Esoknya berlanjut seperti biasa di Hakuseki Gakuen. Tak ada yang habis kehilangan nyawa mereka di sana. Tak ada yang kehilangan hidup bahagia karena berita mengerikan tentang orang-orang yang pergi tak jelas alasan. Meski begitu kematian terus berlanjut di luar sana. Entah tua. Entah muda. Mereka yang pantas pergi dari dunia ini ya berarti memang harus pergi dari dunia ini. Berdasarkan kalkulasi serius sang pemutus tak akan ada kematian yang salah. Mereka memang manusia yang menjadi bahan ujian untuk kematian yang lebih ideal di masa depan.
Tapi, justru itulah yang membuat pemuda berusia lime belas tahun dengan warna rambut pirang itu gelisah. Sepanjang ucapan guru tak ada yang memasuki pikirannya. Ia hanya memikirkan hidupnya. Akankah ia mati dengan cara yang mengerikan seperti keempat orang itu?
Hingga sampailah pada waktu istirahat. Terlintas di pikirannya. Jika pun benar Ryukamine Ao merupakan seorang Rieki-Shinmei: ia pasti membunuh keempat orang itu karena marah setelah kejadian tempo hari. Tanpa memikirkan harga dirinya lagi. Dengan tatapan kosong ia berlari sekuat tenaga menuju kelas Ao. Keringat menetes dari tubuhnya melebihi yang seharusnya ia keluarkan.
Dari batas pintu ia melihat Ao sendirian di bangku. Tanpa Shuuya. Tanpa seorang pun yang akan melindunginya.
“Ryukamine san!” panggilnya. Ia berlari menghampiri Ao. Dan bersimpuh di kakinya.
“Wi, William kun? Ada apa?” tanya Ao lembut sedikit gugup. Suaranya memang selalu lembut bagaimana pun nada bicara yang ia gunakan.
William mengangkat wajah. Sekelas melihat keduanya aneh. “Ampuni aku…”
Ao tersenyum. “Apa soal masalah yang kemarin itu? Tidak usah dipikirkan. Aku tidak kenapa-napa juga, kok.”
“Ta, tapi mereka mati,” ucap anak itu.
Ao membalas, “Mungkin memang sudah takdir. Kau tidak perlu khawatir.”
Ucapan Ao yang tulus mengembalikan kepercayaan diri William. Ia memeluk kaki Ao.“Terima kasih Ryukamine San.”
Tindakannya barang tentu mengundang reaksi aneh dari seisi kelas. Seluruh anak di Hakuseki tahu siapa “si aneh Ao”.
Ao membelai punggung William dan meminta ia menghentikan semua itu. William merasa begitu damai setelah memohon maaf. Sejak saat itu ia bersumpah akan melindungi Ao apa pun yang terjadi.
Dalam perjalanan menuju kelas tiba-tiba langkanya dihentikan oleh seseorang yang tengah menyender santai di depan jendela suatu kelas.
“Ia tidak benar-benar memaafkanmu. Kau akan mati.”
“E, Erick san?”
“Kau pikir dia dewa? Setelah disakiti seperti itu bisa memaafkan begitu mudah. Itu sama sekali tidak masuk akal. Tidakkah kau berpikir dia hanya memperalatmu? Kau akan mati sama mengenaskannya seperti empat orang itu jika tidak memutuskan,” Pemuda berambut pirang yang lain berjalan melewatinya. Erick menyentuh pundak William dan berkata tepat di depan daun telinganya, “kematianmu sendiri.”
Kehangatan yang baru saja diterimanya sirna. Musnah.
Sepulang sekolah Shuuya dan Kana masih hilir mudik di depan gedung sekolah mereka yang besar. Perjalanan ke tempat ini tak begitu berarti untuk Kana. Ia hanya mengikuti Shuuya. Shuuya. Rieki Shinmei yang ingin memastikan bagaimana takdir yang telah dibuatnya sebagai calon dewa berkerja. Kematian anak kecil pengganggu bernama William Rhen dengan cara bunuh diri melompat dari atap gedung.
“Hei, coba kalian lihat hal itu!”
Tiba-tiba tempat mereka berdiri dipenuhi oleh anak-anak lain. Melihat seorang anak kelas satu dari kelas Internasional berdiri di tepian atap. Siap menjatuhkan dirinya.
Aku tidak mau mati dengan cara menyakitkan begitu. Aku akan menciptakan kematianku sendiri. Tak akan ada yang bisa membunuhku.
William Rhen. Pemuda itu memejamkan matanya sementara orang-orang di bawah baru saja tersadar untuk meminta bala bantuan. Shuuya tersenyum puas. Orang yang menyakiti Ao… tak ada yang boleh hidup. Setelah ini pun ia pastikan semua anak di Hakuseki yang pernah menyakiti Ao akan mati juga.
Tapi, apa yang terjadi? Seseorang bergerak lebih cepat dari niat bunuh diri William. Dicengkeram tubuhnya dan ditarik menjauh dari tepian atap. Shuuya terbelalak. Tidak ada yang mungkin bisa mencegah kematian William. Tapi, mengapa? Ini mustahil.
Beberapa saat kemudian di atas atap.
“Le, Lepaskan aku,” ronta William sekuat tenaga.
Pemuda itu malah memeluk lebih erat tubuh William. Tubuh keduanya terjatuh dalam posisi William menindihi tubuh si penyelamat. Seorang manusia yang bisa-bisanya mengecoh takdir yang telah ditentukan oleh seorang utusan Tuhan.
“Bodoh! Apa yang ingin kau lakukan?”
“Ryu, Ryukamine San? Aku akan tetap mati. Tak ada artinya lagi hidupku ini. Aku telah melakukan dosa yang tak terampuni dengan membayar puluhan preman untuk menghajarmu setiap hari. Aku sangat membencimu! Mengapa kau menyelamatkanku?” tanya William.
“Karena aku telah memaafkanmu. Tak ada yang perlu disesali lagi. Jika kau mati berarti kau membiarkan Rieki-Shinmei itu menang. Aku mohon, jangan sampai kehilangan nyawa sendiri karena hidup benar-benar berharga.”
Shuuya dari bawah mengetahui dengan jelas siluet orang yang menyelamatkan William. Kedua tungkainya lemas seketika. Bukan hanya Shuuya. Namun, Erick yang juga menyaksikan dari kejauhan. Tubuhnya tak dapat bergerak. Yang diputuskan oleh Shuuya adalah takdir. Tak ada yang bisa melawan takdir. Bahkan oleh pembuat takdir yang lainnya.
“Shuuya san, ada apa denganmu?”
Kedua matanya terbelalak. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh.
“Tapi, aku harus tetap mati untuk menebus kesalahan yang telah aku lakukan padamu.”
“Kau hanya bisa melakukannya jika tetap hidup. Yang jelas sekarang kau tidak boleh mati.”
“Ryukamine san?”
Tak lama kemudian para guru datang dan meminta William beristirahat di ruang kesehatan. Ao tersenyum dapat mencegah kematian William. Meski begitu hatinya terlewat sedih dan bingung. Jika seperti ini benarkah Hashimoto Shuuya, sahabatnya, adalah seorang Rieki Shinmei?
Sepulang sekolah. Di kelasnya Shuuya menahan Ao.
“Ada apa?” tanya Ao.
“Kenapa kau harus menyelamatkan anak itu?” tanya Shuuya dengan raut kesal.
“Tentu saja. Aku tidak mungkin bisa membiarkan seseorang melakukan hal seperti itu,” jawab Ao berusaha selogis mungkin.
“Tapi, dia sudah menyakitimu!” balas Shuuya tidak terima.
“Tidak ada yang pernah menyakiti seorang Ryukamine Ao. Satu-satunya hal yang bisa menyakitiku adalah diriku sendiri,” balas Ao lagi, jauh lebih bijaksana. Ia tak ingin sampai punya sikap barbar yang tak seharusnya.
“Tapi… dia pantas mati, Ao kun. Lagipula itu juga keputusannya sendiri.”
“Aku punya satu pertanyaan untukmu. Dan kau harus menjawabnya dengan jujur,” pinta Ao tiba-tiba.
“Aku memang hanya melakukannya padamu.”
“Apakah kau…”
Apakah aku…
“adalah seorang Rieki Shinmei?”
merupakan seorang Rieki Shinmei?
“Hah?”
“Jawab saja!” paksa Ao.
Jawab dia.
“Bukan,” jawab Shuuya.
Iya.
Ao tersenyum. Pada kebohongan yang baru saja dilontarkan sang sahabat.
“Syukurlah. Kalau begitu mari kita pulang," ucap Shuuya tenang.
Akan ke manakah aku kembali jika semua sudah seperti ini?