Pagi itu, Nayla bangun dengan perasaan berat. Semalaman pikirannya tak tenang, terjebak antara rindu pada Arka dan perhatian Rangga yang semakin menekan hatinya. Tangannya menggenggam telepon, menatap layar kosong, berharap ada pesan atau panggilan dari suaminya. Namun yang muncul hanyalah kesunyian.
Rangga menelpon saat Nayla baru selesai menyiapkan sarapan untuk Kayla. Nada suaranya terdengar hangat dan lembut, seperti selalu berhasil menembus hati Nayla.
“Kamu terlihat lelah, Nayla. Apakah aku bisa menolong?” tanya Rangga.
Nayla menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Aku… aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, meski hatinya berdebar.
Rangga tersenyum di ujung telepon. “Kamu nggak perlu pura-pura. Aku tahu bagaimana rasanya merasa sendirian. Aku ingin memastikan kamu nggak menanggung semuanya sendiri.”
Hati Nayla semakin terombang-ambing. Ia ingin berkata tegas bahwa ia hanya mencintai Arka, tapi perhatian Rangga terasa hangat, mengisi kekosongan yang tak bisa diisi oleh jarak dan diamnya Arka.
Hari itu, Nayla bertemu Rangga di taman saat menjemput Kayla. Rangga sengaja muncul di sana, dengan alasan ingin sekadar menyapa. Ia membawa permainan kecil untuk Kayla dan menyerahkan senyuman yang membuat Nayla hampir tergoda.
“Kayla pasti senang,” ucap Rangga sambil menepuk kepala putrinya. “Kamu tampak lelah, Nayla. Istirahat sebentar, ya?”
Nayla tersenyum tipis, menahan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Ia tahu Arka jauh, berjuang sendiri di luar negeri melawan sesuatu yang tak ia ketahui sepenuhnya. Namun, Rangga hadir di setiap celah kesepiannya, membuat hatinya mulai rapuh.
Sore harinya, Nayla duduk di kamar, menatap foto Arka dan Kayla. Ia mencoba mengingat momen manis bersama Arka, tapi bayangan Rangga terus mengintip di benaknya. Ia mulai bertanya-tanya: Apakah Arka benar-benar ada untuknya, atau ia terlalu jauh untuk memahami kesepian yang dirasakannya?
Di sisi lain, Arka di luar negeri mulai menunjukkan tanda-tanda kondisi fisik yang memburuk. Setiap langkah terasa lebih berat, setiap napas lebih sesak. Ia menahan rasa sakit agar Nayla tidak khawatir, memilih diam dan mengirim pesan singkat, meski hati kecilnya ingin memberi tahu kebenaran.
Malam itu, Nayla duduk di balkon, menggenggam secangkir teh hangat sambil menatap langit gelap. Keraguannya semakin membesar, sementara Rangga semakin agresif mendekat. Hatinya terasa seperti berada di persimpangan: antara kesetiaan pada suami yang jauh dan godaan yang semakin nyata.
Di rumah sakit jauh di negeri asing, Arka menatap ponselnya yang tetap sepi. Ia menahan air mata, menahan rindu, menahan sakit, semua demi melindungi Nayla dari beban yang tak ia ketahui. Namun, diamnya kini mulai menimbulkan bayangan-bayangan yang tak diinginkan dalam hati Nayla.
Malam itu, dunia Nayla, Rangga, dan Arka tetap terpisah oleh jarak, rahasia, dan godaan. Keraguan Nayla mulai terlihat jelas, menandai titik yang akan menentukan apakah cintanya mampu bertahan atau runtuh sebelum kebenaran Arka terungkap.
Hari-hari berikutnya, Nayla semakin sulit mengatur perasaannya. Setiap kali ponselnya berdering, jantungnya berdebar, berharap itu Arka, tapi hampir selalu Rangga yang muncul di layar. Nada suaranya lembut, penuh perhatian, dan membuat Nayla merasa nyaman, meski sekaligus bersalah.
“Kalau kamu ingin bercerita, aku selalu siap mendengarkan,” kata Rangga suatu sore ketika Nayla duduk di kafe sambil menunggu Kayla selesai bermain di ruang baca anak-anak. “Kamu nggak perlu menanggung semuanya sendiri.”
Nayla menunduk, menahan napas panjang. Ia ingin menegaskan hatinya pada Arka, tapi kesepian yang mendera membuatnya lemah. Ia merasakan hangatnya perhatian Rangga, sesuatu yang selama ini hilang karena jarak yang memisahkannya dari Arka.
Suatu malam, Nayla duduk di balkon, menatap langit gelap yang dipenuhi bintang. Kayla tertidur pulas di kamarnya, meninggalkan Nayla sendiri dengan pikiran yang bercampur aduk. Ia menggenggam foto Arka dan Kayla, menahan air mata yang tak bisa dibendung. “Aku harus percaya… tapi kenapa hatiku terasa rapuh?” gumamnya.
Sementara itu, Arka jauh di negeri asing mulai menunjukkan tanda-tanda kondisi fisik yang memburuk. Tangannya lemah saat menulis catatan penelitian, setiap napas terasa sesak, dan ia semakin sering menahan rasa sakit agar Nayla tidak khawatir. Ia ingin menelepon, ingin menenangkan Nayla, ingin menceritakan semuanya, tapi ia takut menambah beban di hati sang istri.
Di sisi lain, Rangga terus memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendekat. Ia hadir di momen-momen Nayla merasa lelah atau kesepian, selalu memberi perhatian dan kata-kata yang membuat hatinya terguncang. Nayla sadar, hatinya mulai retak, berada di persimpangan antara kesetiaan dan godaan yang sulit ia tolak.
Malam itu, ketiga hati—Nayla, Rangga, dan Arka—masih terjebak dalam diam, keraguan, dan jarak. Godaan Rangga semakin nyata, kesepian Nayla semakin mendera, dan rahasia Arka semakin menekan. Titik retak hati Nayla semakin terlihat, menunggu satu momen yang akan menentukan arah cintanya.
Malam itu, Nayla duduk di ruang tamu, memandang Kayla yang tidur pulas di kamar. Tangannya menggenggam secangkir teh hangat, tapi pikirannya kacau. Ia merasa hampa, terombang-ambing antara cinta pada Arka dan perhatian Rangga yang semakin menekan hatinya. Setiap pesan Rangga terasa seperti pelipur lara, hangat sekaligus membingungkan, membuatnya sulit meneguhkan hati.
“Arka… aku rindu, tapi rasanya aku sendirian,” bisik Nayla pelan, menahan air mata. Ia merasa bersalah karena hatinya mulai tergoda, namun di saat yang sama, ia ingin merasa diperhatikan dan dicintai. Perhatian Rangga terasa manis, namun juga membahayakan kesetiaannya.
Di luar negeri, Arka menatap layar ponsel yang tetap sepi. Tangannya gemetar, d**a terasa sesak. Ia ingin menelepon Nayla, ingin menjelaskan rahasianya, ingin menceritakan perjuangan melawan penyakit yang semakin berat, tapi ia takut menambah beban di hati Nayla. Diamnya menjadi satu-satunya cara ia menjaga istrinya, sekaligus menguji kesetiaannya dari jauh.
Sementara itu, Rangga tersenyum di rumahnya, menatap layar ponsel, merasa bahwa momen untuk mendekati Nayla semakin dekat. Ia tahu Nayla mulai goyah, dan kesepian yang menimpanya membuka celah yang ia tunggu selama bertahun-tahun.
Malam itu, dunia Nayla, Rangga, dan Arka terpisah oleh jarak, rahasia, dan godaan. Titik retak hati Nayla semakin nyata, menunggu satu momen yang akan menentukan apakah cinta yang selama ini ia jaga akan tetap utuh atau hancur di hadapan godaan yang kian mendesak. Diam, keraguan, dan jarak kini menjadi saksi bisu ujian cinta yang paling sulit bagi Nayla—dan tak ada yang tahu siapa yang akan menang dalam pertarungan hati ini.
Malam itu, Nayla tetap di balkon, menatap lampu kota yang berkelap-kelip. Hatinya terasa berat, setiap detik seakan menguji kesetiaan dan kekuatannya. Bayangan Arka dan Rangga silih berganti di pikirannya, membuatnya semakin bingung. Ia tahu hatinya retak, namun ia tak tahu bagaimana menambalnya.
Setiap pesan Rangga, setiap perhatian kecil yang ia tunjukkan, membuat Nayla merasa hangat tapi juga bersalah. Ia ingin percaya pada Arka, tapi jarak dan kesunyian membuatnya semakin rapuh. Tangannya menggenggam foto Arka dan Kayla erat-erat, mencoba menahan gejolak perasaannya.
Di luar negeri, Arka menatap jendela rumah sakit, menahan rindu, sakit, dan rahasianya sendiri. Ia berharap Nayla tetap kuat, meski tak tahu godaan Rangga semakin nyata di dekatnya. Titik retak hati Nayla kini semakin terlihat, menunggu satu momen yang akan menentukan apakah cinta mereka mampu bertahan atau hancur sebelum kebenaran Arka terungkap.