorkan buku itu. Gadis itu mengangkat wajahnya. Sepasang mata bulat, bening, menatap lurus ke arahnya. Ada keterkejutan sesaat, lalu senyum tipis merekah. “Terima kasih,” jawabnya lembut. Arka menunduk sekilas, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Sama-sama,” katanya singkat, lalu bergegas hendak pergi. Namun langkahnya tertahan ketika gadis itu kembali bersuara. “Kamu… Arka, kan? Mahasiswa pendidikan, tingkat dua?” Arka menoleh heran. “Iya. Kita… kenal?” Gadis itu tersenyum lebih lebar. “Aku Nayla Putri. Sering lihat kamu di perpustakaan. Kamu suka duduk di pojok dekat jendela, kan? Aku juga sering di sana.” Arka terdiam sejenak. Ia memang sering menghabiskan waktu di perpustakaan, tapi tak menyangka ada seseorang yang memperhatikannya. “Oh… iya, mungkin kita sering ketemu. Maaf kalau aku kurang peka.” Nayla menutup bukunya, lalu berdiri. “Tidak apa-apa. Aku malah senang akhirnya bisa berkenalan langsung.” Ia mengulurkan tangan, senyum hangatnya membuat Arka agak salah tingkah. Arka meraih tangannya singkat. “Senang kenal kamu, Nayla.” Hari itu, percakapan mereka tak panjang. Arka melanjutkan langkahnya, sementara Nayla kembali ke bukunya. Namun entah mengapa, sosok gadis itu menetap di benak Arka lebih lama dari yang ia kira. Malamnya, di kamar kos sederhana, Arka duduk dengan buku catatan terbuka di meja. Tapi pikirannya melayang ke senyum yang ia lihat sore tadi. Ia menggelengkan kepala, mencoba kembali fokus pada rumus-rumus kuliah. “Aneh,” gumamnya. “Kenapa wajah itu susah hilang?” Hari-hari berikutnya, takdir seolah sengaja mempertemukan mereka. Di kantin, di perpustakaan, bahkan di lorong kelas. Awalnya hanya saling mengangguk, lalu berkembang menjadi sapaan singkat. Hingga suatu sore, Nayla tiba-tiba duduk di bangku samping Arka di perpustakaan. “Kamu lagi ngerjain tugas filsafat ya?” tanyanya sambil mencondongkan kepala melihat catatan Arka. Arka tersenyum tipis. “Iya. Kamu juga dapat tugas yang sama?” Nayla mengangguk. “Tapi jujur, aku agak pusing. Boleh ikut belajar bareng?” Arka sempat terdiam. Biasanya ia lebih suka belajar sendiri. Tapi ada sesuatu dalam cara Nayla meminta, sederhana tapi tulus, yang membuatnya mengangguk tanpa ragu. Sejak saat itu, kedekatan mereka terjalin. Dari belajar bersama, mengerjakan tugas kelompok, hingga makan siang setelah kuliah. Arka menemukan bahwa Nayla bukan hanya cerdas, tapi juga hangat dan penuh semangat. Sementara bagi Nayla, Arka adalah sosok tenang yang selalu bisa membuatnya merasa aman. Suatu malam, mereka duduk di tangga gedung fakultas setelah rapat organisasi. Lampu-lampu jalan menyala redup, angin malam berhembus lembut. “Nayla,” Arka memecah keheningan, “kamu pernah mikir nggak, setelah lulus mau jadi apa?” Nayla menatap langit, tersenyum samar. “Aku ingin jadi guru. Bisa ketemu banyak anak-anak, berbagi ilmu. Kalau kamu?” Arka terdiam sejenak. “Aku ingin jadi dosen. Bisa meneliti, mengajar, dan… tetap dekat dengan dunia kampus.” Nayla menoleh, menatapnya. “Kayaknya kita sama-sama suka dunia pendidikan ya.” Arka tersenyum tipis. “Iya. Mungkin itu yang bikin kita sering ketemu.” Sejenak, keheningan jatuh di antara mereka. Hanya suara jangkrik malam yang terdengar. Nayla menggenggam bukunya erat, sementara Arka menatap lurus ke depan. Ada sesuatu yang tak terucap, perasaan yang mulai tumbuh di balik diam. Namun, seperti daun yang jatuh bersama angin, masa-masa itu tak selamanya abadi. Takdir akan membawa mereka pada jalan berbeda setelah wisuda. Tapi Arka belum tahu. Yang ia tahu, malam itu adalah pertama kalinya ia menyadari—kehadiran Nayla membuat hatinya bergetar dengan cara yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dan dari pertemuan sederhana itu, perjalanan panjang cinta mereka pun dimulai. Keesokan harinya, Arka kembali ke taman belakang kampus dengan tujuan yang sama: mencari ketenangan sebelum masuk kelas sore. Ia membawa buku catatan tebal, sudah menyiapkan diri untuk belajar. Namun, langkahnya kembali terhenti. Di bangku kayu yang sama, Nayla sudah duduk lebih dulu. Rambutnya terikat kali ini, membuat wajahnya terlihat lebih jelas. Ia tampak sibuk menulis sesuatu di buku kecil berwarna cokelat. Arka sempat bimbang, tapi kemudian memberanikan diri untuk menyapa. “Hai, lagi nulis apa?” tanyanya, suaranya terdengar kaku. Nayla menoleh, tampak sedikit terkejut tapi segera tersenyum. “Oh, ini… aku suka nulis catatan harian. Semacam jurnal, biar nggak lupa sama hal-hal kecil dalam hidup.” Arka mengangguk pelan, lalu duduk beberapa langkah darinya. “Menarik. Jadi kamu suka menulis?” “Iya,” jawab Nayla singkat. “Buatku, menulis itu cara untuk bicara sama diri sendiri. Kalau kamu? Apa yang biasanya kamu lakukan di waktu senggang?” Pertanyaan itu membuat Arka berpikir sejenak. “Aku… biasanya baca atau dengerin musik. Jarang nulis. Tapi aku sering ngerasa pikiran terlalu penuh. Mungkin aku harus coba nulis juga, ya.” Nayla terkekeh pelan. “Coba aja. Siapa tahu, kamu bisa nemuin hal-hal baru tentang dirimu sendiri.” Ada hening sejenak di antara mereka, hanya terdengar suara burung gereja di pepohonan sekitar. Lalu Nayla menutup bukunya, menatap Arka dengan tatapan yang lebih dalam. “Kamu tipe orang yang diam, ya? Tapi aku rasa, di balik diam itu, ada banyak hal yang nggak semua orang tahu.” Arka menoleh, sedikit terkejut dengan ucapan itu. Jarang ada orang yang bisa membaca dirinya seperti itu. Ia menunduk, tersenyum tipis. “Mungkin. Aku lebih nyaman diam… tapi bukan berarti aku nggak peduli.” Nayla mengangguk pelan, seolah mengerti. “Aku tahu.” Mata mereka bertemu sesaat. Bukan tatapan panjang, tapi cukup untuk membuat hati keduanya bergetar. Hari itu, mereka tidak bicara banyak lagi. Tapi percakapan singkat itu meninggalkan kesan yang dalam—bahwa diam bukan berarti hampa, melainkan sering kali menyimpan sesuatu yang tak mudah diungkapkan. Dan sejak sore itu, Arka tahu, Nayla bukan sekadar teman kuliah biasa. Ada sesuatu pada dirinya—sesuatu yang kelak akan mengubah seluruh jalan hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN