Pagi itu, udara dingin menusuk tulang. Matahari baru saja terbit, tapi langit masih abu-abu. Lucia Moses bergegas menuju kantor polisi, membawa tas bersisi dokumen.
Dia melapor pada petugas piket, dengan wajahnya penuh kekhawatiran pada keadaan bos sekaligus sahabatnya, Nadira.
Setelah beberapa menit menunggu, ia diizinkan masuk untuk menemui Nadira. Di dalam ruang khusus, ia menemukan Nadira duduk di sebuah kursi, wajahnya pucat dan terlihat sangat lelah.
"Nad..," panggil Lucia pelan, berusaha untuk tidak mengejutkannya.
Nadira mengangkat kepalanya dengan susah payah, mencoba tersenyum, tapi usahanya sia-sia. "Lucia," balasnya dengan suara serak. "Kau datang."
Lucia mendekat dan duduk di sebelah Nadira. "Bagaimana kabarmu?”
“Seperti yang kau lihat. Rasanya seperti mimpi buruk, Lucia,” Nadira menjawab sambil mencoba tersenyum.
“Aku membawa beberapa dokumen yang perlu kamu tandatangani. Ini semua untuk persiapan pembelaan kita."
Nadira mengangguk lemah. "Baiklah, berikan padaku."
Lucia membuka tasnya dan mengeluarkan dokumen dalam map. "Ini beberapa pernyataan yang perlu kamu tandatangani, serta beberapa otorisasi untuk kami bisa mengakses lebih banyak informasi."
Nadira menerima dokumen-dokumen itu dan mulai menandatanganinya satu per satu tanpa membaca ulang. Matanya terlihat lelah, dan gerakannya lambat.
Lucia menatapnya tanpa berkedip.
"Aku tahu ini sangat sulit untuk diterima. Tapi kita tidak bisa apa-apa selain menunggu proses berlanjut. Mereka menolak permohonan penangguhan. Kamu tetap sabar, Nad, kami akan berusaha lebih keras.” Kata Lucia lembut.
Nadira menghela napas panjang. "Baiklah. Aku tidak punya pilihan lain, kan?"
Lucia menggenggam tangan Nadira, terus memberi dukungan. "Kita akan menemukan cara untuk mengeluarkanmu dari sini. Kita tidak akan menyerah."
Nadira menatap Lucia dengan mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih, Lucia. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kalian."
Lucia tersenyum, mengangguk pelan.
Setelah menandatangani dokumen terakhir, Nadira menyerahkannya kembali kepada Lucia. "Apa rencanamu selanjutnya?" tanyanya.
Lucia menyimpan dokumen-dokumen itu dengan hati-hati ke dalam tasnya. "Kami akan mencoba mencari lebih banyak bukti untuk membersihkan namamu."
Nadira mengangguk, berusaha tetap kuat meski rasa sakit di kepalanya semakin parah. "Baiklah. Aku percaya padamu, Lucia."
Lucia berdiri, menatap Nadira dengan tekad. "Kami akan segera kembali dengan kabar baik. Kamu harus tetap kuat."
“Terima kasih, Lucia,”
Lucia mengangguk, lalu berbalik meninggalkan Nadira.
Suara ketukan stiletto high heelsnya yang beradu di ubin lantai terdengar jelas.
Senyum lebar terukir di bibirnya yang dipoles lipstick warna merah menyala.
***
Selama beberapa minggu pertama di tahanan, Nadira masih merasakan dukungan dari rekan-rekannya. Mereka datang dengan harapan dan janji, membawa kabar baik dan keyakinan bahwa kebenaran akan terungkap.
Lucia Moses, sahabat sekaligus rekan yang paling Nadira percayai, selalu hadir dengan senyum optimis dan rencana pembelaan yang detail.
"Nad, kita akan mencari jalan untuk mengeluarkanmu dari sini," kata Lucia dengan penuh keyakinan suatu hari. "Aku berjanji akan terus berusaha."
Namun, seiring berjalannya waktu, kunjungan Lucia semakin jarang. Nadira mulai merasa sendirian. Setiap kali pintu selnya terbuka, ia berharap melihat Lucia, tapi yang datang selalu Rey. Hingga suatu hari, Lucia berhenti datang sama sekali.
"Kenapa Lucia tidak datang lagi, Rey?" tanya Nadira, suaranya penuh keraguan dan kekecewaan. Dia duduk di atas bangku keras di ruang kunjungan, menatap wajah Rey yang terlihat letih.
Rey menghela napas panjang sebelum menjawab. "Nadira, ada sesuatu yang harus kau ketahui. Kantor kita... sudah ditutup. Semua rekeningmu dibekukan. Mereka menolak surat kuasamu."
Nadira terperangah kaget. "Apa maksudmu, Rey? Bagaimana mereka bisa melakukan semua itu?"
"Lucia sudah mencoba yang terbaik, tapi tekanan dari luar terlalu besar. Mereka menutup semua akses kita. Bahkan Lucia tidak bisa berbuat apa-apa lagi," Rey menjelaskan dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Dia bilang dia akan mencari cara lain, tapi... dia juga takut."
Nadira menunduk, merasa kekosongan dan pengkhianatan yang mendalam. "Jadi, aku benar-benar sendirian sekarang?"
Rey menggenggam tangan Nadira. "Kamu tidak sendirian, Nad. Aku masih di sini. Kita akan melawan ini bersama-sama."
Namun, kata-kata Rey hanya sedikit meringankan beban di hati Nadira. Ketakutan dan kekhawatiran semakin menggerogoti pikirannya. Bagaimana dia bisa melawan sistem yang begitu kuat dan kejam? Bagaimana dia bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah?
Selain itu, ada kesedihan mendalam yang menggantung di hatinya. Pacarnya, Alex, dan keluarganya, yaitu paman, bibi, dan sepupunya, tak pernah mengunjunginya. Mereka benar-benar meninggalkannya sendirian, tanpa dukungan dari keluarga dan orang terdekat.
***
Hari persidangan tiba, dan Nadira harus menghadapi pengadilan. Berjalan menuju ruang sidang dengan tangan terborgol, kilatan kamera wartawan membanjiri pandangannya.
Naluri pengacaranya yang tajam dan kritis langsung paham situasinya. Ini adalah skenario yang sudah direncanakan dengan matang. Pria yang mengancamnya lewat telepon itu, pasti berada di balik semua ini.
Nadira duduk di kursi terdakwa, mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Dia terlihat rapuh dan tak berdaya, namun menatap lurus ke depan.
Sungguh ironis. Dulu dia hadir di sini sebagai pembela terdakwa. Namun saat ini, dia yang duduk di kursi pesakitan ini.
Wartawan berkerumun di bagian belakang, memegang kamera yang siap menangkap setiap momen.
Hakim duduk di podium, mengamati semua orang dengan mata tajam dan penuh wibawa.
Ketika pengacara korban memasuki ruangan, Nadira merasakan ketegangan.
Dia, Ferdinand Randal.
Wajahnya yang keras dan penuh pengalaman membuat aura intimidasi menyebar di seluruh ruangan.
Nadira menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal kuat hingga buku-bukunya memutih.
"Aku sudah menduga, semua ini di bawah kendali licik pria itu," gumamnya dengan suara rendah namun penuh kebencian.
Pria itu bahkan tidak canggung berdiri di ruang sidang ini untuk mendakwa dirinya. Betapa manusia yang sangat tidak tahu malu.
Tapi Nadira tidak akan terintimidasi oleh pria licik dan kejam itu. Dia sudah memutuskan untuk melawannya, dan keputusan itu tidak akan berubah.
Ferdinand Randal adalah musuhnya. Sekalipun dia harus membayar dengan nyawanya, dia tidak akan membiarkan dirinya terus dieksploitasi oleh pria itu.
Nadira menatap lurus ke depan, dengan dagu terangkat.
Pengacara Randal tersenyum tipis, seolah menyadari kekesalan Nadira. Dia berjalan dengan langkah percaya diri ke depan ruang sidang, menyapa hakim dan para pengacara lainnya sebelum mulai berbicara.
"Selamat pagi, Yang Mulia dan rekan-rekan sekalian, saya Ferdinand Randal, kuasa hukum korban."
Hakim mengangguk. "Selamat pagi, pengacara Randal. Silakan."
Sudut bibir pengacara itu melengkung. Ini adalah lanjutan perseteruan mereka di ruang sidang. Wanita itu terlalu meremehkannya, jadi dia akan meremukkannnya.
Dia memulai, "Kasus ini sangat jelas, Yang Mulia. Terdakwa, Nadira Angelina Rodin, telah melakukan manipulasi kasus yang berujung pada kematian kliennya. Kami memiliki bukti yang kuat untuk mendukung tuduhan ini."
Nadira berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu ini adalah momen krusial. "Yang Mulia," katanya dengan suara tegas, "saya tidak bersalah. Semua ini adalah hasil dari konspirasi yang direncanakan dengan matang untuk menghancurkan saya."
Randal menyeringai. "Ah, konspirasi. Alasan yang sering kita dengar di ruang sidang ini. Namun, fakta-fakta tidak bisa dibantah, Nona Rodin. Bukti-bukti menunjukkan dengan jelas bahwa Anda terlibat dalam kasus ini."
Hakim menatap Nadira dengan tatapan serius. "Nona Rodin, apakah Anda memiliki bukti untuk mendukung klaim Anda?"
Nadira menarik napas dalam-dalam. "Saya sedang berusaha mengumpulkan bukti, Yang Mulia. Namun, situasi yang dihadapi sangat sulit. Rekan-rekan saya sedang berusaha untuk mendapatkan semua informasi yang diperlukan."
Rey, yang duduk di sebelah Nadira, berbisik, "Kamu harus tetap tenang, Nad. Jangan biarkan dia memprovokasi kamu."
Nadira mengangguk pelan, mencoba menenangkan hatinya.
Sidang berlanjut. Pengacara Randal mempresentasikan bukti-bukti yang dimilikinya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti palu yang menghantam hati Nadira. Dia memaparkan rekaman CCTV, dokumen-dokumen, dan kesaksian yang semuanya mengarah pada satu kesimpulan: Nadira bersalah.
Tapi Nadira tidak terpengaruh. Sebagai pengacara, dia sudah terbiasa menghadapi situasi ini. Mereka akan berusaha mengumpulkan bukti dan menyusun memori pembelaan yang kuat.
‘Tidak akan kubiarkan kamu menang lagi, Randal. Kali ini, aku akan melawan hingga akhir.’
Namun saat pemeriksaan bukti-bukti pada sidang berikutinya, Nadira dibuat tercengang.
Dalam rekaman CCTV ruang tahanan, terlihat orang terakhir yang mengunjungi korban adalah dirinya. Lalu ditampilkan bagaimana korban menjadi gelisah setelah dia pergi. Lalu terjadilah hal mengerikan itu.
“Sayang sekali CCTV di ruang tahanan mengalami gangguan, sehingga tidak bisa merekam suara. Kalau tidak, kita semua bisa mendengar jelas apa yang dikatakan oleh pengacara Rodin pada kliennya, yang telah menjadi korban dan saat ini sedang kita perjuangkan hak keadilannya.” Kata pengacara Randal dengan wajah sendu, menambah dramatis suasana.
Nadira terdiam di kursi terdakwa dengan wajah pucat.
“Nona Rodin terlalu berambisi untuk menjadi pengacara hebat, hingga terus membangun mimpi dalam diri kliennya bahwa dia akan dibebaskan. Padahal sesungguhnya pria muda ini bersalah, dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
Pengacara Randal berdiam diri sejenak, membiarkan pikiran semua orang dalam ruang sidang berkembang liar.
Melihat satu persatu pengunjung menoleh, menatap marah pada Nadira yang duduk di kursi terdakwa sambil tertunduk, dia melanjutkan pertunjukannya.
“Mimpi yang terlalu melambung tinggi dan kenyataan yang berlawanan arah, serta tekanan dari sang penasihat hukum yang ambisius dan menghalalkan segala cara, akhirnya membuat pria ini mengambil jalan pintas. Bapak, ibu sekalian, apakah kita akan membiarkan hal seperti ini menghancurkan rasa keadilan dan kemanusiaan di antara kita?”
Semua orang menahan napas, terpengaruh sepenuhnya oleh kalimat-kalimat pengacara Randal yang menyerang Nadira dengan kejam.
***