Sebagaimana yang dilakukan oleh Irene tadi, Bu Ellen juga memperbesar tampilan foto yang terkirim padanya Hanya saja, yang menjadi fokusnya adalah hal yang berbeda jika dibandingkan dengan Irene..
“Ekspresi wajah Rara di sini sangat lepas. Dia sangat senang kelihatannya. Ah, aku senang melihat wajah Rara yang berseri-seri begini,” gumam Bu Ellen ketika melihat foto-foto yang diyakininya adalah foto Rara yang tengah bermain ice skating.
Dia pasti sangat membutuhkan rekreasi sesaat seperti ini. Soalnya pekerjaan dia kan memang sedang sambung-menyambung belakangan ini. Kalau dia berwisata ke luar kota memang nggak memungkinkan. Ya apa salahnya dia bersenang-senang begini? Rasanya juga nggak salah kalau dia mempunyai Teman-Teman yang banyak, pikir Bu Ellen setelahnya.
Lalu tatkala jemarinya menggulir ke deretan foto yang berlatar tempat sebuah restaurant, dia menjadi lebih yakin bahwa Gadis yang ada di dalam foto tersebut adalah benar Klara-nya yang tersayang.
“Aduuh Irene ini! Nggak ada itu acara suap-suapan. Ini yang kelihatan mau menyuapkan makanan Si Cowok, kok. Rara-nya kelihatan biasa saja, kok. Bisa jadi ini hanya Teman biasa. Rara juga belum ada menyebut apa-apa tentang Cowok ini. Bisa jadi Cowok ini memang menaruh hati pada Rara. Ya Siapa juga yang enggak? Rara itu punya banyak nilai plus dan jauh dari kata genit. Dia layak untuk dikejar Para Cowok. Tapi bagaimana perasaan Rara terhadap Cowok ini, mungkin itu yang aku harus cari tahu lebih lanjut,,” kata Bu Ellen lirih, kepada dirinya sendiri.
Semakin lama menatap ekspresi wajah Klara dalam foto tersebut, semakin tergelitik pula hati Bu Ellen. Mau tak mau, dia terpancing untuk membandingkan hal tersebut dengan situasi perjumpaan Sang Putri Bungsu dengan Randy, yang diinisiasi oleh Mendiang Bu Virny serta disetujui sepenuhnya oleh dirinya, sekitar satu tahun sebelum kepergian Bu Virny menghadap Yang Maha Kuasa untuk selamanya.
Kenangan akan momen tersebut bermain-main di pelupuk mata Bu Ellen, bagaikan sebuah tayangan film yang diputar tepat di tepat matanya.
...
“Nina, apa lagi yang kurang dibeli? Mumpung saya masih di luar rumah nih. Jadi masih sempat singgah untuk beli?” tanya Bu Ellen kepada Nina, Sang Asisten Rumah Tangga yang sudah lama bekerja di kediaman Pak Alvin dan Bu Ellen, kedua Orang tua Rara.
“Nggak ada, Bu. Sudah lengkap semua, seingat saya.”
"Kamu yakin?"
"Iya, Bu."
“Oke kalau begitu.”
“Bu, Mbak Rara sudah datang dari tadi, lho. Ibu mau bicara sama Mbak Rara?” tanya Nina.
“Di tekan tombol loudspeaker saja coba, Nina.”
Nina menurut.
“Mbak Rara, Ibu nih, Mbak.”
Klara mengangguk.
“Hallo Ma, nanti kita ngobrolnya di rumah saja ya. Ini Rara lagi ribet, Ma.”
Seruan Rara terdengar cukup jauh dari telepon seluler Sang Asisten Rumah Tangga.
“Oke, sampai nanti di rumah ya Sayang. Kamu mau dibawain apa nggak?”
“Nggak usah, Ma. Sudah banyak makanan begini. Mama hati-hati di jalan ya. Daagh...”
“Daagh Rara.”
Nina tidak mendengar apa-apa lagi, pertanda hubungan telepon telah diputus dari seberang sana. Dia lantas menatap Klara dengan mata berbinar.
“Untung saja Mbak Rara bisa datang ke rumah hari ini. Mau-maunya lagi, terjun ke dapur membantu mempersiapkan kudapan yang mau disajikan ke Para Tamunya Ibu, hari ini. Senang deh saya,” cetus Nina,
Sungguh tak tersembunyikan betapa wajah Asisten Rumah Tangga itu terlihat ceria. Wajar, sebab Asisten Rumah Tangga yang lainnya yakni Izmi, saat ini sedang ijin untuk pulang kampung sehubungan persiapan pernikahan Salah satu kerabatnya. Sedangkan Mbok Sari, Salah satu Pegawai Bu Ellen di laundry yang kadang-kadang bisa dimintai tolong kalau ada acara seperti ini, juga sedang berhalangan sehingga tidak dapat datang ke rumah Sang Majikan untuk membantunya.
Klara hanya mesem-mesem kecil merespons ucapan Nina..
Kalau saja dia diberikan kesempatan untuk menuruti kata hati, sebetulnya Klara tergoda mau menjawab secara jujur demikian ini, “Keberadaanku di sini tuh lantaran dipaksa, Mbak, sama Mama. Kalau nggak dipaksa dengan strategi jitunya Mama yang pakai acara memelas segala, sebetulnya aku juga agak susah buat mengatur waktuku. Dan terutama, rada malas sih, ketemu sama Mbak Irene di sini. Ah, semoga saja dia masih sibuk berat dengan segala macam acara berbenah rumah barunya, setelah pulang dari berbulan madu. Semoga saja dia kecapean dan nggak sempat untuk datang kemari.”
“Terima kasih lho Mbak Rara, mau membantu saya hari ini, he he he.”
Nina terkekeh.
Klara kembali mesem-mesem saja. Sekarang dirasakannya hatinya tergelitik mendapati menu hidangan yang menurutnya terlampau banyak dan berlebihan itu. Dan menurutnya cukup ‘random’.
“Kurang berapa macam hidangan yang mau disiapkan, Mbak? Kok Mama bukannya pesan semuanya ke pihak catering saja sih? Pakai acara dikombinasi begini, ada yang pesan, ada yang sengaja membuat sendiri? Memangnya Tamu arisannya hari ini bakal ada berapa Orang, Mbak Nina tahu nggak? Dan apa Mbak Nina yakin, itu hanya acara arisan? Kok kalau dipikir-pikir..., lebih mirip pesta ulang tahun saja,” urai Klara panjang lebar.
Dengan tangannya yang terampil, Gadis bernama Klara itu mengeluarkan loyang bolu singkong dari oven. Makanan andalannya, yang merupakan resep turun temurun dari Almarhumah Sang Nenek. Ini sudah loyang yang keempat. Luar biasa!
“Kelihatannya karena nggak semuanya bisa disediakan sama Pihak catering, Mbak Rara. Contohnya, bolu singkong ini. Juga sayur asem dan sambal terasi yang disiapkan secara khusus sama Ibu, dari tadi pagi sebelum pergi. Jadinya, ya sebagian pesan, sebagian lagi tetap disiapkan sendiri.”
Klara menyipitkan matanya.
Dia hampir tak percaya mendengar penuturan Nina.
“Sayur asem sama sambal terasi? Astaga! Kok kelihatannya nggak nyambung sama hidangan yang lainnya. Tadi aku pikir itu mau buat dimakan sendiri itu sayur asem. Kan kesukaan Papa juga. Makanya hampir mau komentar, kok banyak amat masaknya. Kirain mau dibagi-bagi ke Tetangga samping dan seberang rumah pula,” sahut Klara.
“Itu kelihatannya maunya Teman-temannya Ibu deh, Mbak. Mereka pasti pernah mencicipi sayur asam dan sambal terasi buatan Ibu, makanya sengaja bikin permintaan khusus supaya ada menu itu.”
“Astaga! Ha ha ha.”
Sekarang Klara tak dapat menahan tawanya. Dia tak habis pikir dengan selera ‘campur baur’ dari Teman-teman Ibunya.
Klara memerhatikan bolu yang telah dikeluarkannya dari oven dan sengaja dia ‘istirahatkan’ sesaat. Matanya lantas memandangi sejumlah hidangan yang telah berjajar di atas meja panjang di pantry. Iseng, dia menghitung dengan jari telunjuknya.
Berbagai jenis hidangan ada di sana. Ada makanan pembuka, menu utama hingga kudapan penutup. Ada sate ayam dengan bumbu kacangnya yang tampak demikian mengoda, ada opor ayam, ada laksa serta soto, ada siomay dan otak-otak, ada berbagai macam salad sayuran sampai tumis sayur-mayur, bermacam gorengan yang menggoda selera, sampai makanan ringan baik yang bercita rasa manis maupun gurih.
Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Klara tadi, ‘sungguh tidak nyambung’, karena satu Orang dipastikan tidak mungkin mencicipi semua menu yang tersedia. Bisa terjadi ‘perang bintang di dalam perut nanti.
Malahan variasi minuman saja ada bermacam-macam. Klara melihat yang sudah disiapkan adalah minuman kaleng. Tetapi dia tahu pasti, masih ada sejumlah pilihan minuman lainnya yang harus mereka persiapkan setelah ini, yaitu aneka syrup dan lainnya.
“Ini buat apa, Mbak?” tanya Klara sembari menunjuk buah-buahan yang masih teronggok di lantai. Seingatnya, Mamanya juga sudah membuat puding buah tadi. Dia sempat melihatnya di ketika membuka kulkas. Makanya ketika melihat begitu banyak buah di atas lantai, dia berpikir bahwa Nina lupa memasukkan buah-buahan tersebut ke dalam kulkas.
Nina mengikuti arah yang ditunjuk oleh Klara.
“Oh, itu. Mau buat sup buah, Mbak.”
Nina menyahut tanpa menghentikan atau menjeda pekerjaannya.
Klara terperangah.
“Hah?”
“Kok hah sih, Mbak Rara?”
“Lha katanya mau buat dadakan juga, untuk minuman Thai Tea dan semacamnya. Itu sudah sengaja aku bawain alatnya lho. Aku bawa dari apartemen. Kata Mama, jaga-jaga kalau ada yang mau cobain juga,” ujar Klara yang memang sengaja membawa alat yang dibelinya setelah kantornya mengadakan bazaar kuliner tersebut. Bazaar yang membuatnya tertarik membeli alat tersebut lantaran melihat stand minuman yang satu itu serta beberapa makanan kecil kekinian yang selalu diramaikan oleh Pengunjung. Antriannya saja sampai mengular panjangnya. Bak hendak mengambil jatah makanan gratis saja.
“Ya itu juga, Mbak. Pokoknya Ibu nggak mau sedikit saja mengecewakan Para Tamunya. Pantang, kata Ibu. Ibu bilang, Tamu itu harus dimuliakan..”
Klara berdecak.
“Ck! Ck! Ck! Ini sudah seperti mau kasih makan Orang satu kampung. Niat banget. Melimpah ruah banyaknya,” komentar Klara.
Lalu tatap matanya menangkap ke arah tumpukan wadah plastik yang ada di dekat meja pantry. Wadah yang biasanya digunakan di sejumlah restaurant untuk tempat makanan yang dipesan antar. Jumlahnya lumayan banyak. Susunannya juga rapi. Entah kapan Nina meletakkannya di sana.
Nina tertawa.
“Biasa deh, Mbak Rara. Namanya juga Ibu-ibu yang datang. Nanti pasti deh, pada menyelinap ke dapur dan minta dibungkusin. Pasti ada yang suka menu tertentu dan minta disiapkan untuk dibawa pulang.”
“Oh. Pantas.”
Klara manggut-manggut.
Sekarang Klara dapat tersenyum puas.
Ia teringat usahanya untuk membantu memarut singkong dengan Nina tadi. Cukup memakan waktu. Waktu yang seharusnya dapat ia pergunakan untuk duduk di belakang laptop untuk mencari sejumlah informasi berguna yang dapat memancing ide kreatifnya agar selanjutnya dapat diterapkan ke pekerjaannya.
Tapi nggak apa deh. Sekali-kali jadi Anak baik dan manis. Apalagi, Mama dan Papa pasti lebih kesepian sekarang, karena Kakakku yang bawel itu sudah pindah ke rumah baru, batin Klara geli.
Saat Klara tengah mengiris bolu singkong dan menatanya di atas piring cantik, suara Sang Mama terdengar.
“Hallo, Anak Mama! Wah, Terima kasih banyak kamu mau repot-repot bantu Mama hari ini. Itu aroma bolu singkongnya sungguh menggoda. Rasanya Mama mau simpan satu loyang deh, buat kita sendiri. Harus diamankan sebelum terlihat sama Para Ibu yang datang nanti, biar nggak licin tandas” sapa Sang Mama.
Klara mengangkat wajahnya.
“Mama habis dari mana? Dan bawa apa lagi itu?” tanya Klara.
Mungkin saking dirinya serius bekerja di dapaur, sampai-sampai tak mendengar bunyi mesin mobil. Pokoknya tahu-tahu Sang Mama sudah sampai ke dapur dan menyapanya.
Sang Mama meletakkan dua tas karton yang tampak sarat isian ke atas sebuah kursi.
“Ini, Mama baru ambil pesanan serabi dan kue pukis. Yang ini kesukaan Tante Jenny dan Tante Amel.”
“Lho, nggak bisa diantar, Ma? Pakai diambil segala?”
“Sayangnya, nggak bisa, Ra. Mereka nggak ada jasa pesan antar.”
“Ya pakai ojek daring lah, Ma. Biar nggak buang waktu. Mama kan harus siap-siap juga. Jam berapa sih, Tamunya Mama bakalan datang nanti?”
Sang Mama menyenyuminya.
“Nggak apa. Sekalian silaturahmi sama yang punya toko. Ini kan yang punya toko Salah satu Teman Mama di Yayasan. Mama tinggal menata ini dan mengupas buah kok. Yang lain sudah siap semua kan? Nina, apa yang kurang?” ucap Bu Ellen, mengulang pertanyaan yang tadi dilontarkannya di telepon. Pertama untuk menjawab pertanyaan Sang Anak, kedua, untuk melontarkan pertanyaan kepada Sang Asisten rumah tangga.
“Sudah beres semua, Bu. Tinggal menyiapkan sop buah saja.”
“Ya sudah, aku saja yang potong buah dan bantu menata serabi dan kue pukisnya. Mama sebaiknya mandi dan siap-siap, sana,” sela Klara.
“Lho, kamu kan juga harus mandi dan siap-siap.”
“Hah? Buat apa, Ma? Kan ini acaranya Mama, bukan acaranya aku?”
Sang Mama lekas tersadar akan reaksi spontan Klara. Dia sedikit tergeragap. Namun secepat kilat dia mengatasi kegugupannya.
“Oh, bukan begitu, Sayang. Ya masa sih, kamu nggak mau menemani Mama buat mengobrol sama Para Tamu Mama nanti?”
Kening Klara berkerut.
Baru satu detik membayangkan dirinya berada di tengah-tengah sekumpulan Ibu yang ditengarainya pasti begitu aktif bicara tentang skin care keluaran terbaru yang digunakan oleh para bintang film K-Drama, produk makanan sehat, obat pelangsing, klnik kecantikan yang tengah hits, tas branded edisi terbatas, sinetron yang tengah naik daun, membanggakan prestasi Anak-anak mereka, menceritakan kesuksesan usaha Suami mereka, sampai secuiiiil...., sekali, tentang kegiatan sosial yang mereka selenggarakan saja, sudah membuat Klara enggan. Dia yakin dirinya akan serasa berada di di tengah gurun. Tersesat dan megap-megap karena dahaga dan kepanasan. Dia yakin tidak akan bisa membaur dengan mereka.
“Waduh! Mengobrol dengan Para Tante itu, Ma?”
Baru sekadar membayangkannya saja hati Klara sudah serasa demikian berat. Seolah dirinya ditodong untuk melakukan kerja rodi.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $