Nayla duduk di kursi rumah sakit, menatap sosok Arka yang terbaring lemah di ranjang. Selang infus menempel di lengannya, wajah pucat itu tetap berusaha menampilkan senyum tipis setiap kali mata mereka bertemu. Rasanya seperti mimpi buruk—seakan dunia runtuh di hadapannya ketika ia tahu kebenaran tentang penyakit Arka. Air mata kembali jatuh tanpa bisa ditahan. “Kenapa kamu nggak pernah cerita, Ka…? Kenapa kamu biarkan aku menebak-nebak, merasa curiga, bahkan hampir salah jalan?” suaranya bergetar, penuh sesal. Arka mengulurkan tangan pelan, meski tubuhnya gemetar. Ia menggenggam jemari Nayla dengan lemah. “Aku… nggak mau kamu terbebani, Nay. Aku ingin kamu tetap kuat, tetap tersenyum sama Kayla. Aku tahu kalau aku kasih tahu lebih cepat, kamu pasti makin berat menjalaninya…” Nayla meng

