BAB 10 CUCI PIRING

1023 Kata
Setelah keluar dari kamar Eric, Emy ingat jika dia masih punya tugas untuk mencuci piring dan merapikan dapur yang baru dia pakai untuk membuat sarapan. Walau Emy tidak suka masak tapi dia suka suasana dapur Eric yang terang benderang dan luas seperti ruang yoga yang hening untuk meditasi jika pikirannya sedang kacau seperti ini. Dari tadi Emy memang hanya diam berdiri di sudut kamar mandi tapi sekarang saat otaknya sudah kembali waras diapun mulai berpikir ulang. 'Apa benar dirinya sanggup melakukan pekerjaan ini?' Tapi Emy sedang sangat butuh pekerjaan dan tiga puluh juta sepertinya memang wajar jika harus di tebus dengan pengorbanan. Emy pikir selama dirinya tidak disuruh melakukan perbuatan kotor seharusnya pekerjaan ini tetap terhormat. Walaupun membantu seorang pria mandi rasanya masih sangat tidak masuk akal untuk di kerjakan. Dan satu lagi yang membuat Emy lebih khawatir' apakah dia juga harus melaporkan kegiatannya di kamar mandi tadi pada Mr. Hardy? ' rasanya semakin mustahil saja untuk di terapkan. Lagian kenapa sepertinya Mr. Hardy juga selalu menuntut laporan yang detail mengenai putranya. Tapi Entahlah, Emy juga tidak mau ikut pusing memikirkan perkara mereka. Seolah masalahnya masih kurang saja hingga dirinya perlu repot-repot memikirkan masalah orang. Emy kembali ingat saat dirinya harus diusir dari rumahnya sendiri oleh rentenir. Walau bukan rumah mewah tapi rumah tersebut adalah satu-satunya tempat yang bisa dia sebut sebagai rumah untuk pulang. Tapi jika keluarganya saja sudah tidak ada yang mengharapkannya untuk pulang atau bahkan mengakuinya 'lantas untuk apa semua ini? ' Tidak ada gunanya juga dia kembali ke rumah itu, dan bersusah payah seperti ini. Emy kembali meletakkan lap di atas meja dengan sedikit membantingnya karena perasan kesal. Kadang dia ingin menyerah tapi rasanya terlalu  pengecut jika dirinya harus kalah oleh perkara sepele seperti ini. Karena sama sekali tidak ada jaminan jika hidup bakal tanpa masalah meskipun dia menyerah sekarang, kemarin atau pun besok. Intinya masalah tetap harus di hadapi suka ataupun tidak suka. Sama halnya Emy yang tetap harus membayar hutang ayahnya meskipun sepeserpun dia tidak pernah ikut memakan uang riba tersebut. Jika saja dia tidak ingat jika hutang orang tua tetap barus dibayar, mungkin Emy lebih baik menyingkir dan memikirkan hidupnya sendiri tanpa perlu pusing. "Lola! " Panggil Eric kembali mengejutkannya. Emy pun buru-buru menghampiri Eric yang sepertinya baru keluar dari kamarnya dan sudah selesai mandi. Eric mengenakan pakaian yang sudah Emy siapkan tadi. Seperti biasa Eric membiarkan rambutnya yang sudah agak panjang itu mengering begitu saja tanpa perlu dia sisir. Emy jadi berpikir 'apa mungkin Eric juga perlu bantuan hanya untuk menyisir rambut!' Tapi untung saja dia tetap tampan walaupun rambutnya diacak-acak dan cuma disisir jari. "Bukakan pintu balkon kamarku," kata Eric setelah mendengar langkah kaki Emy mendekat. Sebenarnya tadi Eric sudah coba membukanya sendiri, tapi karena sudah lama tidak di buka. "Sepertinya ada yang tersangkut, " tambah Eric. Meski Eric tidak bisa melihat ternyata Emy tetap mengangguk. Bukannya masuk ke kamar Eric dia malah kembali lari ke dapur untuk mengambil minyak. Emy ingat jika balkon kamarnya kemarin juga susah untuk di buka karena relnya berkarat. Emy sudah coba mendorong pintu balkon kamar Eric beberapa kali tapi belum berhasil meskipun sudah dia beri pelicin. "Apa ada yang tersangkut? " tanya Eric dan Emy mengetuk satu kali masih sambil mendorong bingkai pintu yang masih bandel tak bergeming. "Mungkin pintunya rusak karena sudah lama rumah ini tidak di tempati." Kemudian Eric ikut mengetuk-ngetuk bingkai pintu. Emy meraih tangan Eric dan memberi tahu jika pintu balkon di kamarnya bisa di buka meski kemarin juga sempat serat. Sepertinya Emy memang belum menyerah karena merasa bisa membenahi pintu. Emy kembali memberi minyak di rel pintu dan coba mengungkitnya sedikit. "Pintu kamar tamu kadang memang masih sering di buka jika ada yang menginap. Tapi tidak pernah ada yang mau menempati kamar ini karena mereka bilang sering di ganggu penampakan seram." Serius, Emy yang tadinya masih jongkok pun langsung spontan berdiri. "Apa kau takut hantu? " Walaupun Emy lebih takut rentenir tapi bukan berarti dia gak bakal geli jika melihat mahluk  begituan. Menurut Emy masuk akal saja kalau rumah yang jarang di tempati seperti ini banyak mahluk astral-nya, tapi selama ini Emy memang belum pernah memikirkan hal macam itu dan baru terpikir sekarang. "Sebenarnya kau hanya perlu menutup mata dan kau tidak akan melihat apa-apa," kata Eric yang sepertinya juga bisa menebak ketakutan Emy. "Bi Hanun sering melihat ada wanita cantik yang berdiri di balkon kamarku tapi sayangnya aku tidak bisa melihatnya." Emy tahu jika maksud Eric hanya untuk sedikit bercanda tapi entah kenapa sepertinya selera bercandanya agak nyeremin. Bayangkan saja jika yang melihat hantu adalah dirinya dan dia tidak boleh menjerit, 'bukankah itu nyeremin?' pikir Emy. Sepertinya lebih menguntungkan jadi buta dari pada jadi bisu. Emy kembali melihat ke sekeliling, rumah ini sangat besar dan memiliki banyak kamar kosong. Pastinya para mahluk astral yang biasanya cuma bisa tinggal di bawah pohon rindang bakal kegirangan. Emy mengetuk tiga kali dan Eric langsung mengulurkan tangannya. "Tidak ada bedanya untukku,"____" yang kulihat hanya kegelapan," jawab Eric ketika Emy bertanya apa dia tidak pernah takut tinggal sendiri. "Apa bendanya mahluk astral dan dirimu, kalian sama-sama tidak terlihat dan tidak bicara. " Emy pikir agak keterlaluan jika Eric sampai menyamakannya dengan mahluk astral, tapi kenyataannya memang dia benar juga. "Besok akan kusuruh pak Salim untuk membenahi pintunya!" Eric sudah lebih dulu berjalan pergi mengabaikan Emy yang jadi ikut buru-buru menyusul karena tidak mau ditinggal di kamar gelap itu seorang diri. Emy masih mengekor di belakang Eric  sampai  pria itu kembali menyapanya. "Lola,"___"duduklah aku ingin bicara padamu." Walau masih agak bingung Emy mengikuti perintah Eric dan ikut duduk di sofa di sebrang Eric. "Aku serius tentang tawaranku kemari," kata Eric dengan tenang. Kemarin Eric memang sudah sempat membahas jika dia akan membayar berapapun asal Emy lebih loyal padanya. Tapi saat itu Eric sedang emosi jadi Emy pun tidak menanggapinya dengan serius. Emy masih memperhatikan Eric yang duduk di sebrang meja dan entah kenapa Emy tiba-tiba menjadi gugup. Padahal pria itu tidak bisa melihatnya, tapi Eric memang terlihat lebih dominan bahkan hanya dengan duduk diam seperti itu. Seperti yang sempat Emy pikirkan sebelumnya. Eric adalah orang yang tenang, tidak mudah ditebak dan bisa berbahaya jika dirinya tidak jeli mengambil keputusan karena sepertinya Eric memang benar-benar serius dengan perkara ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN