05. Polos Lebih Baik

1449 Kata
"Ivy.” Ivy berbalik karena panggilan yang ditangkap Indera pendengaranya. Senyumnya berkembang pada si pemanggil. “Hai, Dam. Kamu mau ke mana?” “Aku mau ke kantor. Kamu mau ke kampus?” Ivy menganggukkan kepala. “Yap. Aku ada kuliah pagi ini.” Damian ikut tersenyum. Bagai mendapat mood booster, senyum manis yang Ivy berikan akan memberi banyak warna bagi harinya. Meski pekerjaan yang menumpuk banyak telah menanti. Lelaki itu adalah pahlawan bagi Ivy dan Eri. Karena Damian lah Ivy dan adiknya itu bisa bertahan hidup dengan cukup layak hingga sekarang. “Ayo naik. Aku anter kamu sekalian. Aku harus meeting sama klien dan itu searah dengan kampus kamu.” Tanpa harus menunggu lama, Ivy langsung menganggukkan kepalanya. Ia naik ke dalam mobil Damian yang sudah lelaki itu bukakan pintunya dari dalam. “Eri mana?” “Eri udah keluar dari pagi. Dia bilang akan mendaftar ke kampus pilihannya,” jawab Ivy sembari memakai seat belt. “Eri gak mau nyoba di kampus kamu aja? Setidaknya kalau di sana kan kamu udah tahu seluk beluk kampus kamu. Nantinya juga kamu bisa kasih banyak advice buat Eri.” Ivy menggelengkan kepala. “Eri bilang dia mau mengambil jurusan psikologis. Itu gak ada di kampus aku.” “Wow, anak itu ternyata mengambil jurusan yang cukup mengagumkan” Ivy terkikik. “Justru menurut Eri, dia mengambil jurusan itu supaya gak terlalu susah belajar. Menurut dia, belajar tentang apa yang ada di otak ataupun hati manusia, juga segala hal rumit tentang kehidupan, itu lebih baik dibandingkan menghafal istilah ataupun strategi tentang bisnis manajemen.” Damian ikut tertawa bersama dengan Ivy. Ia pun setuju. Dari dulu Eri memang paling susah kalau disuruh belajar. Sangat berkebalikan dengan Ivy. Itu yang menyebabkan Ivy bisa berkuliah dengan beasiswa full, sedangkan Eri harus menempuh jalur umum. Ponsel yang berdenting membuat tawa Ivy dan Eri berakhir. Ivy otomatis menelan ludah kala membaca pesan yang masuk ke dalam ponselnya. “Siang ini, jam dua. Aku sudah buat janji untuk kamu dengan dokter kandungan. Pasang kontrasepsi hari ini juga!” Ivy menghela nafas panjang. Hal itu menarik perhatian Damian yang menyetir di sampingnya. “Chat dari siapa?” “Hah? Oh ini, ini teman kampusku,” dusta Ivy dalam jawabannya. Yah mau bagaimana lagi? Masa iya Ivy harus mengatakan bila sekarang dirinya bukan hanya pekerja paruh waktu dengan lima pekerjaan sekaligus. Dan hari ini akan berhenti di ke lima kerja paruh waktunya. Melainkan ia sudah memiliki satu pekerjaan utama yang tak memiliki jam kerja tertentu karena harus sesuai dengan keinginan si pemakainya. Apalagi kalau bukan sebagai sugar baby? Pemuas nafsu bagi lelaki yang Ivy hanya ketahui namanya saja. Bahkan usia yang tercantum dalam kontrak yang semalam Ivy tanda tangani pun lupa ia perhatikan. Memikirkan itu saja sudah membuat Ivy merasa sangat hina. Meski mungkin sebentar lagi ia tak harus bekerja membanting tulang tanpa mengenal istirahat selain tidur malam, karena ia akan memiliki uang yang cukup dari Bravino. Setelah lelaki itu mereguk banyak kenikmatan dari dirinya. Ponsel Ivy berdenting lagi. Kembali muncul pesan dari orang yang sama. “Kenapa tidak menjawab padahal kamu sedang online? Aku tidak suka!” Akhirnya Ivy mulai menarikan jari di atas huruf yang berada di keyboard. Berusaha menjawab dengan dua huruf. “OK.” Setelahnya Ivy kembali menghela nafas dengan berat. Itu membuat Damian makin penasaran. “Kenapa? Kamu ada masalah? Coba cerita ke aku.” “Ng-nggak kok. Aku gak apa-apa.” “Terus kamu kenapa? Jangan bohong sama aku, Vy. Aku mengenal kamu bukan satu atau dua hari aja.” “Iya, aku gak apa-apa. Aku … aku cuma malas karena teman kampusku mengabari bila kami memiliki tugas kelompok. Padahal kan hari ini aku banyak pekerjaan.” Ivy yang bisa dihitung jari kalau berbohong, kini sangat lihai dalam merangkai kebohongan. Ivy berusaha menampilkan senyumnya, berusaha untuk terlihat baik-baik saja. “Are you sure? Kamu tahu kan, aku akan selalu ada buat kamu. Jadi, kalau ada apa-apa atau kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa cerita ke aku,” pinta Damian lagi. “Iya, aku tahu. Kamu memang Kakak terbaik di dunia ini.” ‘Tapi aku gak mau jadi Kakak kamu, Vy. Aku mau jadi pria-mu,’ balas Damian dalam hati. Hal itu tak ingin ia ungkapkan dengan gegabah karena takut ditolak. Sulit merubah status “Kakak” menjadi Pacar”. Apalagi bagi mereka yang lahir dan tumbuh bersama sejak kecil. “Ya udah. Kamu pulang jam berapa? Biar nanti aku jemput aja sekalian. Jadinya kamu kan gak capek naik kereta lagi. Gimana?” Ivy segera menggeleng. “Gak usah Dam. Aku belum tahu selesainya jam berapa. Lagian habis ini aku juga mau kerja kok,” kilahnya. Baru begitu saja penolakan yang Damian berikan, lelaki itu sudah merasa sangat down. Apalagi kalau sampai cintanya yang ditolak. Mungkin dia akan mencari jurang dan terjun ke dalamnya. “Ya sudah. Tapi kalau kamu mau dijemput, jangan lupa buat hubungin aku. Okey?” Damian menurunkan Ivy di pelataran kampus. Ivy harus bergegas agar tak terlambat. Tak terlambat dalam menyelesaikan mata kuliah dan juga tak terlambat untuk menyelesaikan perintah si Daddy. *** “Singkirkan saja dia kalau dia tidak tahu diri. Dia harus paham sudah berurusan dengan siapa!” Suara Bravino yang mengancam melalui telepon tak hanya menakuti teman bicara atau juga orang yang akan mendapatkan akibat dari kemarahannya. Tapi juga pada Ivy yang sedang berdiri di ambang pintu. Setelah dari Dokter, Ivy diantarkan driver ke mansion milik Bravino sesuai dengan instruksi lelaki tersebut. Bangunan mewah saksi bisu dimana Ivy merubah statusnya dari bersegel menjadi non segel. Dari pekerja paruh waktu biasa jadi sugar baby full time. “Come here,” ujar Bravino saat matanya menangkap sosok mungil di depan pintu kerjanya. Dengan takut Ivy mulai melangkah mendekat. “Kamu udah pasang kontrasepsi?” “Sudah.” “Sini, jangan duduk di sana!” Bravino menarik tangan Ivy, membuat wanita yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu duduk di pangkuan. “Kamu pasang kontrasepsi apa? Tablet atau suntik?” “Dokter Sonya bilang, aku lebih baik pakai yang suntik tiap bulan di tanggal yang sama. Agar tidak lupa.” “Good. Di usia kamu sekarang kamu sedang dalam masa sangat subur. Jangan sampai lupa, jangan sampai ada monster kecil yang tumbuh di sini. Aku tidak mau punya anak!” ujar Bravino sambil meremas pelan perut Ivy. Ivy merasakan ketegangan. Entah karena sentuhan Bravino atau karena nada suara penuh kebencian yang ia dengar dari sang sugar daddy. “Hei jangan tegang begitu. Sekarang kamu ke atas, ke lantai dua tempat kita kemarin malam. Pakai salah satu lingerie yang ada di sana, and surprise me. Aku akan menyusul tiga puluh menit lagi setelah pekerjaanku selesai.” Ivy langsung berdiri dan berbalik menghadap ke arah Bravino. “Ada yang aku mau bicarakan.” “Apa?” “Aku belum pamitan di tempatku bekerja. Dan aku … katanya kamu mau memperkerjakan aku di kantor.” Meski memang dirinya akan menjadi sarana pemuas nafsu lelaki, tapi Ivy tetap saja menginginkan pekerjaan normal. “Biar anak buahku yang mengurus semuanya! Kamu tinggal tunggu kabar saja kapan kamu bisa mulai bekerja di perusahaanku. Sekarang cepat lakukan apa yang aku perintahkan! Kamu tahu kan apa yang terjadi kalau sampai kamu membuatku menunggu lagi?!” Ivy berjengkit ngeri. Memutar tubuh lalu keluar dari ruang kerja Bravino. Meninggalkan Bravino yang hanya tersenyum sangat tipis. “Dasar anak kecil,” dengusnya geli. *** Sementara di kamar, Ivy menatap takjub di dalam walk in closet yang ada di kamar itu. Ada satu rak khusus yang dari ujung kanan hingga ujung kiri berisi lingerie. Mulai dari yang berbahan satin, jaring-jaring hingga yang hanya berbentuk selembar kain yang berbentuk seperti saringan tahu karena saking transparannya. Ini untuk pertama kalinya Ivy melihat semua itu secara nyata di depan matanya. Apalagi untuk memakai. “Aku harus pakai yang mana?” monolognya kebingungan. Belum juga dipakai, ia sudah merasa sangat malu. “Warna merah, hitam atau putih? Ungu atau pink? Kenapa banyak sekali sih,” keluhnya sembari mulai memilah. Dan setelah beberapa lama, Ivy menjatuhkan pilihan pada lingerie merah dari bahan satin yang memiliki panjang hanya sampai menutupi seperempat pahanya. Lingerie itu didampingi dengan dalaman berwarna senada. “Apa aku harus mandi dulu?” Ivy meraih handuk yang ada di dekatnya. Ia pikir waktunya masih lama, jadilah ia dengan sangat berani membuka bajunya hingga tak ada satu helai kain pun yang menempel di kulitnya. Ia merasa leluasa karena di kamar itu hanya dirinya seorang. Ivy juga penasaran bagaimana dirinya dengan pakaian seksi seperti itu. Ivy meraih lingerie tadi, mencoba mengepaskannya di depan cermin, tanpa ingat bila ia sedang berpolos ria. Hingga satu suara menyadarkannya. “Sepertinya aku berubah pikiran. Aku gak mau melihat kamu pakai lingerie, aku lebih suka kamu polos seperti ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN