Irene memang tidak terlalu akrab dengan Heidy yang sebenarnya terbilang cukup dekat dengan Saskia itu. Dulu semasa mereka masih kuliah, Irene menganggap bahwa Heidy terlalu cerewet dan gemar mendominasi dalam setiap percakapan. Makanya tak heran kalau dia menganggap kenal dengan Heidy itu sambil lalu saja sifatnya. Enggan untuk terlalu berakrab ria. Berbeda dengan Saskia yang berpembawaan lebih kalem dan tahu kapan harus bicara kapan pula saatnya mendengarkan sehinga membuat Irene merasa cocok, klop berteman dengan Saskia, mengingat dirinya sendiri juga gemar mendominasi percakapan. Nah, jika dengan Heidy, yang ada mereka berdua bisa brebutan bicara daru sama lain.
Hanya saja, Irene masih ingat bahwa Saskia pernah menyebutkan bahwa bertahun yang lalu Heidy pernah mengatakan bahwa perusahaan tempatnya bekerja pernah bekerja sama dengan perusahaan di mana Klara bekerja. Dan alangkah kebetulan karena Orang yang bertanggung jawab atas proyek kerja sama tersebut kebetulan adalah Klara. Dan tanggapan Irene ringan-ringan saja saat itu.
“Oooh... bisa saja.” Itu yang dia ucapkan tanpa minat untuk membahas lebih jauh, kala itu.Tidak berminat membri 'celah' untuk Orang yang bernama Heidy masuk ke lingkaran dalam lingkup pertemanannya.
"Terus mau ngapain dia sekarang kira-kira, ya? Kok sepertinya kepengen banget nempel-nempel ke aku," gumam Irene.
Belum mendapatkan jawaban atas tanya yang membersit di pikirannya, Irene langsung menggulir pesan yang kedua. Masih dari nomor telepon genggam yang sama.
From : 0812-XXX-XXXX
Ren, hampir dua minggu yang lalu gue ke Mal Bunga Matahari II. Nah, kebetulan gue melihat ada Orang yang mirip banget sama Klara. Gue nggak begitu yakin sih, karena kan juga sudah lama sekali nggak ketemu sama dia. Nomor telepon genggam dia juga belum sempat gue simpan. Makanya gue rada ragu buat manggil dia, karena gue lihat juga dari lantai di atasnya. Ini lho, dilihat sendiri foto-fotonya Klara yang lagi main ice skating. Ini gue sengaja ambil dari beberapa sudut. By the way, itu yang terus sama dia Pacarnya atau Suaminya? Eh, Klara sudah menikah atau belum? Dan apa dia masih bekerja di perusahaan yang dulu?
Irene mengklik tiga buah foto pertama yang dikirimkan oleh Heidy. Semuanya mengambil tempat di arena ice skating. Dia sampai merasa perlu untuk menekan zoom in demi memperbesar tampilan.
“Ini memang mirip sekali sama Rara. Tapi sejak kapan Rara main ice skating? Wah..., kalau ini Rara, nggak benar ini dia. Sempat main-main begini tapi katanya jarang menginap di rumah? Aku bilangin Mama nih kelakuan dia,” dumal Irene sebal.
Irene lantas membaca pesan berikutnya dari Heidy.
From : 0812-XXX-XXXX
Nah, ini mereka berdua lagi makan dan kebetulan gue juga masih di area itu. Di sini sebenarnya gue mulai yakin, ini memang Klara. Tapi gue takut menganggu, soalnya dia sama Si Cowok ini kelihatan lagi serius banget ngobrolnya. Ini Adik Ipar elo atau Calon kuat buat jadi Adik Ipar elo? Ganteng banget ya, cocok sama Si Cantik Klara. Elo lihat deh, binar-binar cinta di wajah mereka berdua. Waduh..., serasa dunia milik mereka berdua saja. Bilang ke Klara dong, kalau memang belum menikah sama Cowok ini dan nanti mereka menikah, undang gue. Jangan seperti Kakaknya yang pas menikah melupakan gue.
Bersama pesan yang ini, ada sejumlah foto yang menunjukkan Klara dengan Seorang Cowok tengah duduk berhadapan. Mata mereka saling menatap mesra. Bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan seolah Si Cowok hendak menyuapkan makanan ke mulut Klara.
Irene langsung lupa pada rasa mual yang tersisa. Dia juga lupa dengan rasa malas yang tadi pagi menyergapnya. Semuanya seperti terpinggirkan seketika.
“Ini Rara! Apa-apaan dia?” tanya Irene jengkel.
Saat itulah dia memergoki Rieka masih menatapinya.
“Kamu ngapain ngelihatin saya seperti itu Mbak? Kerja sana, siapin makanan. Nanti Bapak pulang nggak ada makanan lho.”
Rieka menatap Irene dengan pandangan bingung.
“Kan..., Ibu yang meminta saya menemani Ibu di sini. Bapak juga bilang katanya saya di sini saja, nggak boleh jauh-jauh dari Ibu..”
“Hah?”
Rieka nyaris tertawa melihat Sang Majikan Perempuan terperangah dan sepertinya lupa akan permintaannya sendiri.
“Masa sih?” tanya Irene.
“Iya, Bu. Saya nggak bohong.”
Irene berpikir sesaat lalu manggut-manggut.
Ditepuknya jidatnya seraya berkata lirih, “Kok jadi lupa. Padahal kepala ini kejedut tembok juga enggak.”
Rieka menahan senyumnya mendengar perkataan Irene.
“Oh, itu tadi. Sekarang keadaan saya sudah membaik. Mbak kerja saja seperti biasa.”
Maka Rieka mengulum senyum.
“Ibu sungguhan sudah sehat, ya? Bisa saya tinggal, kan sebentar? Kalau Ibu perlu apa-apa teriakin saya ya. Atau miss call. Ini telepon genggam saya saya kantongi terus deh. Nanti saya langsung lari kemari.”
Irene tak menjawab, digerakannya tangannya. Persis seperti yang dia lakukan kepada Sang Suami tadi.
Rieka segera mengangguk dan bersiap untuk beranjak pergi.
“Mbak, sebentar!” seru Irene ketika Rieka baru akan berbalik badan.
“Ya Bu?”
“Saya lapar. Bapak tadi pesanin makanan apa lagi?”
Rieka tersenyum.
“Oh, ada macam-macam, Bu. Ada sup, terus ada segala macam puding buah segar. Ada asinan sayur dan buah. Ada macam-macam cemilan juga, Bu. Ibu mau yang mana?”
“Bawa puding buahnya kemari, Mbak. Hari ini saya mau di kamar saja.”
“Baik, Bu. Saya segera bawakan kemari.”
Rieka tidak berlama-lama dalam melakukan titah dari Sang Majikan Perempuan.
Dia segera kembali ke kamar dengan apa yang dipesan oleh Irene.
“Terima kasih. Sudah, kamu pergi sana. Kalau banyak makanan ya kamu kerjakan yang lain. Nggak usah masak lagi Nanti yang ada nggak kemakan, buang-buang makanan. Bersih-bersih atau apa. Sekalian bantu saya menghabiskan makanan yang dipesan sama Bapak.”
Meski agak ragu dengan bagian 'bantu saya menghabiskan makanan', Rieka memilih menjawab,“Ya Bu.”
“Pintu kamar saya kamubiarkan terbuka saja, biar saya gampang kalau mau teriakin kamu. Atau nanti saya telepon kamu. Itu telepon genggam kamu dikantungi terus ,ya.”
“Siap, Bu.”
Irene mengangguk.
Perhatiannya kembali kepada benda datar dan tipis yang berteknologi modern itu. Mendadak dia merasa perlu untuk menyimpan nomor telepon Heidy, walau berlum berminat untuk membalas salah satu pesan dari Heidy.
Tumben kali ini Si Heidy kasih informasi yang berguna, buah dari kebiasaannya yang suka mau tahu urusan Orang. He he he. Simpan dulu ah, mana tahu suatu saat aku perlu bantuan dia buat mengecek Siapa ini Cowok. Heidy kan dulu paling suka kalau dia merasa dibutuhkan Orang, maksudnya, kalau dianggap memberikan informasi yang berguna. Siapa tahu nanti dia bisa membantu aku. Radar dia lumayan kencang soalnya terutama untuk urusan begini, pikir Irene.
Yang terpikir oleh Irene saat dia menyuapkan potongan puding ke mulutnya, adalah mengecek keberadaan Klara pada perkiraan waktu yang diinformasikan oleh Heidy.
“Hm, kalau aku langsung tegur Klara, dia pasti pakai cara biasa. Tutup mulut. Susah sekali dikoreknya. Tapi kalau aku langsung kasih tahu Mama, jangan-jangan Mama malah sudah tahu Siapa Cowok ini. Hidih, ini Anak! Dia nggak tahu apa, pesan terakhir dari Tante Virny. Ibarat barang, dia itu sudah di-tag sama Mendiang Tante Virny. Pakai acara main api, dekat-dekat Cowok lain pula. Nggak bisa didiamkan ini,” gerutu Irene sendirian.
Lekas Irene mencari nomor kontak Sang Mama.
Saat jarinya bergerak, sebuah panggilan telepon masuk ke nomor telepon genggamnya.
Rasanya kemarahan Irene mau meledak saja. Dianggapnya panggilan telepon dari Sang Suami mengganggunya.
“Apa?” tanya Irene langsung setelah menggulir ikon pesawat telepon berwarna hijau. Niatnya untuk lebih mempercepat pembicaraan.
Dhika yang terkaget mendengar suara galak Sang Istri langsung bertanya dengan sabar, “Sayang, bagaimana keadaan kamu? Ini aku sebentar lagi sudah bisa pulang. Anak-anak bisa ditinggal kok. Kamu mau dibeliin apa dalam perjalanan pulang?”
Irene meradang mendengarnya.
“Apa Pulang? Ngapain pulang? Baru juga jam segini? Aku sudah makan, sudah segar. Sudah bisa ngamukin kamu malah kalau kamu telepon berlama-lama begini,” sahut Irene.
Dhika tertawa kecil.
“Masih mual nggak, Sayang?”
“Nggak.”
“Pusing?”
“Nggak.”
“Kamu mau dibeliin apa?”
“Beliin unit apartemen yang pas di sebelah unitnya Klara, bagaimana?”
“Aduh kamu ini bercanda. Maksud aku, kamu mau minta dibawain apa?”
“Jadi nggak mau beliin aku apartemen?”
Dhika diam sesaat.
“Itu masih masuk dalam paket ngidam? Ya sudah nanti aku lihat dulu arus kas aku,” sahut Dhika pasrah.
“Memang ada rencana mau beli apartemen?”
“Nggak ada sebetulnya. Tapi nanti aku lihat dan pelajari dulu. Dari pada Anakku nanti ileran.”
“Hm. Aku maunya sebelahan sama unitnya Klara. Nggak mau yang lain. Biar aku bisa pantau gerak-gerik dia setiap saat..”
“Nanti kita obrolin di rumah ya, Sayang. Sekarang kamu minta dibawakan makanan apa ini? Aku mau tinggalin pesan-pesan dulu ke Anak-anak.”
“Kamu pulangnya nanti saja deh. Aku lagi malas lihat kamu nganggur-nganggur di rumah. Bisa mual lagi nanti perutku. Kerja dulu saja. Cari uang yang banyak. Buat aku, buat Anak kita.”
Dhika terbungkam.
Ampun. Ampun. Semenjak hamil kok semakin nggak di-filter deh omongannya ke Suami, keluh Dhika dalam hati.
“Dhika, aku mau telepon Mama nih. Nanti lagi ya lanjut ngomongnya. Terus jangan lupa, beli mpek-mpek yang di jalan Kemuning. Semua ya, kapal selam, adaan, lenjer sama yang kulit.”
Dhika langsung tersadar. Itu adalah isyarat agar dirinya pulang kerja pada sore hari seperti biasanya. Sebab Mpek-mpek tersebut baru buka di atas pukul lima sore.
“Oke deh. Tapi berarti aku nggak jadi pulang cepat ini.”
“Iya.”
“Kamu yakin, sudah baik-baik saja?”
“Iya, cerewet!”
“Pokoknya kalau ada apa-apa kabari terus.”
“Iya, daaghh! Aku mau telepon Mama nih.”
Irene langsung menutup percakapan melalui telepon tersebut.
Sialnya, ketika dia hendak menekan nomor telepon genggam Sang Mama, dia mendadak lupa. Digaruk-garuknya kepalanya.
“Ini gara-gara Dhika. Tadi aku mau bilang apa ke Mama ya?” Irene setengah bergumam.
Irene menatap perutnya dan mengelus perlahan lalu bergumam lirih, "Dek..., kamu bantu Mama inhat-ingat dong. Ini Mama jadi suka lupa begini deh, semenjak ada kamu di perut Mama. Untung saja kalau urusan pekerjaan Mama biasa mencatat dan ada yang mengingatkan, jadinya nggak terganggu urusan pekerjaan selama ini."
Dia berusaha mengingat-ingat. Sampai pakai merem-merem segala.
Satu setengah menit kemudian, dia menjentikkan jarinya.
“Hm. Akhirnya! Dapat! Rara dan sepak terjangnya,” gumam Irene dalam rasa puas karena merasa telah mendapatkan petunjuk.
Segera Irene menghubungi Bu Ellen.
Tidak perlu menunggu lama, panggilan teleponnya segera bersambut.
“Hallo Sayang. Bagaimana keadaanmu? Rujaknya Mbak Nina sudah habis? Mama perlu ke sana buat menemani kamu nggak?” tanya Bu Ellen beruntun.
“Ma, aku lagi nggak mau ngomongin itu. Semuanya oke. Aman dan terkendali.”
“Oh kamu sudah membaik. Mau dipesanin apa lagi?”
“Ih Mama, makanan melulu. Mama diam dulu. Nanti aku keburu lupa nih. Aku dari pagi suka lupa nih.”
Sang Mama tertawa.
“Iya, iya, kamu mau bilang apa?”
“Ma, lagi sekitar dua minggu lalu, Rara bilang mau kemana nggak ke Mama? Ada menginap di rumah nggak?”
“Ngapain nanyain Rara? Dia itu dua minggu lalu ada event yang lumayan penting. Biasanya kan langsung ada review sehari setelahnya. Ya jelas nggak kemari dong, Ren..”
“Memangnya dia sesibuk itu, Ma?”
“Iya pastinya.”
“Jangan-jangan dia alasan saja Ma.”
Terdengar tawa kecil dari Sang Mama.
“Nggak dong, Sayang.”
“Serius Ma, dia nggak bilang dia kemana?”
“Iya, Sayang. Kamu ini kenapa sih?”
“Mama pasti nggak tahu kan, dia kemana? Dia pacaran itu, back street.”
Sang Mama tertawa mendengarnya.
“Ye... kok ketawa sih, Ma?” protes Irene sebal.
“Ya kamu juga ada-ada saja. Dia sibuk kerja, Sayang. Dan kalaupun dia pacaran, ngapain harus back street? Lucu sekali.”
“Mama kenapa selalu bela Rara sih Ma?”
“Lho kamu ini salah paham. Mama ini hanya berusaha meluruskan pemikiranmu.”
“Ma, mau tahu Rara kemana, kan? Yang dia bilang sibuk review event atau alasan mau istirahat dulu setelah event, sebagaimana yang beberapa kali dia bilang, itu bohong. Orang dia malahan asyik main ice skating kok.”
“Irene Sayang..., kamu tuh ah! Sejak kapan Rara bisa main ice skating?”
“Nanti aku kirimkan foto-foto yang diambil sama Temanku. Juga foto dia lagi makan dan suap-suapan sama Cowok.”
“Hah?”
“Nah! Kaget kan?”
“Irene Sayang, jelas Mama kaget. Kamu itu sampai suruh Temanmu memata-matai Rara? Dan mana mungkin Rara suap-suapan sama Cowok?”
“Yee.. Siiapa juga yang suruh? Itu kebetulan saja Teman aku melihat dia. Ma, Mama harus tegur Rara, Ma. Dia mana boleh begitu. Dia itu kan sudah dijodohkan sama Randy. Nggak pantas lho, sikapnya itu.”
Sang Mama terdiam.
“Bagaimana kalau sampai Om Suwandi tahu Rara itu menjalin hubungan sama Cowok lain? Ma, ingat lho pesan terakhir Mendiang Tante Virny. Tentu akhirnya Mama sudah mendengar sendiri dari Papa, kan?”
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $