Lima

1510 Kata
Ternyata begini rasanya jadi kuli. Tiap hari punggungnya tak pernah sepi. Selalu ada saja yang mampir. Sayuran seperti kol atau kentang sih sudah biasa. Yang paling mengerikan adalah karung beras. Saat karung itu lepas, rasanya punggung juga ikut melayang. Sumpah! Benar-benar menguras energi. Orang bilang kerja otak lebih capek dari kerja otot. Hah, bulshit! Kerja otot juga capek, woy! Setelah itu, Jo akan makan dengan lahap. Persetan dengan rasa makanan, yang penting bikin kenyang dan memulihkan tenaga. Ah, dan jangan lupakan dengan udara panas yang menyengat. Sanggup membakar kulit mulusmu setiap hari. Dan kalian tahu obat gerahnya apa? AC? NO! Kipas angin? Boro-boro! Ah, atau kipas tangan? Juga gak ada! Jo cuma mengandalkan angin yang dihasilkan dari kipasan topi yang ia pakai. Ya, semenyedihkan itu! Seperti hari ini. Jo baru menyelasaikan pekerjaannya. Mengangkut ratusan nasi kotak dari mobil ke lokasi. Ngangkutnya sih pake roda, tapi kalau yang diangkut nyampe 500 dus dan sekali angkut roda cuma muat 20 dus, berarti Jo harus bolak balik sebanyak 25 kali! Dan mau tahu jarak jalan raya ke rumah sohibul hajat? 100 m! Luar biasa kan? Ya, setidaknya bagi Jo itu sungguh menyiksa. Pluk! Seseorang melempar nasi bungkus ke pangkuan Jo. "Makan! Bengong melulu lo!" Sena ikut duduk bersama Jo di tepi jalan. Ah, asal tahu ya, Sena menyetir mobil yang membawa pesanan catering itu. Gadis itu bilang, saat ini Sena bosnya. Jadi Jo bawahannya kudu nurut, jadi tukang kuli yang mengangkut barang. Jo segera membuka nasi bungkus pemberian Sena, lalu menatap Sena heran. "Lho, kenapa sama ikan tongkol sih? Kan tadi kita nganterin catering yang isinya ayam bakar?" Sena menoyor kepala Jo, "ayam pale lo! Itu catering bukan buat kita, dodol! Ini jatah kita, syukuri! Noh, lo lihat di ujung jalan sana?" Jo mengikuti arah tangan Sena. "Seorang pengemis?" Lagi-lagi Sena menoyor kepala Jo, "bukan bodoh! Dia pemulung!" "Ya, sama aja kan?" Plak! Sena memukul lengan Jo. Meski tidak sakit, tapi Jo meringis, biar Sena lebih manusiawi dan perhatian padanya. Setidaknya berhenti menggunakan kekerasan fisik seperti rajin menoyor atau memukul seperti ini. "Aw! Sakit tahu?!" "Ck, halah, cemen lo! Habis gue kesel! Denger ya, pemulung itu gak sama dengan pengemis! Mereka jauh lebih berharga daripada orang yang merendahkan dirinya dengan meminta-minta pada orang lain." "Apa? Lo bilang meminta ke orang lain itu pekerjaan hina?" "Iya, bodoh! Itu sama saja ngerendahin diri sendiri untuk dikasihani." "Ck, enak aja! Gak hina lah, contohnya gue nih, suka minta ke bokap atau nyokap kok, orang mereka cari duit kan buat gue!" "Dasar bodoh! Itu beda konteks!" "Heh! Lo bisa gak sih berhenti noyor kepala gue?" "Sengaja! Biar otak lo rada encer dikit. Nih, dengerin ya, kalo anak minta ke orang tua itu wajar karena memang kewajiban orang tua ngasih biaya, tapi itu sebelum anak beranjak dewasa." "Tapi setelah dewasa, gue masih suka minta kok." "Itu namanya lo anak gak tahu diri!" "Sembarangan! Enggak kok, malahan Papi suka ngasih berapa pun yang gue mau kok." "Ya tapi akhirnya lo ditendang juga kan?" Skak mate. Jo diam. Ya, Sena benar. Dia ditendang dari rumah. Dan gak ada satu pun yang membelanya, termasuk Mami. Ada sih, Oma, tapi gak akan ngaruh kalo Papi udah buat keputusan. Meski Oma nyatanya lebih kaya dari Papi, tapi usaha Papi tak sedikit pun ada campur tangan Oma. Papi sangat mandiri. Pria yang sangat Jo kagumi itu berkerja keras dari nol dengan Mami sampai mencapai puncak sukses seperti sekarang. Sena melirik Jo yang makan sambil melamun. Samar-samar ia tersenyum puas. Biarkan Jo sedikit berpikir. Dan semoga saja wataknya segera berubah. Setidaknya itu pekerjaan sampingan Sena saat ini. Mendidik bayi besar yang sangat manja. *** "Wah, pagi ini cerah sekali ya? Wan, kita jogging yuk, ntar gue traktir sarapan bubur, mau?" ucap Jo sambil memakai sepatu lucek milik Diwan yang entah didapat dari mana. Katanya sih dari loak, tapi lumayanlah, daripada pake sendal jepit terus kan? Diwan menjawil goreng pisang yang ada di piring lalu ikut duduk dengan Jo. "Tumben punya duit? Habis dapet lotere ya kak?" "Ck, sembarangan! Gue kerja, dapet gaji, lumayanlah daripada bengong di rumah." "Wow, bagus ya, secepat itu bisa dapat kerjaan?" Jo menepuk dadanya dengan bangga, "iya dong! Jangan remehin gue! Inget, gue Jonathan, pria terkeren sejagad raya, gak ada yang bisa menolak pesona gue. Kalo gue mau, gue bisa melamar jadi manajer." "Wah, beneran kak? 'Napa gak dicoba aja? Jadi manajer gajinya gede lho kak?" "Gak ah, nanti aja, gue mau ngerasain dulu jadi rakyat jelata. 'Ntar kalo udah cukup waktu, gue pasti jadi manajer kok. Tinggal lamar, diterima deh!" "Segampang itu?" tanya Diwan antusias, bibirnya sibuk meniup-niup pisang goreng yang masih panas itu. Jo bangkit dan ikut mengambil pisang goreng. Tapi naas, tangannya terkena pisang goreng panas yang Sena tuangkan tepat saat tangan Jo hendak mengambilnya. "Awh! Hati-hati dong!" Jo mengipas-ngipaskan tangannya yang terasa panas. "Ck, lagian sih lo, terburu-buru gitu, sabar dikit 'napa?" Jo meringis dan berjalan kesana kemari dengan gelisah. Sesekali matanya melirik Sena yang masih anteng menggoreng. "Duh, sakit banget! Rasanya tangan gue mau terbakar semua ini!" Sena hanya berdesis kesal. Dasar cengeng! "Mana yang sakit kak?" Diwan menghampiri Jo yang bergerak-gerak gelisah dengan wajah kesakitan. "Ini tuh, lihat? Mulai melepuh kan? Kalo 'ntar lepuhannya pecah gimana? Kalo infeksi gimana? Bisa kena amputasi gue!" jawab Jo sambil meninggikan volume suaranya. Tapi Sena masih tetap tak peduli. Menyebalkan! "Waduh, separah itu ya?" "Iya, sakit tahu! Panas banget ini, kalo tangan gue luka kayak gini, gimana gue bisa kerja coba?" "Ini kan hari libur, kak?" "Libur sekolah lo! 'Ntar siang kan gue harus kerja! Aduh... sakit! Kalo kayak gini terus, gimana gue bisa dapet duit? Alamat minta sama kakak lo lagi deh!" Sena diam dan berpikir. Apa? Si Bodoh itu bilang mau minta uang darinya? k*****t! Sena berbalik dan menghampiri Jo yang sedang meringis kesakitan. Melihat Sena mulai merespon, Jo makin meringis. "Duh, sakit banget, rasanya gue mau mati sekarang!" "Diem anak cengeng!" ucap Sena sedikit membentak. Jo diam dan menatap takut ke arah Sena. Sementara Diwan menahan tawa. Ia tahu kalau Jo sedang merajuk. Lebaynya sudah mencapai tingkat dewa dan membuat perut terasa mual ingin muntah. Sena memeriksa punggung tangan Jo yang sedikit melepuh karena minyak panas. "Diwan, ambilkan obat di kamar Kakak!" perintah Sena pada Diwan. Dengan sigap Diwan segera masuk ke kamar. Dan beberapa menit kemudian, dia muncul dengan wajah kecewa. "Kak, obatnya habis keknya. Nih, tinggal bungkusnya doang!" Sena mengambil bungkus obat yang berbentuk seperti pasta gigi berukuran kecil itu. "Hm, masih ada dikit. Tapi kamu beli lagi yang baru deh, ya?" Sena merogoh sakunya dan mengeluarkan uang untuk Diwan. Salep itu sangat berharga baginya. Ya, salep manjur bagi tubuhnya saat terkena cipratan minyak goreng di warteg. Diwan menerima uang dari Sena, "ya udah, aku pergi dulu ya, Kak?" "Ya, hati-hati!" jawab Sena. "Gue nasibnya gimana, Sen?" "Diem lo!" Tangan Sena melepaskan tangan Jo yang terkena minyak. Pertama, ia gunting ujung pembungkus salep itu, dan mengeluarkan sisa isinya. Dengan hati-hati, Sena meraih tangan Jo dan mengoleskannya perlahan. "Aw, pelan-pelan!" ucap Jo sambil menatap Sena yang sedang serius mengobatinya. "Ck, bisa diam tidak? Jangan merengek!" Jo diam. Tapi matanya masih menatap Sena. Menelusuri setiap jengkal dari wajah Sena dari jarak dekat. Sementara Sena sibuk mengobati tangan Jo -yang sebenarnya tidak terlalu sakit- itu, Jo malah menikmati wajah Sena. Jarak mereka sangat dekat. Bahkan Jo bisa mencium aroma sabun mandi dan shampo dari tubuh Sena. Sebagai pria dengan segudang pengalaman menghadapi beragam gadis, Jo menjamin bahwa wajah Sena sangat cantik. Coba saja lihat, dari alisnya. Kecil, melengkung rapi dan berwarna hitam. Padahal tidak disalon atau memakai make up. Tapi rapi bawaan. Hm, mata Jo beralih pada bulu lentik yang menghiasi mata Sena yang sedikit bulat. Sangat indah. Tapi sayang, keindahan bulu lentik ini akan nampak menyeramkan. Sebab, yang Sena lakukan adalah melotot dan membentak padanya setiap hari. Aish, keindahan yang mubazir! Ah, sekarang hidungnya! Mancung, meski tidak terlalu mancung sih. Tapi proporsional sekali. Dan... terakhir, adalah bibirnya. Jo bersumpah, jika saja Sena suatu hari bertekuk lutut padanya seperti kebanyakan wanita lainnya, yang pertama ia lakukan adalah menggigit bibir ranum itu. Kecil, merah alami dan berisi. Ugh, membayangkannya saja Jo sudah terbuai. Pasti rasanya manis dan lembut. "Selesai!" Sena mendongak dan tersenyum senang. Ya, ia senang karena telah selesai mengobati tangan Jo yang menurutnya sangat cengeng itu. Jo yang masih larut dalam khayalan tingkat dewanya semakin terpaku melihat Sena tersenyum padanya. Ini pertama kalinya Sena tersenyum padanya! Sudah Jo bilang kan, Sena pasti terpesona padanya! Lihat, gadis itu tersenyum sekarang! Seperti malaikat! "Jo?" Sena menatap Jo yang masih bengong. Mata pria itu menatap pada manik mata Sena. Pikiran Jo sedikit tersesat, dan lagi sudah lama ia tidak berkencan. Mungkin tidak apa-apa jika ia sedikit mencium Sena. Toh, gadis ini tadi tersenyum kan? Artinya Sena memberikan lampu hijau padanya. Jo menatap Sena dalam. Ya ampun, matanya indah sekali! Jo menelan ludah dengan susah payah. Sena masih menatapnya dengan bingung. Deg.. Deg.. Deg.. Sial! Kenapa jantung Jo jadi berdisko seperti ini? Ah, mungkin ini efek karena ia sudah lama tidak menyentuh wanita. Ya, mungkin karena itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN