Pada Momen Itu... (3)

1520 Kata
Maksudnya apa? Kamu pikir senyum kamu itu manis, apa? Dan kamu pikir aku menikmati senyuman kamu? Huh! Gede rasa sekali! Maki Klara dalam hati. Pun begitu, Gadis ini sungguh-sungguh mendengarkan teguran hatinya, “Bersikap yang sopan Klara. Betapa pun menyebalkannya Seseorang, tetap saja sekarang posisinya adalah Tamu. Dan jangan lupa,  Ibunya Cowok menyebalkan ini adalah Teman baik dari Mamamu. Ibunya juga kelihatannya baik. Sudah, fokus ke yang itu saja.” Tiada pilihan lain bagi Klara kecuali dia harus berusaha menekan rasa tak sukanya dan berjuang setengah mati melenturkan sejumlah otot di sekitar bibirnya agar bibirnya tetap dalam keadaan melengkung, juga supaya wajahnya tidak merengut, apalagi sekarang dia baru saja mengurai jabatan tangannya dengan Bu Virny. Dia merasa terdistraksi dan agak mati gaya ketika Bu Virny mengelus pipinya sekilas. “Kamu itu benar-benar lovable. Dari pertama melihat fotomu saja Tante sudah merasa sayang sama kamu, apalagi sekarang pas ketemu begini. Tambah sayang,” ungkap Bu Virny lancar. Klara tak dapat membantah betapa hatinya sempat tersentuh. Dia kagum dengan keterusterangan Bu Virny meski belum tahu ada 'kisah apa' di balik pernyataan Bu Virny kepadanya barusan. “Terima kasih Tante Virny. Tante baik sekali. Saya biasa saja, kok. Kalau Kakak saya, banyak yang bilang dia cantik.” Rasanya Klara memang tidak mempunyai stok kata lain dari pada yang ia lontarkan barusan. Pernyataan yang spontan. Apa boleh buat. Sebab pernyataan Bu Virny juga sangat jauh dari perkiraannya. “Enggak kok Sayang. Kalian berdua sama-sama cantik. Dan memang kamu itu lebih cantik aslinya ketimbang di fotonya,” tegas Bu Virny lagi. Klara tertawa kecil. Andai saja yang bicara barusan adalah Teman sebayanya, tentunya dia tak ragu untuk menyahut dengan candaan, “Nah itu dia Tante. Bisa dibilang itu nilai minus buat saya. Saya nggak fotogenic. Dari kamera ponsel sampai kamera dlsr, semuanya jahat sama saya. Mereka berkolusi mau menjatuhkan saya. Memberikan tampilan yang jelek dan tidak sesuai dengan aslinya.” Tetapi mengingat yang tengah dia hadapi adalah Sosok yang lebih tua darinya, baru pertama bertemu pula, dan terutama, karena ada Orang menyebalkan di sebelah Sosok itu yang seperti mengawasi setiap gerak-geriknya, dengan sadar Klara menelan candaan yang terlintas di pikirannya itu dan menyimpannya untuk dirinya sendiri saja. Bu Virny lantas memalingkan wajah ke sebelahnya. Saat itulah dia tersadar Sang Anak melakukan kekeliruan. Disikutnya dengan pelan lengan Randy. “Apa, Ma?” tanya Randy setengah berbisik. “Kaca mata kamu. Lepas itu!” Bisikan Bu Virny terdengar oleh Klara yang hampir saja teersenyum penuh kemenangan. Rasain! Kata Klara dalam hati. “Oh.” Itu saja yang terucap dari mulut randy. Dia bergegas melepas kaca matanya dan menyelipkannya di kemejanya, tepat segaris dengan deretan kancing bajunya. Tidak terucap kata lainnya dari mulutnya. Saat itu pula tak sengaja Klara kembali menaksir dan menilai. Penampilan super duper jadul! Padahal kelihatannya umurnya belum terlalu tua. Kan umurnya Tante Virny itu kelihatannya nggak berbeda jauh sama Mama. Aku rasa juga semestinya Anaknya paling tua juga seumuran sama Kak Irene. Atau mungkin lebih muda? Bisa jadi. Iya sih dia pakai pakaian kerja. Tapi kan kerjanya di restaurant, ya masa seformal itu pakaiannya. Hih! Enggak banget! Dan apa kata Para Tante di dalam tadi? Guantenggg? Ups, yang model begini banyak. Model jadul, maksudku. Masa Pengusaha Kuliner kok penampilannya seperti Kutu Buku begini? Aduh, sakit nih mataku. Dia salah tuh pakai kaca mata hitam tadi, harusnya pakai kaca mata minus yang super tebal, baru matching. Ha ha ha, batin Klara meremehkan. “Kenalan dulu, sama Klara, Anaknya Tante Ellen,” suruh Bu Virny. Randy mengulurkan tangan dan menyapa, “Hallo. Randy.” “Hai. Klara.” “Klara Sayang, Randy ini yang paling parah kalau menghabiskan bolu singkong kamu. Padahal Tante sudah sengaja untuk menyembunyikan beberapa potongan terakhir buat Tante sendiri. Biar aman. Tapi tetap, kalau Tante meleng sedikit, hilang itu jatahnya Tante,” kata Bu Virny. Mendadak ada semburat merah yang mewarnai leher Randy, naik ke dagu dan akhirnya ke wajahnya, lalu seolah berkumpul di sana. Klara yang memergoki hal itu hampir tertawa terpingkal-pingkal. Rasanya seperti mendapati Seseorang yang pernah mengejeknya, 'dikuliti' di depannya. Puas level tiga! Dia sampai tak sadar, ada gerakan halus di sudut bibirnya. Randy mengerling kejam kepadanya, lalu menyenggol lengan Sang Mama yang dianggapnya baru saja ‘menyebarkan aib’ dan terlalu melebih-lebihkan. Bu Ellen yang memergoki hal itu, tersenyum. “Tenang saja Randy, hari ini Klara bikin banyak kok. Nanti yang satu loyang boleh deh buat dibawa pulang sama Randy. Biar nggak berebut sama Mama, kan? Kalau Bu Virny kan kali ini mau mengalah, ya?” ucap Bu Ellen menggoda. Randy tampak salah tingkah. Sementara Klara terlihat menekan rasa sebalnya. Apa hak dia mengerling kejam ke aku? Ini rumah Orang tuaku. Aku berhak lho mengusir Tamu yang kurang ajar sepertimu. Yang mengolok kamu kan Mamamu sendiri. Kenapa jadi sewotnya ke aku? Pikir Klara dalam jengkel. Dia tak tahu saja, walau diam dan tak berkomentar, Bu Ellen mencermati raut wajahnya dari detik ke detik. “Waaaah! Kelihatannya kode alam nih. Klara sengaja buat banyak. Randy jadi bisa makan sepuasnya. Jangan-jangan memang mereka berjodoh,” komentar Bu Virny. Klara merasa bagai ada petir yang menyambarnya mendengar hal itu. Dia benar-benar terguncang. Gerakan refleksnya adalah mengecek apakah rambutnya sudah berdiri semua dengan cara mengelusnya sekilas. “Ayo, kita masuk saja. Yang lain sudah menunggu soalnya. Mari Bu Virny, kita ke ruang tamu. Klara, kamu temani Randy mengobrol di taman belakang atau teras samping, ya. Biar lebih enak ngobrolnya. Kalian berdua kan Anak muda, mana mau berlama-lama mengobrol dengan kami-kami yang sudah tua ini. Pasti nanti merasa obrolan kamu nggak asyik,” kata Bu Ellen kemudian. “Hah?” Tanpa dikomando, baik Klara maupun Randy sama-sama menyuarakan keterkejutan mereka. Kompak. Dalam tempo yang sama. Bu Virny dan Bu Ellen tertawa bersama. “Wah! Pertanda lagi. Kalian berdua itu benar-benar deh, satu hati kelihatannya.” Telinga Klara terasa panas mendengar ucapan Bu Virny ini. “Sudah Randy, sana, sama Klara. Biar kalian asyik ngobrolnya.” “Ma..!!” Selagi Klara mengucap kata yang bernada memelas kepada Sang Mama dan seolah meminta dirinya ‘dibebaskan’ dari kewajiban yang tahu-tahu dibebankan kepadanya tanpa boleh dibantah, secara tak diduga Randy juga menyuarakannya, tetapi dengan nada protes yang lebih kentara. Lagi-lagi bersamaan waktunya. Klara sampai megnerling keji. Kamu pikir aku suka disuruh mengobrol sama kamu apa? Huh! Ayo, lebih kencang protesnya. Buat alasan yang tepat supaya kamu dibolehkan segera pergi dari sini! Bilang kamu lagi dikejar Debt Collector juga boleh. Ayo, kita harus bekerja sama agar terhindar dari persekongkolan jahat ini, batin Klara. “Ha ha ha...” Kali ini baik Bu Virny maupun Bu Ellen benar-benar tertawa lepas dan saling berpandangan. Bu Virny bahkan dengan akrab merangkul Bu Ellen. “Sudah ah. Kita tinggalkan mereka berdua. Terserah mau apa. Kita jangan ganggu mereka. Bahasa Orang tua pasti beda sama gaya Anak Muda.” “Ma, tapi aku kan...” Perkataan Randy terputus. Bu Virny tampak tak peduli. “Ran, jangan khawatir, Papa tadi bilang kok, rapatnya tetap berjalan tanpa kamu. Malahan Mama dengar-dengar dimajukan jamnya. Oh, sudah lima belas menit yang lalu dimulanyai,” kata Bu Virny sambil menatap arlojinya. Randy menatap dengan tatapan putus asa. Tetiba Randy merasa dirinya sudah dijebak. “Jadi percuma kalau kamu ke sana juga mungkin rapatnya sudah selesai. Dan itu artinya kamu harus menunggu sampai Mama selesai arisannya, ya. Nanti kita pulang sama-sama. Jadi kamu nggak usah bolak-balik. Habis waktu di jalan nanti,” sambung Bu Virny. Randy tersenyum kecut. Merasa sudah tak ada gunanya lagi mengatakan apa pun pada Sang Mama. Sedangkan Klara menatap kesal pada Sang Mama. “Mama apa-apaan sih!” Dumal Klara. “Ayo Ra, tadi Mbak Nina sudah Mama pesankan untuk menyiapkan irisan bolu singkong khusus untuk Randy. Kamu tinggal bawa ke teras samping atau taman belakang. Nah, bertindaklah sebagai Tuan Rumah yang baik. Terus jangan lupa siapkan yang satu loyang untuk dibawa pulang sama Randy nanti, ya.” Menyadari dirinya sudah tak dapat menghindar lagi, rasanya Klara ingin menjerit sekeras mungkin. “Randy juga jadi Tamu yang sopan, ya,” tambah Bu Virny diiringi dengan wajah yang semringah. Sambil berkata begitu, Bu Virny dan Bu Ellen melangkah masuk meninggalkan Dua Anak Muda tersebut. Baik Klara maupun Randy merasa sama-sama masuk ke dalam perangkap. Sial. Mama terlalu! Ini benar-benar merendahkan aku. Berlebihan sekali Mama mengatakan soal bolu singkongnya. Ini Cewek kan jadi besar kepala jadinya. Padahal bisa jadi, itu satu-satunya yang bisa dia buat. Jangan-jangan selain bolu singkong, yang bisa dia masak hanya air saja,, saking keasyikan cari uang melulu, pikir Randy sinis. Sementara Klara yang merasa bebannya sebagai Sang Empunya Rumah yang harus ramah terhadap Tamu, merasa dirinya tertindas. Dan yang meindas adalah Duo Ibu-Ibu, Mamanya, dan Bu Virny! Mengerikan. Ini benar-benar perjodohan berkedok arisan. Tante Virny dan Mama kok tega sekali sama kami sih!  Eh, enggak. Sorry saja pakai kata kami. Kami, ogah deh! Aku ya aku, dia yang dia. Masing-masing saja. Cih! Lagi pula aku nggak sudi! Jelas, aku di sini yang jadi Korbannya. Dia mah, kelihatannya pura-pura nggak suka. Siapa yang tahu kalau ternyata dia yang merengek merayu Mamanya minta dipertemukan denganku, batin Klara tak kalah sinis. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN