Part 12 Setelah Pulih

1315 Kata
Kadang aku tidak tahu apa yang diinginkan hatiku selain berpisah dengan damai. Sesekali mengamuk misalnya, menemui perempuan itu dan menjambak rambut atau sekedar memaki. Aku justru pergi dan memberi kesempatan kepada suami untuk berkomunikasi. Ketika perempuan itu menghubungi. Ternyata aku bisa selandai ini. Aku membuat teh di dapur, Mas Ilham menyusul dan berdiri di sebelah. Sepertinya dia tidak menerima panggilan itu. "Mas masih ada pekerjaan dengannya. Setelah proyek ini selesai, Mas akan meminta pihak PT Adi Tama untuk mengirim orang lain mengurus pekerjaan dengan kami." "Ini tehnya, Mas." Aku menggeser gelas teh di hadapan Mas Ilham. Tanpa menanggapi dengan apa yang baru saja dikatakannya. Terserah. Bukan apa-apa, misalnya aku tidak mengambil sikap begini. Bisa jadi dia masih terlena dengan kebersamaan dengan perempuan itu. "Aku ke kamar dulu." Pamitku sambil membawa teh milikku. Aku masuk kamar tanpa mempedulikannya. Malam kami lalui dalam hening. Aku tidur di kamar Ibuku dan Mas Ilham tidur di kamarku. [Sudah tidur, Sayang.] Baru kali ini aku merasa geli dengan pesan yang dikirim Mas Ilham. Kubiarkan saja pesan itu. [Sudah tidur apa belum?] Sekali lagi dia mengirim pesan. Kali ini aku mengetik balasan. [Sudah.] Dia mengirim emot tawa. [Mas, ke situ ya? Atau Vi yang ke sini.] Nekat Mas Ilham ini. Aku beranjak turun dan mengunci pintu kamar Ibu. Namun, sampai larut malam aku masih juga terjaga. Sebenarnya mau ke mana hubungan ini. Berhenti, berlanjut, atau abu-abu tidak jelas. Rasa cinta, sakit hati, marah, benci, kecewa, dan entah apalagi berkecamuk dalam satu tempat, bernama hati. Jika aku memberi kesempatan, apakah semua tidak akan terulang lagi. Sementara mereka masih dalam lingkup kerja yang sama. Siapalah aku jika meminta Mas Ilham resign dan cari pekerjaan lain. Dia merintis karier itu sejak sebelum mengenalku lagi. Mulai dari karyawan biasa hingga menjadi BM. Nura, aku tidak berhak mengatur hidupnya. Dia menjadi tulang punggung keluarga. Apalagi ada seorang anak dan ibu yang butuh ditopang. 'Mas, seandainya kamu sadar sejak awal. Masih perhatian dan peduli seperti saat-saat sebelum bertemu dengan masa lalumu, aku tidak akan semarah ini. Seandainya aku percaya dengan pengakuanmu, kita bisa tetap berbaikan. Seperti yang aku lakukan sebelum aku sadar hubungan kalian sangat berbeda. Tidak seperti teman pada umumnya.' Mungkin kita masih bisa pergi berlima, renang, jalan-jalan, dan berkumpul di rumah Mama. Aku pun bisa menganggap dia seperti teman. Sayangnya, suami yang kupercaya telah berubah. Dan perempuan yang kuanggap teman telah berusaha mengambil tempatku, di hati suamiku. Rentetan pesan Mas Ilham kubiarkan tak terbaca. * * * "Masak apa?" tanya Mas Ilham yang menghampiriku di meja makan. "Enggak masak. Aku beli di warung depan tadi," jawabku sambil membuka bungkusan nasi yang ku taruh di atas piring. "Ayo, sarapan dulu, Mas!" Kugeser piring di depan Mas Ilham yang sudah duduk di kursi. "Pesan-pesan Mas kenapa tidak dibalas tadi malam?" "Aku sudah tidur," jawabku sambil berlalu ke kamar, untuk mengambil ponsel yang berdering sejak tadi. Mungkin Ibu yang menelepon. Ternyata dugaanku salah. Miya yang menghubungiku. "Halo, Miya." "Halo, Vi. Kamu sudah pulang?" "Iya, aku sudah di rumah. Maaf, belum sempat ngabari." "Enggak apa-apa. Aku cuman mastiin saja. Kemarin kan aku sudah tahu, kamu dibolehin pulang. Sekarang kamu sendirian di rumah?" "Ada Mas Ilham." "Suamimu di situ?" "Iya, sejak ngantar kemarin." "Kupikir dia pergi takziah." "Takziah? Memangnya siapa yang meninggal?" tanyaku kaget. "Pamannya si Nura meninggal habis Maghrib kemarin. Kupikir suamimu tahu. Aku tahunya dari Mas Malik. Kan sepupunya Nura itu satu kerjaan sama suamiku." "Miya, terima kasih untuk infonya." "Jangan banyak pikiran kamu, Vi. Apalagi habis keguguran gitu. Ayo, lekas pulih dan bangkit lagi. Semangat!" "Makasih, ya, Miya. Coba enggak ada kamu, aku udah kehilangan arah empat tahun yang lalu." "Sssttt, jangan ngomong kayak gitu, kita akan selalu saling menyemangati." "Iya." "Ya udah, aku tutup dulu. Ini mau belanja, mumpung tukang sayurnya baru datang." "Ya." Miya mengakhiri panggilan. Aku masih termenung di pinggir ranjang. Berarti tadi malam itu, Nura menelepon untuk memberitahu Mas Ilham kalau pamannya meninggal. Kuletakkan kembali ponsel di nakas. Aku kembali ke ruang makan. "Siapa yang telepon?" "Miya." "Ada apa?" Kupandang sejenak Mas Ilham yang menyuap nasi. Haruskah dia kuberitahu, atau aku diam saja. Jika diam, apa aku termasuk kejam? Kutarik napas dalam-dalam. "Mas." "Ya," jawab Mas Ilham sambil memandangku. "Mas, sudah tahu kabar duka?" Mas Ilham mengangguk. Aku juga mengangguk. Rupanya mereka berkomunikasi tadi malam. Ya, sudahlah. Apa aku harus marah, saat orang lain berbagi kabar duka? Aku hanya makan beberapa sendok. Lalu menyesap teh hangat. Terserah, aku tidak akan bertanya Mas Ilham pergi melayat atau tidak. Sebab orang yang meninggal sangat dekat dengan Nura. "Mau ke mana?" tanya Mas Ilham saat aku berdiri dan melangkah pergi. "Aku mau belanja di depan? Oh, ya, hari ini Ibu pulang. Kalau Mas mau pulang sekarang enggak apa-apa." Tanpa menunggu respon Mas Ilham, aku segera melangkah pergi. Menghampiri tukang sayur yang berhenti di pinggir jalan. Di sana sudah berkumpul ibu-ibu yang sedang belanja. Umi Salamah mendekatiku. Beliau pemilik masjid dan TPA tempat Syifa mengaji tiap sore. Juga ustazah yang mengajari aku mengaji dulu. "Bagaimana sekarang, sudah jauh lebih baik, bukan?" Beliau bertanya setelah aku mencium tangannya. Dan menggandengku untuk menjauh dari kerumunan ibu-ibu. "Alhamdulillah." "Alhamdulillah, Umi sedih saat Ibumu cerita waktu Umi tanya kenapa kamu pulang ke sini. Yang sabar, Vi. Jangan buru-buru mengambil keputusan bercerai. Selidiki dulu sampai kamu rasa cukup untuk mengambil keputusan. Jika telah terjadi perzinaan, sebaiknya memang ditinggal, jika kamu ndak kuat. Kalau ndak sampai sejauh itu, alangkah baiknya diperbaiki hubungan kalian. Kasihan Syifa, Nduk." Aku mengangguk saat mendengar nasehat Umi Salamah. Aku menghargainya. Beliau memang tidak tahu serumit apa permasalahan ini. Padahal hubungan Mas Ilham dan Nura seperti mengulang kisah lama, bukan karena terjebak sesaat oleh pesona wanita lain di luar rumah. Atau seperti pria lain yang sekedar bermain-main sebentar karena rumah tangga mereka berada pada titik jenuh. Mas Ilham tidak seperti itu. "Ndak ada rumah tangga tanpa ujian." "Ya, Umi." Kami berbincang hingga beberapa saat sampai para pembeli pergi satu per satu. Kemudian kami memilih belanjaan, Umi Salamah dilayani lebih dulu baru diriku. Setelah memilih sayur-sayuran dan beberapa ikan segar, Bapak tukang sayur menghitungnya. Ku sodorkan selembar uang lima puluh ribuan. Ketika hendak kembali ke rumah, ada yang memanggil. Bre dengan sepedanya berhenti tidak jauh dariku. "Kapan toko buka, Vi?" "Besok sudah buka, Mas. Mau pesan lagi?" "Iya, ada acara di sekolah. Besok saja aku mampir ke toko. Tunggu aku sepulang sekolah." "Mas Bre ini, enggak harus sama aku kan pesannya." "Kalau tidak begitu, kapan lagi bisa ngobrol sama kamu. Mana mungkin aku ngajak janjian istri orang dengan alasan suka." Bre tersenyum diakhir kalimatnya. Dia sedang memancingku untuk berkata sesuatu. "Mas ini, pandai juga ya menggoda," candaku. "Bertahun-tahun godain, tapi yang dapat orang lain." Aku tersenyum. Jadi ingat yang sudah-sudah. "Kamu kelihatan agak pucat? Sakit, ya?" "Iya. Kecapekan saja, Mas." Aku tidak memberitahu tentang keguguran itu, juga tidak akan membicarakan masalahku dengan banyak orang. Meskipun aku merasa kalau Bre ini telah tahu. Walaupun tidak secara detail. Biarlah kusimpan sendiri dulu, hingga tiba saatnya setelah semua jelas. "Jaga kesehatan. Kasihan Syifa kalau kamu sakit-sakitan." "Iya, makasih, Mas. Kutunggu orderannya." "Oke. Nanti aku datang setelah pasti berapa yang harus di pesan oleh pihak sekolah." Aku mengangguk, lantas kami berpisah. Aku pulang, Bre melanjutkan bersepeda. Sejak aku kembali ke rumah Ibu, tiap Minggu pagi Bre rajin bersepeda. Mungkin telah dilakukannya sejak lama. "Siapa pria tadi, Vi?" tanya Mas Ilham saat aku masuk rumah. "Teman sekolah." "Akrab banget kelihatannya." "Karena dia juga pelanggan toko ibu. Orderannya selalu banyak." Kumasukkan belanjaan ke dalam kulkas. Ini jatah sayuran yang akan di masak untuk karyawan besok pagi. Biasanya Budhe, saudara perempuan Ibu satu-satunya yang akan mengerjakan itu. Dia bagian masak sebelum membantu membuat kue. "Enggak usah mandang seperti itu deh, Mas. Kayak lagi nginterogasi istri yang ketahuan selingkuh saja," sindirku sambil memandangnya sekilas. "Tentu saja Mas khawatir, apalagi kita dalam keadaan begini." "Aku enggak akan semurah itu. Tergoda pria lain, sedangkan aku masih terikat pernikahan. Meski jadi janda, aku ingin menjadi janda yang bermartabat." * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN