Note: Akhirnya berlanjut juga ini cerita. Serius sudah terlalu lama tersimpan di lemari, aku jujur udah lupa alurnya bagaimana. Yang udah mulai baca dari w*****d trus pindah ke sini, dan masih setia menanti terima kasih banyak ya. Kalian is the best!
Yang baru mulai baca, jangan lupa tap Love ungu nya biar masuk perpus dan tidak ngilang ceritanya. Oke lanjutt…
=====
Cuplikan eps 10
Kedua prajurit yang berjaga di pintu membungkukkan badannya sebelum meraih gagang pintu dan menariknya terbuka. Suara keramaian yang tadi terdengar samar kini langsung menggema di telinga Ossena, membuatnya makin merapatkan tubuhnya di sebelah Ansel.
Seorang pria berjubah panjang yang berdiri di sisi pintu, melirik sekilas ke arah Ansel dan Ossena sebelum kemudian berdehem dan meneriakkan nama keduanya ke seisi ruangan.
“PANGLIMA ANSEL RENARD DAN NONA OSSENA!”
=====
Ruangan yang tadinya riuh, mendadak hening. Semua orang yang ada di dalam ruangan mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah pintu, membuat Ossena semakin mengeratkan cengkeraman tangannya pada lengan Ansel.
Ansel yang bisa merasakan ketegangan Ossena, meraih pundak gadis itu dan membawanya ke dalam dekapan lengan kanannya.
Merasa terlindungi di dalam pelukan Ansel, Ossena mulai mengangkat wajahnya untuk mengamati sekeliling ruangan. Meja-meja panjang tersusun mengotak mengelilingi ke empat sisi ruangan.
Selain Sang Raja, Gregory Kane, yang sisi terjauh dari pintu, Ossena mengenali Ishmenia. Wanita itu mengenakan gaun berwarna merah yang senada dengan rambutnya dan duduk bersebelahan dengan Gregory.
Gregory mengangkat tangannya dan melambaikannya ke arah Ossena dan Ansel sambil berseru, “Ah… Bintang acara malam ini. Kemarilah, duduklah di sisi kanan ku, Anakku!”
Ishmenia berdiri dan menggeser duduknya, memberikan dua kursi kosong untuk Ansel dan Ossena.
Kini ruangan kembali dipenuhi oleh suara gemuruh orang yang berbisik-bisik sambil menunjuk ke arah Ossena, membuat gadis itu kembali menunduk dan menyusupkan wajahnya ke dalam d**a Ansel.
“Jangan takut , O. Aku di sini,” bisik Ansel.
Pria itu menuntun Ossena ke tempat duduk yang sudah di sediakan di sebelah Gregory. Begitu keduanya duduk, Sang Raja berdiri dan mengangkat gelasnya ke atas, membuat seisi ruangan menjadi sunyi. Ia berdehem sebelum kemudian bersuara, “Mari kita bersulang untuk hari ulang tahun Peri kecil kita yang akan menghantarkan Illia untuk menjadi penguasa Dataran Hijau! Untuk Ossena dan kejayaan Kerajaan Illia!” teriaknya.
“Ossena dan Illia!” ulang seisi ruangan sambil mengangkat gelasnya.
“Sekarang, marilah kita berpesta! Keluarkan makanan dan minuman!” perintah Gregory yang langsung diikuti oleh sorak sorai seisi ruangan.
Deretan pelayan dengan membawa nampan-nampan makanan muncul dari belakang. Mengantarkan berbagai macam lauk dan daging kepada para tamu undangan.
Munculnya jamuan langsung mengalihkan perhatian para tamu undangan yang kebanyakan adalah para petinggi Kerajaan Illia dan keluarga mereka. Tamu-tamu dengan pakaian terbaik dan aksesoris terbaru, semuanya langsung menyerbu hidangan yang diletakkan dihadapan mereka, benar-benar beraneka ragam dan melimpah.
Sangat bertolak belakang dengan keadaan di lorong pasar kemarin, pikir Ossena mengamati orang-orang itu.
“Ansel…,” bisik Ossena menarik lengan baju Ansel.
Pria itu mendekatkan wajahnya ke arah Ossena. “Hm? Kenapa, O?” tanyanya berbisik.
“Kukira Yang Mulia akan memperkenalkanku dengan mengundang rakyat Illia…” bisik Ossena pelan ke telinga Ansel. “Kau tahu…, orang-orang yang kita lihat kemarin di lorong kota. Pengemis dan anak terlantar. Bukankah mereka lebih membutuhkan makanan ini daripada orang-orang ini.”
Ansel melirik ke wajah Ossena yang berjarak sangat dekat dengan mukanya. Hembusan hangat nafas gadis itu terasa di pipinya, membawa semerbak bau manis yang selalu mengikuti kemanapun ia pergi, dan kini membuat wajah Ansel mamanas.
“Uh… Yang Mulia bisa kerepotan jika harus mengundang seluruh rakyat Illia, O. Tapi orang-orang ini adalah pejabat dan pengawal negara, kurasa mereka sudah cukup mewakili rakyat Illia,” jawab Ansel
Ossena tidak menjawab dan kembali mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Seorang pria bertubuh gempal dengan baju mirip dengan yang di pakai Ansel terlihat dengan rakusnya meraup makanan dari atas piring dengan tangan dan menjejalkannya ke dalam mulut, mencecerkan sebagian keatas lantai.
“Panglima Renard, bolehkah aku bertukar tempat duduk denganmu?” bisik Ishmenia ke arah Ansel.
Pria itu mengangguk dan berdiri, menyerahkan tempat duduknya kepada Ishmenia yang langsung menggeserkan tubuhnya ke sisi Ossena.
“Halo, Ossena…” sapa Ishmenia.
Ossena menoleh dan tersenyum ke arah Ishmenia, “Senang bertemu dengan wajah yang familiar, Shme.”
“Bagaimana kabarmu? Maafkan aku belum sempat menjengukmu ke Menara Hitam. Bagaimana Irukandji?”
“Irukandji?” tanya Ossena. Pertanyaan Ishmenia mengingatkan Ossena akan pembicaraannya dengan Irukandji sebelum berangkat. Gadis itu pun memutuskan untuk menanyakannya pada Ishmenia.
“Kami baik-baik saja. Uhm… sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan padamu, Shme… Tahukah kamu apa yang terjadi pada Pedang Bintang milik Irukandji dan buku jurnalnya?”
“Oh…,” seru Ishmenia berusaha menyembunyikan kekagetannya. “Raja Gregory menyimpan Pedang Irukandji. Tapi buku harian Irukandji… aku tidak tahu dimana.”
Ossena menatap mata Ishmenia dengan dahi berkerut. Walau tanpa menyentuh kulit wanita itu, ia bisa merasakan kebohongan di nada suara Ishmenia.
Ishmenia menelan ludah melihat tatapan tajam mata Ossena.
“Tapi jangan khawatir,”lanjut Ishmenia gelagapan. “Yang Mulia berniat mengembalikan Pedang Bintang kepada Irukandji.”
“Benarkah?” tanya Ossena.
“Tentu saja, ia memerlukannya dalam peperangan. Asal kau pastikan ia tidak akan lepas kendali.”
Ossena mengangguk bersemangat.
“Tentu saja. Tapi… Sayang sekali buku hariannya menghilang, Shme. Padahal jika aku bisa menemukan buku itu dan mengembalikan ingatan Irukandji, mungkin aku bisa lebih memahami jalan pikirannya. Ia merindukan seseorang, Shme. Seseorang yang penting tapi tidak bisa diingatnya.”
Ishmenia mengembangkan sebuah senyuman tipis yang canggung, sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Ansel dan menemukan cara mengalihkan perhatian Ossena dari buku harian Irukandji.
“Bicara tentang orang penting, bagaimana menurutmu jika Ansel bersanding dengan Tilda?”
Pertanyaan Ishmenia dan suara gelak tawa seorang wanita yang meringkik membuat Ossena mengalihkan perhatiannya. Ossena melirik sekilas ke arah Ansel yang kini duduk diantara Ishmenia dan seorang gadis muda yang sepertinya seumuran dengan nya.
Sementara Ossena di paksa memakai pakaian yang terba tertutup hingga ke wajah, Tilda mengenakan gaun dengan bahu terbuka. Gadis itu terlihat penuh percaya diri menceritakan sesuatu kepada Ansel sambil memainkan rambutnya yang ikal. Sesekali tangan gadis itu bergerak naik dan turun mengelus lehernya sendiri yang terlihat jenjang.
“Siapa dia, Shme?” tanya Ossena. Matanya masih terus memandang ke arah perempuan yang kini kembali tertawa sambil mengusap bahu Ansel.
Ishmenia tersenyum dalam hati karena taktiknya mengalihkan perhatian Ossena sepertinya berhasil.
“Oh… itu Tilda, anak salah satu panglima perang Illia, Hugon,”jawab Ishmenia sambil menoleh kembali ke arah Ossena.
“Dia… cantik…,” gumam Ossena pelan sambil memiringkan kepalanya melihat bagaimana Tilda kini menggenggam tangan Ansel yang sedang bercerita dan menatap serius ke wajah pria itu.
Benak Ossena sibuk membayangkan betapa beruntungnya Tilda, bisa dengan bebas menyentuh kulit seseorang. Berbeda dengan dirinya yang tidak pernah merasakan kelembutan dan kehangatan dari tubuh orang lain. Sesuatu yang berat mendadak muncul, menindih d**a Ossena membuatnya mengerutkan dahinya.
Perasaan apa ini?, pikirnya bingung.
Ishmenia melirik kembali ke arah Ansel sebelum mengembalikan lagi tatapannya ke arah Ossena. Sebuah senyuman kini terpampang di wajah wanita itu.
“Kau mencintainya hm? Ansel?” bisik Ishmenia sambil menjorokkan tubuhnya ke arah Ossena.
Ossena mengalihkan perhatiannya kembali ke Ishmenia.
“Cinta?”
Ishmenia tertawa kecil. “Tidak perlu malu Ossena. Wajar saja jika kau mencintainya. Ansel adalah pemuda tampan, masih muda, kesayangan Raja Gregory yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Masa depannya cerah di Illia. Apakah kau bermimpi untuk menikahinya?”
“Menikah?” tanya Ossena makin tidak paham. Tidak ada satupun dari kata-kata Ishmenia yang ia mengerti. Cinta, menikah, masa depan?
“Hm… bisa kulihat kau masih bingung. Gadis seusiamu sudah sewajarnya untuk mulai memikirkan pernikahan. Seperti Tilda contohnya. Kau lihat bagaimana ia berusaha menarik perhatian Ansel? Sepertinya gadis itu memiliki rencana untuk menjadi istri Panglima Renard.”
“Apa? Istri?”
“Uh-hm… Ingatkah kau akan dongeng yang sering kuceritakan ketika kau kecil, Ossena? Tentang putri dan pangeran?”
Ossena mengangguk. Dongeng favoritnya adalah tentang seorang gadis petani biasa yang jatuh cinta pada pangeran tampan pewaris tahta kerajaan. Sang pangeran rupanya membalas cinta si gadis petani, namun perbedaan status, menjadi penghalang bagi keduanya untuk bersatu. Ingin memiliki menantu dari kalangan bangsawan, ayah Sang Pangeran justru menjodohkan anaknya pada seorang putri dari kerajaan tetangga.
Ia memberi ultimatum kepada Sang Pangeran untuk menuruti perintah atau keluar dari istananya. Karena cintanya pada gaid petani, Sang Pangeran memutuskan untuk melepaskan tahtanya dan hidup sebagai rakyat jelata agar bisa selalu bersama dengan gadis pujaannya.
“Oh…” seru Ossenna mulai paham akan konsep pernikahan.
Rasa berat itu kembali minindih d**a Ossena membayangkan Ansel akan hidup bersama dengan gadis lain. Selama ini, bahkan dalam mimpinya, Ansel adalah temannya. Satu-satunya orang yang memahami perasaannya tanpa ia harus menyentuhkan kulitnya. Bahkan kadang tanpa ucapan, Ansel sering bisa menebak, apa yang ada dalam pikirannya.
Dengan adanya Irukandji pun, perasaan Ossena pada Ansel tidak berubah.
Ia tidak mampu membayangkan kehidupan tanpa Ansel. Betapa sepinya dirinya. Betapa sendirinya. Karenanya tanpa sadar Ossena berharap, selamanya, pria itu ada sebagai temannya.
“Orang yang jatuh cinta akan menikah dan selamanya hidup bersama-sama…,” gumam Ossena pada dirinya sendiri. Ia lalu menoleh ke arah Ishmenia, “Apakah itu artinya Ansel akan menikahi Tilda?”
“Entahlah…,” jawab Ishmenia. “Ansel tidak memiliki orang tua yang bisa mengatur masalah semacam ini, jadi keputusan ada di tangan Ansel. Tapi menurutku mengambil anak Panglima Hugon sebagai istri adalah hal yang strategis untuk Ansel. Hugon memimpin pasukan pemanah Illia dan pria itu secara terang-terangan tidak menyukai Ansel. Ia akan selalu menjadi penantang terbesar bagi Ansel dikerajaan. Dengan menikahi anaknya, maka mau tidak mau Ansel akan mendapatkan dukungan Hugon, misalnya kelak Raja Gregory mengangkat Ansel sebagai penerus tahtanya.”
Ossena menundukkan wajahnya. Ia tidak yakin ia memahami penjelasan Ishmenia, tapi dalam benaknya ia berjanji. Jika memang menikahi Tilda adalah hal yang menguntungkan untuk Ansel, maka Ossena akan melakukan apapun untuk menjadikannya kenyataan.
Pesta berlangsung hingga larut malam. Jamuan makanan terus mengalir tidak berhenti, dan tingkah laku kebanyakan orang yang hadir sudah mulai semakin tidak teratur.
Ossena menenggak sedikit minuman berwarna merah yang disajikan dihadapannya dan tampaknya dinikmati oleh semua tamu yang hadir walaupun terasa asam di lidah. Namun ketika cairan itu melewati tenggorokannya muncul rasa hangat di dadanya, diikuti dengan rasa ringan di kepalanya yang membuatnya merasa bahagia.
Ishmenia menyebutnya sebagai anggur, tapi apa yang dirasakannya jauh dari rasa buah anggur yang sering dimakannya.
Suara cekikikan dari Tilda kembali mengalihkan perhatian Ossena, gadis itu tampaknya begitu menikmati minuman masam yang ada di tangannya. Gelas Ansel lah yang satu-satunya masih terlihat penuh dan belum tersentuh.
Mendadak Ansel menoleh menatap Ossena dan seketika gadis itu bisa merasakan pipinya yang terbakar.
Ansel mengerutkan keningnya menatap gelas di tangan Ossena. Ia lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Ishmenia dan membisikkan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Ossena.
“Aku setuju.” Terdengar jawaban dari Ishmenia sambil menoleh ke arah Ossena. “Antarkan ia kembali ke Menara Hitam. Malam sudah semakin larut, dan besok kita akan mengadakan rapat. Akan kumintakan ijin kepada Yang Mulia.”
Ishmenia berdiri lalu membisikkan sesuatu ke telinga Gregory yang membuat pria itu mengangguk tidak acuh sebelum kembali membalikkan badan dan meneruskan obrolannya.
Usai mendapatkan ijin, Ishmenia menghampiri Ossena.
“Ansel akan mengantarmu pulang, Ossena. Istirahatlah… Besok kita akan mengadakan pertemuan untuk membahas rencana penyerangan Eelry.”
Ansel berdiri dan hendak beranjak menghampiri Ossena, ketika tangan Tilda mendadak menarik lengannya ke bawah.
“Eh Panglima sudah mau pergi?” tanya gadis itu dengan wajah pura-pura cemberut.
Ansel tersenyum sopan ke arah Tilda.
“Maafkan saya, Nona Tilda, tapi saya masih harus menghantarkan Nona Ossena kembali ke Menara Hitam. Selamat malam,” pamit pria itu sambil menarik tangannya yang masih di genggam oleh Tilda dan tanpa menoleh balik, berjalan menghampiri Ossena.
“Ayo, Nona Ossena,” ajaknya sambil menjulurkan tangan ke arah Ossena yang langsung meraih tangan Ansel dan berlalu keluar dari ruang perjamuan.
Ansel mengiringi kereta kuda Ossena hingga pintu Menara dan membantunya turun sebelum kemudian berpamitan.
“Aku akan kembali besok pagi, untuk menjemputmu dan Irukandji. Selamat malam, Ossena.”
“Eh tunggu…” seru Ossena menahan lengan Ansel.
“Ya?” tanya Ansel sambil menoleh kembali ke arah Ossena.
Ada yang mengganggu pikiran Ossena dari tadi dan ingin ditanyakannya pada Ansel.
“Uhm… Apakah kau berniat menikahi Tilda?” tanya Ossena.
“Hah? Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
“Ishmenia mengatakan bahwa menikahi Tilda adalah pikiran strategis untuk masa depanmu di Illia. Ayah Tilda adalah penentang terbesarmu bukan?”
Ansel tertawa mendengar ucapan Ossena.
“Aku tidak berniat menikahi siapapun, O.”
“Mengapa? Bukankah normal untuk manusia yang saling mencintai menikah?”
“Ya… tapi aku tidak mencintai Tilda.”
“Oh…” Ossena termenung mendengar jawaban Ansel. Ada perasaan lega mengalir di dadanya, mengangkat beban berat yang daritadi menghimpit. Ia lalu melanjutkan, “Apakah kau mencintai seseorang?”
Ansel terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Ya…”
“Apakah kau akan menikahinya?”
“Uhm… Entahlah….” Ansel kemudian tersenyum. “Mungkin… jika kita akhirnya hidup di dunia yang lebih baik… Dunia yang lebih damai… Maka mungkin aku akan mempunyai kesempatan untuk menikahinya. Karena harapanku hanya satu, O, sebuah dunia yang damai. Tidak terpisah-pisah seperti sekarang. Dataran Hijau yang bersatu di bawah kekuasaan Illia.”
Ossena manatap wajah Ansel yang terlihat bersungguh-sungguh. Semangat yang muncul dari mata Ansel membuatnya ikut terbakar.
“Baiklah, aku akan membantumu mencapai harapanmu. Dan mungkin setelah itu kau akhirnya jugabisa menikahi wanita yang kau cintai.”
“Setuju,” jawabnya sambil tersenyum. Matanya menatap ke arah Ossena yang tidak sadar bahwa dirinya lah yang dimaksudkan oleh pria itu dari tadi.