Prolog

596 Kata
Ruang sidang itu mencekam, penuh dengan aura tekanan dan ketegangan menyelimuti wajah para pengunjung dan semua orang yang saat itu memenuhi ruang sidang. Di sana, Nadira duduk dengan mata yang merah karena terlalu banyak menangis. Usianya baru dua belas tahun, namun dia sudah harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis. Pengadilan ini adalah harapan terakhirnya untuk mendapatkan keadilan. Di depan, berdiri seorang pria bertubuh tinggi besar, pengacara terdakwa yang sangat terkenal. Nama dan reputasinya sering kali menjadi buah bibir dalam dunia hukum. Dia adalah sosok yang mengintimidasi, bahkan hanya dengan kehadirannya saja. Dengan gestur yang penuh keyakinan, dia melangkah maju, menguasai ruangan dengan profilnya yang dominan. "Bapak dan ibu penasihat hukum, jaksa penuntut, serta para hakim yang mulia," suaranya menggema, penuh kekuatan dan keyakinan, "Kita semua berkumpul di sini bukan untuk menghancurkan hidup seseorang yang tidak bersalah. Kecelakaan ini adalah tragedi, tetapi itu tetaplah sebuah kecelakaan. Sama sekali tidak ada niat jahat. Tidak ada kesengajaan." Setiap kata yang diucapkannya seperti mantra, memikat dan mempengaruhi setiap orang di ruang sidang. Nadira merasa marah dan tak berdaya. Bagaimana mungkin keadilan bisa diperjualbelikan dengan kata-kata yang begitu memukau? Tubuhnya gemetar, ada ketakutan sekaligus kemarahan atas semua yang telah terjadi, juga kehawatiran akan masa-masa kelam yang menantinya di depan sana. Pengacara itu melanjutkan dengan penuh percaya diri, memaparkan argumen demi argumen yang membuat hati Nadira semakin berat. "Kita harus ingat bahwa hidup seseorang dipertaruhkan di sini. Terdakwa ini adalah seorang ayah, seorang suami. Ada empat orang anak kecil dan seorang perempuan lemah yang menggantungkan hidup pada ayah yang malang ini. Kita tidak bisa menghukum seseorang atas dasar emosi semata dan menghancurkan masa depan anak-anak ini." Suasana ruang sidang yang dingin dan kaku menciptakan kontras tajam dengan hati Nadira yang tengah berkecamuk. Dia baru kelas satu SMP, namun kejadian ini telah memaksanya untuk tumbuh lebih cepat dari seharusnya. Di depan sana, sang pengacara dengan suara yang penuh keyakinan masih terus berbicara. Dia seolah ingin menggiring penilaian orang-orang bahwa terdakwa tidak layak dihukum, padahal pria itu yang telah menabrak mobil kedua orang tua Nadira dalam keadaan mabuk. Pengacara itu sama sekali melupakan keberadaan Nadira, bocah perempuan yang kehilangan kedua orang tua, menjadi yatim piatu dan kehilangan sandaran hidup. Bahu nadira bergetar, seiring tangisannya. "Nadira, kita harus kuat," bisik bibinya, menggenggam tangan Nadira yang gemetar. Pengacara itu mengakhiri pembelaannya dengan meyakinkan bahwa kecelakaan tersebut adalah sebuah insiden yang tidak dapat dihindari. Semua orang tampak terpengaruh oleh argumennya. Nadira hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca, tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir. Saat keputusan akhirnya dibacakan, Hakim dengan tegas membebaskan terdakwa dari segala tuduhan. Hati Nadira hancur. Rasa keadilan yang ia harapkan lenyap dalam sekejap mata. "Tidak mungkin... ini tidak mungkin terjadi," Nadira berbisik pada dirinya sendiri, namun kenyataan yang pahit terus menghampirinya. Paman, bibi, dan sepupunya hanya bisa menatapnya dengan pasrah. "Mereka terlalu kuat, Nadira. Kita tidak bisa melawan mereka," kata pamannya dengan nada lelah. "Ikhlaskan saja semuanya. Doakanlah orang tuamu tenang di surga." Sambung bibinya. Dengan hati yang berat, mereka mulai meninggalkan ruang sidang. Namun, di dekat pintu keluar, langkah Nadira tiba-tiba dihentikan oleh seorang remaja laki-laki tampan. Ekspresi wajahnya serius, sorot matanya tajam. "Kamu sudah dibodohi, Nona," katanya dengan suara yang tak lebih dari bisikan. "Keadilan kali ini mengkhianatimu." Kata-kata itu terpatri dalam hati Nadira. Meski usianya masih muda, dia tahu bahwa suatu hari dia harus melawan ketidakadilan ini. Kejadian di ruang sidang hari itu menjadi awal dari perjalanan panjangnya untuk mencari keadilan. Dengan tekad yang tumbuh dari rasa kehilangan dan kekecewaan, Nadira berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan membiarkan keadilan mengkhianatinya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN