Siasat Vino

1610 Kata
“Kok sepi sekali? Ini yang lain pada kemana?” tanya Klara ketika mereka memasuki ruang tamu di tempat kost Vino. Ada keraguan yang terbias di paras Gadis itu. Keraguan yang sudah dicoba untuk disingkirkan oleh Vino, ketika membujuk Gadis itu untuk turun dari mobilnya seusai dia memarkirkannya. Vino bahkan bersiasat dengan memarkirkan kendaraannya tepat di depan tempat kost, bukan di area parkir tempat kost sebagaimana biasanya. Dia tak mau ada pertanyaan atau kecurigaan yang dilontarkan oleh Klara apabila melihat tempat parkir yang tergolong lenggang pada malam itu. “Namanya juga ruang tamu. Mana mungkin Teman Kost aku duduk-duduk di sini, kan? Paling juga kalau nggak sedang makan bersama di ruang makan, mereka sudah bersantai di kamar masing-masing,” ucap Vino ringan. “Oooh...,” sahut Klara. “Bagaimana tempat kost aku? Nggak terlalu menjijikkan seperti yang kamu bayangkan, bukan?” Klara menatap dengan pandangan putus asa pada Vino. “Tuh... kan! Kamu mulai lagi deh.” Vino mencondongkan kepalanya kepada Gadis itu lalu mendaratkan kecupan sayang di puncak kepala Klara. “Maaf.” Klara tak bereaksi. Sejak mobil Vino merapat tadi pun, dia sudah tahu bahwa tempat kost yang dihuni oleh Vino merupakan tempat kost yang ekslusif. Bangunannya bagus dan terawat. Letaknya juga tepat berada di pinggir jalan besar. Dan jika bicara tentang kebersihan, tentu saja tempat kost itu sangat bersih. Klara dapat memperkirakan, penghuni di dalammya tentu merasa nyaman tinggal di situ. “Yuk,” ajak Vino kemudian. Vino tak mau melepaskan genggaman tangannya pada Klara barang satu detik saja. Klara terheran. “Ehh..., mau kemana ini?” tanya Klara karena Vino setengah menyeretnya untuk terus melewati ruang tamu begitu saja, bukannya mempersilakan dirinya untuk duduk. “Kita mengobrol di dalam saja.” “Apa?” Klara langsung menghentikan langkahnya. “Iya, di dalam, Di depan kamarku. Biar lebih santai.” “Apa nggak sebaiknya di sini saja?” “Ayolah. Tenang, di dalam juga nggak jorok, kok. Dan biarpun ini tempat kost sederhana, Pemiliknya menyediakan semacam kursi keras dan meja di setiap depan kamar,” seloroh Vino. “Kamu tuh terus deh ngomong begitu.” Vino tersenyum. “Makanya, kamu juga sih, mancing-mancing. Ayo.” Klara menyerah. Dia menurut saja ketika Vino mengajaknya melewati lorong yang memisahkan antar kamar yang satu dengan yang lainnya. “Hai Vin, Siapa lagi nih? Wah, cantik!” Sebuah sapaan membuat badan Vino menegang. Dia hafal Siapa Si Pemilik Suara tersebut. Sial. Si Delon resek. Kenapa aku sampai lupa kalau Anak yang tergolong paling baru menghuni tempat kost ini tapi suka sok akrab ini ada di rumah? Keluh Vino dalam hati. Klara memutar matanya. “Biasa, dia bercanda. Cuma kamu kok, yang ada di hati aku. Dan memang cuma kamu yang pernah aku ajak ke sini,” bisik Vino di telinga Klara. “Lon, ada di rumah? Kenalin, ini Klara. Klara, ini Delon, dia bisa dibilang Anak Bungsu di sini.” Vino memperkenalkan mereka berdua. Delon tertawa renyah saat menyalami Klara. “Oooh..., ini yang namanya Klara. Yang banyak membantu mendongkrak karirnya Vino, ya? Hati-hati kalau...,” Delon berteka-teki. Klara mengeleng. Dia tak menyangka Delon tahu mengenai dirinya. “Enggak. Dia berlebihan. Dia berusaha sendiri,” ralat Klara cepat. Sdedangkan Vino mendelik dan memberi isyarat agar Delon segera menyingkir. Delon tahu diri dan segera melangkah menuju ke arah ruang makan. Langkahnya demikian cepat, bagai Seorang Pemburu yang tengah mengejar Sang Target. “Jangan bablas ya Vin. Mentang-mentang tempat kost lagi sepi,” olok Delon pelan. Namun tetap saja kalimat Delon itu membuat telinga Klara terasa panas. Vino mengerling. Dia paham rasa tak nyaman yang tentunya mendera Klara. “Ngeres melulu sih otaknya. Nggak sopan banget. Kita cuma mau ngobrol. Sudah ah!.” Vino mengajak Klara terus melangkah ke arah kamarnya. Tepat saat mereka hampir tiba di depan kamar Vino, terdengar percakapan dari arah ruang makan. “Jul, Si Delon bawa Cewek. Sengaja tuh pasti dia. Jangan-jangan mau diajak menginap, mumpung nggak lagi banyak Orang di rumah.” “Masa sih? Jangan kelewatan kalau nuduh Orang. Kita di sini nggak ada yang begitu. Perkara masing-masing ada bikin ulah di luar, itu urusan pribadi. Tapi nggak pernah ada yang seperti ada di pemikiran elo itu.” “Yaaa..., mana tahu? Vino, gitu lho. Pas banget dia ajak Cewek pas rumah lagi sepi.” “Jangan negative thinking.” “Ya kalau nggak percaya, elo satronin deh di kamar dia.” Tidak terdengar suara apa-apa lagi. Vino tahu Siapa yang tengah diajak mengobrol oleh Delon. Tentu saja Julian. Terkadang Julian memang memakai ruang makan untuk mengetik. Mungkin karena dia bosan mengerjakan tugas kantor di dalam kamarnya. Atau butuh suasan ayang berbeda. Klara menatapnya. Vino mengabaikan pandangan protes Klara. Dia merasa pantang kehilangan momen. Pikirnya, rencananya sudah setengah jalan. “Itu pasti Julian. Ayo aku kenalkan kamu ke dia juga.” Klara mengedikkan bahu. Sementara Klara berpikir tidak ada salahnya dirinya diperkenalkan dengan Satu Orang lagi Teman Kost-nya Vino dan sekaligus untuk mengenyahkan prasangka buruk, dia tergelitik ingin tahu juga seperti apa Vino di mata Teman Kost-nya. Lain lagi halnya dengan Vino. Setelah hubungan pertemanannya yang agak merenggang karena Julian tetap memperingatkannya untuk tidak mempeermainkan Klara. Dia ingin memakai saat ini untuk mencarikan kembali komunikasi mereka. Di sisi lain, dia juga ingin sekaligus memperlihatkan bahwa dirinya tidak bisa dilarang-larang oleh Julian. “Jul, bawa pulang kerjaan lagi?” Sapa Vino. Julian mengangkat wajahnya dan mengalihkan perhatiannya dari layar laptopnya. “Iya.” Klara menyunggingkan senyum. Saat itulah timbul rasa prihatian di hati Julian. Dia segera mengenali paras Klara sebagai Seseorang yang dulu kerap disebut “Sang Bidadari’ oleh Vino. “Ini Julian, Klara. Dia ini Teman lamaku. Dari jaman kuliah, malahan. Kalau dari pembawaannya langsung bisa ditebak kan, dia kerja bagian apa? Ngurusin uangnya Bos, bagi-bagi duit gajian...,” celoteh Vino. Julian mengulurkan tangannya. “Dan ini Klara. Event Organizer itu. Yang otak kreatifnya luar biasa dan benar seperti kata Delon, banyak menyokong sampai karirku terpelihara saat ini,” tambah Vino. Klara menyambut uluran tangan Julian. Mereka saling menyebutkan nama masing-masing. Dia benar-benar Cewek baik-baik. Pas seperti yang digambarkan sama Vino. Jangan-jangan, sampai saat ini dia belum tahu tujuan Vino yang sebenarnya? Tanya Julian dalam hati. Klara dan Julian berbasa-basi sebentar, sementara Vino tersenyum penuh arti. Delon yang mati gaya, membuka kulkas. Begitu melihat ada kue tart di dalam sana, dia langsung menjerit. “Wow! Ada kue tart buat elo nih Vin! Pasti dari Salah satu Cewek-Cewek itu,” ujarnya iseng. Vino berusaha untuk tenang sembari menerka-nerka dalam diam, Siapa gerangan yang mengirimkannya. Dia benar-benar tak mau Klara menaruh curiga kepadanya. “Waah...! Bukan cuma kue tart. Ini lho, ada banana roll sama brownies juga. Ucapannya, selamat atas promosinya. Ini sekadar oleh-oleh dari Bandung.” “Elo mau? Cicipi deh. Tapi jangan kayak Si Jono. Kalau lihat ada makanan terus kalap. Yang punya nggak disisakan.” “Eh gue tinggal dulu ya. Mau ngobrol sama dia,” sambung Vino cepat. Kembali dia setengah menarik tangan Klara. Padahal Klara yang merasa nyaman mengobrol ringan dengan Julian itu baru saja mempertimbangkan apa tidak sebaiknya mereka berbincang di ruang makan saja sebab ada Orang lain di situ. “Julian, Delon, aku tinggal dulu ya,” ucap Klara pula. Julian mengangguk sementara Delon tersenyum nakal. Klara berusaha untuk tidak ambil pusing. Diiringinya langkah kaki Vino. “Duduk sini dulu, Ra,” suruh Vino setibanya mereka di depan kamar Vino. “Oke.” Vino memutar anak kunci kamarnya lantas menyalakan air conditioner yang segera disetelnya ke suhu 22 derajad celcius. “Sebentar aku ambil minum buat kamu, ya.” “Eh, nggak usah. Habis makan kan, kita.” “Cuma sebentar.” Vino segera berlalu dan menuju ke ruang makan. Tak peduli protes Klara. Julian masih di sana. Demikian pula Delon. Sembari mengambil dua kaleng minuman ringan miliknya serta sebotol air putih dingian dari dalam kulkas, Vino mengeluarkan pula banana roll dari dalam sana. Ia hanya sebentar melihat Siapa yang mengirimkannya lalu memindahkan sebagian ke piring kecil. Diambilnya pula dua buah gelas kosong. Delon terbatuk-batuk melihat ulahnya. “Ampun deh! Kue kiriman dari Cewek yang satu, terus disuguhkan ke Cewek yang lain,” ejek Delon. Vino meletakkan banana roll yang amsih di tempatnya ke atas meja. “Jul, ini buat Teman elo kerja.” Julian hanya mengangguk kceil. Kini Vino memasang wajah serius dan menatap Delon. “Dan Lon, tolong ya, itu mulut dijaga. Nggak usah julid. Dan nggak usah iseng sama urusan Orang lain. Mendingan bantu Julian habisin itu kue. Itu tart kalau elo mau juga silakan potong dan makan sepuasnya. Tolong jangan celetak-celetuk nggak guna, apalagi di depan Klara. Elo Cowok ngapain mulutny lebih nyinyir dari Emak-emak yang Laki-nya digondol sama Pelakor?” Delon baru akan membuka mulut, tetapi Julian menggelengkan kepala. Delon terbungkam. Vino tak mengatakan apa-apa lagi. Ia mencari-cari baki dan meletakkan minuman serta makanan di atasnya, lalu meninggalkan mereka berdua. “Ya ampun, ngapain bawa makanan segala?” tanya Klara merespons kemunculan Vino. Dia tergugah untuk bangkit dari duduk dan hendak membantu Vino. Tapi Vino menggeleng. “Masuk saja.” “Hah?” “Kita ngobrol di dalam saja yuk.” Klara langsung menggeleng tegas. “Enggak mau ah. Di sini saja,” tolak Klara. “Panas di sini. Enggak nyaman. Mau aku buka pntu kamarnya juga hawa dingin dari air conditioner di kamar nggak bakalan sampai ke sini,” alasan Vino. Klara tak menanggapi. “Ayolah, Klara. Kamarku enggak sejorok yang kamu bayangkan kok.” “Apa sih! Kan nggak enak sama Teman-temanmu. Apalagi yang namanya Delon. Kamu dengar sendiri tadi dia bilang apa.” “Dia memang biasa resek urusan Orang. Nggak usah didengarkan.” “Tapi aku juga nggak nyaman. Sudah, kita di sini saja.” * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN