Penelusuran Irene (1)

1207 Kata
Entah atas dorongan apa, mendadak saja Irene seperti mendapatkan wangsit. Seusai menikmati makanan yang dibawakan oleh Randy, dia bagai mendapat dorongan untuk mencari tahu tentang sesuatu. Itu membuatnya segera meminta kepada Sang Supir untuk mengantarkan dirinya ke kantor Sang Adik. Irene juga tak mengatakan kepada Orang kantor akan pergi kemana. Sang Supir tentu saja menuruti kemauannya. Resepsionis di kantor Klara yang agak terbingung menyambut kedatangannya. Dia memang belum mengenali wajah Irene sebagai Kakak dari Bos-nya dan baru akan menanyakan keperluan Irene untuk menjumpai Sang Bos. Lisye, yang kebetulan tengah melintas di dekat situ dan pernah diperkenalkan kepada Irene oleh Klara, juga agak bingung mendapati Irene ada di kantor mereka. “Selamat Siang Mbak,” sapa Resepsionis itu. “Selamat Siang.” “Mbak Irene?” Sela Lisye. “Hei..., Lisye, ya Orang Finance-nya Rara, kan?” Lisye mengiakan. “Mbak Irene mau ketemu Mbak Rara? Kan Mbak Rara sama bebrapa Tim Inti sedang ada di lokasi event Channel 789,” kata Lisye. Irene berpikir sesaat. “Enggak juga. Mau ngobrol sama kamu. Kamu lagi sibuk nggak?” Lisye mengerutkan kening. Demikian juga Sang Resepsionis. Namun demi rasa sopannya kepada Irene, Lisye langsung mengajak Irene memasuki area kerjanya. Tak berani menolak kemauan Irene, walau hatinya bertanya-tanya ada apakah yang hendak ditanyakan oleh Irene kepadanya. “Silakan duduk, Mbak Irene. Atau mau di ruangan Mbak Rara supaya lebih nyaman?” “Nggak usah. Di sini saja. Ganggu kamu kerja, nggak?” “Nggak juga sih, Mbak. Kalau saya sambil kerja nggak masalah, kan?” “Enggak. Sambil kerja saja. Saya tahu kok, yang namanya pekerjaan seperti yang kita lakukan itu kan bisa dibilang nggak ada kelarnya. Nggak heran Rara lebih memilih jenis pekerjana yang berbeda.” Lisye tersenyum. “Mau minum apa, Mbak? Biar saya mintakan ke Office girl,” tanya Lisye. Irene menggoyangkan telapak tangannya lalu menunjukkan thumbler yang dia bawa. Lisye langsung melirik ke arah perut Irene. Dia mengangguk maklum dan berpikir barangkali Irene yang tengah hamil itu tak mau mengkonsumsi makanan maupun minuman sembarangan. “Oh. Iya. Iya. Tpai kalau Mbak Irene butuh sesuatu, tolong bilang, ya.” “Oke.” “Ngomong-ngomong, Mbak Irene nonton acaranya secara langsung nggak, nanti?” Irene menggeleng. “Ada kesepakatan jahat antara Papa, Mama, Papa Mertua, Mama Mertua dan Suami aku untuk melarang aku ke tempat acara. Takut pulangnya terlalu malam dan kecapean kata mereka.” Lisye tersenyum. “Mbak Irene bisa saja. Tapi nonton dari televisi atau link streaming saja Mbak.” “Link streaming kelihatannya lebih oke.” “Itu usulan Mbak Rara juga tuh. Baru kali ini kan, ada acara sebesar itu yang langsung dapat disaksikan secara streaming. Mbak Rara memang benar-benar total dalam perhelatan satu ini. Kami semua juga yakin Media 789 akan diuntungkan.” “Ya, ya, Rara sepertinya semangat sekali. Aku juga bangga. Ini kan acara yang berbeda konsepsama sekali dengan yang selama ini digagas sama dia.” Lisye tersenyum. “Semoga saja memberikan manfaat yang sebanding juga untuk Event Organizer ini.” Irene mengernyitkan kening. “Maksud kamu? Hm..., aku menangkap kesan kalau proyek ini kurang ideal. Jangan-jangan proyek thankyou ya, yang nggak ada profit-nya?” tebak Irene. Lisye langsung menyadari salah ucapnya. Irene paham akan reaksi Lisye. Sebagai Orang yang berlatar belakang Akunting, tentu saja jiwa menyelidiknya langsung terketuk. Dan dia pantang untuk membiarkan kecurigaannya ini tak terjawab. “Lisye, apa yang mendorong Rara untuk mengerjakan proyek ini? Apa jangan-jangan..., dia sedang dimanfaatkan sama Seseorang?” Lisye semakin rapat mengunci mulutnya. Dia mulai salah tingkah. “Lisye, kamu terus terang saja ke saya.” “Eng...” “Kamu pasti tahu sesuatu.” Mendadak Irene terkenang akan foto yang dikirimkan oleh Heidy beberapa saat lalu. Dia jadi teringat bahwa Heidy belum balas menghubunginya. Huh! Berasa diperlukan! Cela Irene dalam diam. “Lisye, apa kamu tahu bahwa Rara sedang dekat sama Seseorang? Soalnya aku dapat informasi bahwa ada Seseorang yang sedang mendekati dia.” “Waduh Mbak..., kamu di sini nggak pernah mencampuri urusan pribadi Mbak Rara.” Irene menatap tajam pada Lisye. Dia mencari-cari telepon genggamnya dan bermaksud untuk membuka pesan dari Heidy beberapa saat lalu. Ternyata ketika dia akan meng-klik pesan, ada pesan baru dari Heidy. Sepertinya telah dikirim ketika dirinya sedang dalam perjalanan ke kantor Sang Adik. From : Heidy Hallo Ren, maaf, ini diskusinya berlanjut. Kelihatannya alot. Nanti agak sorean saja gue baru telepon elo ya. Irene tersenyum miring. Terserah, batin Irene. Tapi dia segera membalas singkat dengan mengetik kata, “OK,” lalu menekan tombol kirim. Kini Irene menunjukkan foto Klara yang tengah menikmati makanan dengan Vino. Foto yang dirasanya paling jelas di antara semua foto yang dikirimkan oleh Heidy. “Kamu tahu siapa dia?” Lisye tersentak. Dan bibirnya tak sadar menggumam, “Mas Vino.” “Vino? Siapa itu?” sambar Irene. Lisye tampak ragu. “Kamu kenal? Kalian di sini sudah kenal semua sama dia?” Lisye mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mendadak dia jadi bingung harus menjawab apa. Dia sangat ingat pesan Klara untuk tidak mencampur adukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi. Namun demi mengingat betapa menyebalkannya proses di mana Klara akhirnya mem-permak angka penawaran kontrak kepada Channel 789 dia jadi terpancing juga untuk sedikit membuka jati diri Vino. “Mbak Irene nggak tanya ke Mbak Rara?” “Ketemu saja jarang. Dia kan lagi sibuk berat. Jadi Siapa orang ini? Dari informasi yang aku tahu, dia ini kerja di stasiun televisi?” Dengan berat hati Lisye mengangguk. Dipikirnya, toh ini masih masalahpekerjaan juga. “Tim kami memang berkolaborasi sama timnya Mas Vino dalam proyek ini. Proyek yang..., yach..., sebenarnya juga ..., aduh, gimana ngomongnya ya Mbak..., saya agak kesal sebenarnya, karena dulu pernah memasukkan tawaran ini dan ditolak, lantas sekarang Mbak Rara merevisi total, dari format acara, pengisi acara, sampai ke angkanya. Yang kalau saya lihat, semuanya lebih menguntungkan televisi itu ketimbang Mbak Rara. Mbak Rara bilang, anggap saja ini adalah pos promosi.” “Hah?” Mendengar suara Irene yang bagai membentaknya, Lisye langsung tersadar, dia sudah kebanyakan bicara. Dia buru-buru menutup mulutnya. “Mbak, Mbak Irene tolong jangan bilang apa-apa ke Mbak Rara, ya. Bisa-bisa saya dapat peringatan keras. Ini kan sebenarnya termasuk rahasia perusahaan.” “Kalau kamu membicarakannya ke Orang lain, aku akan marah. Tapi karena bicaranya ke aku dan ini menyangkut persoalan Adikku, akumalah mengapresiasi.” Lisye tak mampu memjawab. “Sudah nggak usah ragu. Sekarang bilang, apalagi yang kamu ketahui tentang Orang ini? Aku jadi curiga, jangan-jangan Adikku didukunin sama dia. Gila aja, kerja kok nggak cari untung,” keluh Irene. Lisye jadi gugup. Ya ampun. Bagaimana ini Mbak Irene ini kan kalau ngomong nggak mau kalah. Mbak Rara saja kelihatannya menurut sekali sama dia. Ya apalagi aku, sesal Lisye dalam diam. Bilang saja Lisye. Sebenarnya kamu dan beberapa Temanmu juga sudah mulai bisik-bisik di belakang kan, dan menangkap firasat bahwa Vino itu hanya pencitraan did epan Bos Kalian? Kalian juga nggak rela kalau Bos Kalian dimanfaatkan, kan? Ini sekarang, sudah ketahuan salah satunya berefek ke bakal aliran uang masuk. Biar Kakaknya ini bisa kasih tahu Adiknya untuk berhati-hati. Nggak ada salahnya, kan? Demi kebaikan bersama, kata Suara hati Lisye kemudian. Lisye menghela napas panjang. Dia masih bimbang dengan pertentangan yang ada di dalam hatinya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN