Jo masih duduk selonjoran saat makan siang tiba. Tangannya menimang-nimang botol bekas.
"Ngapain bengong, Jo?" tanya Sena lalu ikut duduk dan memberikan jatah makan Jo.
"Enggak, gue cuma lagi mikir Sen. Orang tua gue apa gak inget gitu sama gue."
Sena diam. Dia melirik Jo sekilas. Ada rasa bersalah menelusup dalam hatinya. Apa dia jujur saja ya? Bahwa semua ini sengaja dilakukan keluarganya agar Jo berubah?
"Lo kangen keluarga?" tanya Sena dan mulai membuka nasi bungkusnya.
Jo juga ikut-ikutan membuka nasi bungkus yang Sena berikan. Perutnya memang sudah meronta sejak tadi.
"Bohong kalo gue bilang gue gak kangen. Seengak ingetnya juga anak sama orang tua. Sebanke apapun hidup gue, tetep aja gue kangen diomelin nyokap."
Sena menatap prihatin pada Jo. Andai pria itu tahu, kalau Maminya setiap bulan menerima laporan dari Sena tentang perubahan Jo. Ah, dan jangan lupakan orang suruhan Maminya uang yang memantau semua kegiatan Jo.
"Kalo gue lagi suntuk, gue pasti nyari me time, buat hiburan kek, atau paling enggak manjain diri sendiri lah," ujar Sena memberi usul.
Plak!
Jo memukul lengan Sena di sampingnya.
"Aduh! Apaan sih lo? Sakit tahu?!"
"Yeah! Lo bener! Me time! Kenapa gak kepikiran sama gue ya? Ah, gue ketularan gila kerja sama lo deh kayaknya."
"Heh! Gila kerja tuh gak nular! Dasar bodoh!" Sena menoyor kepala Jo pelan.
"Gak menular bagaimana? Lo lihat aja! Selama gue tinggal sama lo, yang dipikiran gue cuma gimana caranya gue bisa dapet duit! Anjir! Gue sampe lupa caranya bersenang-senang!"
"Lo tiap hari juga cengengesan! Seneng kan lo?"
"Ck, beda lah, ah minggu ini kita gajian dari toko kan? Okeh, makasih Sena!" Jo mengacak rambut Sena lalu pergi lebih dulu.
"Anak itu kenapa? Tadi kelihatan bersedih merindukan keluarganya. Lah sekarang? Kegirangan sekali. Ah, apa mungkin dia pura-pura senang? Padahal hatinya masih sedih? Apa yang harus kulakukan?"
Sena merogoh saku, ia mengeluarkan ponselnya. Ia harus menghubungi Nyonya Renata.
Tapi gerakannya terhenti kembali. Apa yang harus dia katakan? Apa bilang bahwa Jo merindukan orang tuanya? Ish, itu terdengar kekanak-kanakan! Ah, atau dia bilang menyerah saja? Lalu Jo akan dijemput kembali. Tidak-tidak! Jangan dulu! Uang yang bulan ini sudah Sena pakai untuk biaya SKSnya semester ini. Jika Jo dikembalikan, artinya dia juga harus mengembalikan uang itu kan? Dari mana uang sebanyak itu?
Hah, bagaimana ya?
Sena berpikir keras. Ah, bodoh! Kenapa tidak mencobanya saja untuk bertanya ke Mbah Google ya? Hellow! Jaman gini bingung memecahkan masalah? Kan ada mesin pintar yang bisa jawab apapun. Ckl, otaknya kadang lemot kalau sedang seperti ini.
Oke, Sena mulai mencari tahu. Apa dulu ya? Ah, ini saja.
Apa yang disukai pria saat sedang rindu keluarga?
Jawabannya banyak sekali ternyata. Membuat Sena makin pusing.
Kumpul dengan teman, menyendiri, makan, main gitar.
Hm, Sena mengusap-usap hidungnya. Ah ya, makan! Bukankah Jo selalu mengeluh tentang menu makan siang yang terus itu-itu saja? Benar, ia harus menyiapkan kejutan kecil untuk Jo. Siapa tahu bisa mengobati kangen Jo sama keluarganya kan?
Sena bangkit dan mengambil tasnya. Setelah ini ia harus masuk kerja ke warteg. Di depan toko, Jo sudah menunggunya sambil bersandar ke dinding. Matanya terpejam. Apa mungkin pria itu benar-benar menderita karena merindukan keluarganya ya? Sena makin prihatin melihat Jo.
Sena diam. Ia berpikir bagaimana ia harus membuat kejutan, sedang Jo selalu bersamanya kemana-mana?
"Sen, ayo! Lama bangey sih lo? Semedi dulu ya?"
"Apaan sih, lo? Gue cuma... apa ya?"
Sena masih bingung. Otaknya berputar. Kening Jo berkerut.
"Lo kenapa? Kayak maling ketangkap basah? Jangan-jangan lo nahan kentut ya?"
Plak! Sena memukul keras bahu Jo.
"Hoiya! Gue tahu!"
"Aduh! Kebiasaan lo ya? Main pukul! Sakit tahu!"
"Jo, lo ke warteg duluan deh!"
"Lho, kenapa emang? Lo mau kemana?"
"Duh, perut gue gak bisa diajak kerja sama nih, mules banget! Jadi gue ke toilet dulu!"
"Yah, gak bisa gitu dong, Sen! Masa gue jalan kaki sih? Warteg tuh jauh tahu! Bisa kapalan kaki gue!"
"Ck, kan lo udah gajian! Pake dikit kek buat naik ojek, kan bisa?"
"Gue tunggu aja deh!"
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Eh, maksud gue, gue habis dari toilet ada janji sama seseorang."
Jo menatap Sena curiga, "lo punya pacar ya?"
Dasar bodoh! Kenapa yang keluar dari mulutku malah ini sih?
"Itu, anu..."
"Wah, gak percaya gue, lo punya pacar! Gue jadi pengen lihat pria mana yang tahan sama cewek doyan noyor kepala kayak lo!"
Sekalian bohong deh, tambahin dikit.
"Lo mau tahu cowok gue? Sebaiknya jangan deh!"
"Kenapa? Lo takut cowok lo minder ya ketemu gue? Iya sih, gue tahu, gue paling tampan kok."
Tangan Sena menoyor kepala Jo lagi.
"Ck, narsis lo!"
"Tuh kan? Kebiasaan buruk lo ini nih yang gue gak suka! Dikit-dikit noyor kepala! Pokoknya gue harus ketemu sama cowok lo, gue mau bilang kalo ceweknya demen noyor kepala orang!" ucap Jo dengan kesal.
"Udah gue bilang jangan ya jangan! Bawel lo ya?"
"Emang kenapa? Harus jelas dong alsanannya."
"Alasan?"
"Ya, alasan. Kenapa gue gak boleh ketemu sama pacar lo?"
"Sebab... ah, sebab pacar gue itu seorang preman. Senggol dikit bacok deh pokoknya!"
"Gue gak akan bikin masalah kok, janji!"
"Jangan Jo! Keras kepala banget lo ya?"
"Masa cuma pengen lihat aja kagak boleh sih?"
"Dan satu lagi, pacar gue itu cemburuan tingkat dewa, jadi kalo lo ikut sama gue nemuin dia, wah, bisa habis lo!"
"Masa?" Jo menatap Sena gak percaya.
Sena mulai kesal, ia lalu melambaikan tangan ke arah tukang ojek. Dan mendorong tubuh Jo ke motor tukang ojek itu.
"Sana! Pak, nih saya bayar duluan! Anterin ke wartegnya Bu Retno ya?"
"Oke, Mbak!"
Walau agak menggerutu, tapi Jo akhirnya mau naik motor dan meninggalkan Sena.
Sepanjang perjalanan, Sena terus mengingat makanan kesukaan Jo apa saja. Hm, kalau tidak salah, Jo pernah menginginkan steak kan? Ya, Sena harus mencoba membuat itu. Semoga saja hasilnya bagus. Sena mampir ke pasar tradisional dan membeli beberapa bahan yang ia butuhkan.
Setelah dirasa cukup, baru ia segera meluncur ke warteg.
"Sen, baru dateng?" tanya Riri, tangannya sibuk membenahi lipstik di bibirnya.
"Iya," jawab Sena. Ia meletakkan beberapa bahan masakan yang ia beli.
Mata Riri melihat kantong kresek yang lumyan besar itu.
"Lo bawa apaan, sih?"
"Bahan masakan." Sena menyimpan kantong kresek miliknya di dalam lemari es milik Bu Retno. Nebeng bentar gak apa-apa kali ya?
"Tumben, biasanya lo bawa makanan dari warteg kan buat makan malam?" tanya Riri sambil mengambil lap dan mulai mengeringkan piring yang baru dicuci.
"Iya, rencananya gue mau masak malam ini. Eh Ri, lo tahu caranya membuat steak gak?"
Riri menutup mulut tak percaya, "whoa... demi apa coba, Sen? Lo mau masak steak daging sapi?!"
Sena mengambil beberapa kotak tissue yang sudah diisi dan menyimpannya ke meja makan. "Iya, gimana caranya?"
"Bentar, dalam rangka apa lo masak makanan orang berduit itu? Si Jo pernah kasih lo makanan enak ya? Jadi lo ketagihan dan pengen makan lagi?" tanya Riri dengan tatapan menyelidik.
"Stt, diam lo! Jangan sebut nama Jo kenceng-kenceng, 'ntar dia kesini lagi!"
"Ah, iya, gue juga penasaran kenapa lo datang gak barengan sama Si Jo? Kalian marahan ya?"
"Apa? Enggak kok, lagi pengen aja gak bareng."
"Tingkah lo mencurigakan! Lo suka sama Jo ya?"
"Gue? Siapa bilang? Masih banyak cowok lain yang lebih baik!"
"Lah lo mah, bisa aja bilang gitu, giliran anak Bu Retno naksir lo malah ditolak!"
"Hendri?"
"Bukan! Yang satunya lagi, yang kuliah di Makasar itu!"
"Oh, Mas Evan?"
"Nah, iya! Itu maksud gue! b**o sih lo, orang sekeren itu lo tolak!"
"Mas Evan gak suka sama gue kok, ada-ada aja lo!"
"Dari tatapannya saja gue bisa lihat kok, doi naksir berat sama lo!"
"Perasaan lo aja kali!" jawab Sena. Tangannya masih sibuk menata menu yang baru matang.
"Weh, siapa yang suka sama Sena?" Jo tiba-tiba menghampiri mereka.
Sena mendelik sebal pada Riri yang malah cengengesan.
"Kagak ada! Sana lo angkutin pesanan yang mau di kirim!"
Jo menggerutu pelan lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Sepeninggal Jo, Sena dan Riri kembali sibuk melayani pelanggan yang mulai berdatangan.
***
"Wah, masak banyak, Kak?" Seru Diwan sambil mencomot rebus wortel yang ada di piring.
"Iya, tapi makannya nanti ya? Nunggu Jo pulang!"
"Tumben Kak Sena baik sama orang itu."
"Ya sekali-kali bolehlah dibaikin dikit. Dia stress kayaknya. Banyak melamun, mulai kangen sama keluarganya."
"Oh, iya sih. Kasihan juga lihatnya. Emang pulangnya gak bareng ya?"
"Enggak. Dia bilang sih ada urusan dulu. Tahu mau kemana!"
"Ya udah, aku mandi dulu ya?"
"Oke!"
Sena menunggu dengan hati yang senang. Maha karyanya sudah selesai. Ia yakin, Jo akan suka dengan semua ini. Apalagi, selama Jo tinggal bersamanya, pria itu hanya makan nasi rames atau nasi kucing. Atau kadang sayur lodeh sama ikan asin.
Bibir Sena melengkungkan senyuman. Ternyata Jo bisa hidup dengannya tanpa kemewahan. Padahal sebelumnya, Jo sangat sombong.
Tiga puluh menit sudah berlalu. Tapi, tidak ada tanda-tanda Jo akan pulang. Sena mulai gelisah. Anak itu kemana ya? Jangan-jangan nyasar! Ah tapi itu mustahil! Atau dirampok orang? Itu juga gak mungkin. Jo sekarang tidak punya apa-apa! Ngapain rampok nyerang dia?
Atau jangan-jangan Jo kecelakaan? Bagaimana jika Jo melamun di jalan dan kecelakaan? Sena merutuki dirinya sendiri. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Jo, ini salahnya. Karena memilih pulang duluan. Sena memberikan ongkos pulang untuk Jo.
Ah sial! Sena tidak bisa diam saja. Ia harus mencari Jo!
Sena mengambil kunci motor dan segera meluncur ke jalan yang biasa ia lalui jika hendak ke warteg.
Tapi Sena tidak melihat Jo. Bahkan hingga dirinya sampai ke depan warteg.
"Mbok!" Sena memanggil Mbok Surti yang baru pulang membeli makanan. Wanita berbadan gempal itu memang tinggal di dekat warteg. Ia lalu datang menghampiri Sena.
"Lho, kamu masih di sini? Ngapain?"
"Mbok lihat Jo gak?"
"Oalah, nyari bocah tengil itu ya? Dia udah pulang kok!"
"Masa, Mbok? Jam berapa?"
"Jam 7an lah kalo gak salah. Tapi dia tanya alamat tempat orang-orang suka minum sama main musik itu!"
Ha? Jangan bilang kalau Jo clubbing lagi?!
"Serius, Mbok?!"
"Iya bener! Heran aku, nyari duit tuh susah! Malah pake buat yang gak berfaedah! Dasar bocah gendeng!"
Tanpa ba-bi-bu lagi, Sena langsung meluncur ke tempat itu. Tempat yang tidak pernah ia kunjungi.
Suasana di tempat ini sangat bising. Musik berdentum berlomba dengan cekikikan wanita malam yang mulai beraksi di tempat ini.
Mata Sena menyusuri seluruh ruangan. Seketika tubuhnya kaku. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Miris sekali! Di rumah, ia begitu mengkhawatirkan Jo dan bodohnya ia malah mengira Jo sedang frustasi dan bersedih.
Tapi lihatlah! Cecunguk k*****t itu sedang asyik b******u dengan seorang gadis yang memakai baju kurang bahan! Bahkan Jo dikelilingi 5 gadis sekaligus!