Bab 8

1702 Kata
"Masak apa?" Lusi memeluk tubuh kekar Ganjar dari belakang. Gadis itu juga menekankan dadanya kuat-kuat pada punggung pria itu. "Menjauhlah! Atau kamu yang akan menjadi bahan masakanku!" Ketus Ganjar. Ia melepaskan pelukan istri keduanya itu dari tubuhnya. "Kenapa kepadaku kamu tidak pernah baik? Sedangkan Meta, kamu selalu memperlakukannya dengan semanis mungkin. Padahal aku yang terlebih dahulu mengenal dan mencintaimu!" "Karena aku tidak mencintaimu!" Jawab Ganjar singkat. Ia memindahkan nasi goreng dari penggorengan. Lalu menatanya di atas sebuah piring. Dengan telur ceplok setengah matang serta potongan sosis dan nugget, nasi goreng tersebut semakin terlihat menggiurkan. Mengabaikan Lusi yang berada di dekatnya, Ganjar beranjak dan membawa nasi goreng tersebut ke dalam kamarnya. Tak ingin kalah, Meta menyusul langkah Ganjar. "Malam ini kamu milikku!" Teriak Lusi, sebelum pintu kamar tertutup sempurna. Lagi-lagi Ganjar mengabaikan, dan membawa nampan yang berisi nasi goreng dan satu gelas coklat panas. Senyuman mengembang di bibirnya, saat melihat Meta yang sedang membaca sebuah majalah. "Ayo, makan dulu!" Ganjar meletakan nampan yang ia bawa ke atas nakas, dan meraih majalah dari tangan istrinya. "Sudah selesai?" Ucap Meta lembut. "Sudah. Makan sendiri atau disuapin?" Ganjar meletakkan nampan tersebut di atas pangkuannya. "Aku yang suapi," Meta meraih sendok. Satu suapan nasi beserta potongan sosis sudah berada di depan mulut Ganjar. Hati Ganjar begitu berbunga-bunga dengan keadaannya dan Meta sekarang. Ia sama sekali tidak menyangka, saat seperti ini yang hanya ada di dalam angannya, kini telah menjadi kenyataan. Suapan demi suapan di berikan Meta untuk Ganjar dan dirinya sendiri. Tanpa terasa, makan malam mereka selesai. Beriringan dengan Lusi yang tiba-tiba saja melengos masuk ke dalam kamar mereka. "Ayo ikut aku! Sudah terlalu banyak waktu yang seharusnya untukku, malah terbuang percuma gara-gara kamu ingin bersamanya." Lusi menarik paksa pergelangan tangan Ganjar. Ganjar menyentakkan tangannya. Pergilah! Lima belas menit lagi aku datang." Mengusap pucuk kepala Meta. "Aku antar ini sebentar." Lagi-lagi, Lusi harus menahan sakit hati lagi. Karena Ganjar yang melenggang pergi. Dengan nampan di tangannya. "Pelet apa yang kamu berikan kepada suamiku? Sehingga dia begitu bertekuk lutut padamu?" Lusi menundukkan tubuhnya. Manik coklat milik gadis itu, beradu pandang dengan manik hitam Meta. "Tidak ada. Akupun tidak mengerti, kenapa Ganjar begitu sangat mencintaiku. Sehingga cinta yang ia miliki, mampu menyembuhkan luka di hatiku." Meta tersenyum. "Daripada kamu sibuk mengintrogasi tentang aku dan suamiku lebih baik kamu bersiap. Bukankah malam ini Ganjar tidur bersamamu. Oops, salah! Maksudku, kamu memaksa suamiku untuk tidur bersamamu." Memutar bola matanya malas. Detik selanjutnya, Meta selimut dan menutup seluruh tubuhnya. "Aarrgghh! Dasar w************n!" Ucap Lusi. Sebelum gadis itu keluar dan membanting pintu kamar sangat keras. Meta menghela nafasnya berat. Rela atau tidak. Ia harus tidur sendiri malam ini. Tanpa Ganjar, yang memeluknya untuk memberikan kehangatan. "Tidak apa, ya. Aku tidur di depan malam ini?" Ganjar duduk di tepi ranjang dan sedikit membuka selimut yang menutupi tubuh Meta. Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Pergilah! Aku mengantuk." "Tidak akan lama dan juga tidak akan pernah terjadi sesuatu." Mengecup lembut bibir istrinya dan mengusap bibir Meta yang telah basah karena ulah dirinya. "Aku pergi!" Meta mengangguk dan memandangi Ganjar yang menghilang di balik pintu. Begitu pintu tersebut tertutup ia kembali duduk dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Gadis itu mengusap tempat kosong di sampingnya. Tempat suaminya berbaring untuk memeluk tubuhnya. Tanpa Ganjar disisinya, Meta kesulitan untuk menutup kedua matanya. Padahal sebelum ini ia bisa tidur tanpa suaminya itu. Satu jam kemudian, akhirnya Meta bisa tertidur juga. Namun, beberapa menit terpejam matanya kembali terbuka. Karena merasakan tangan kekar seseorang melingkar di perutnya. Ia juga bisa merasakan hembusan nafas di tengkuknya. "Belum tidur?" Lirih Ganjar. Saat Meta membalikkan tubuhnya. "Mas?" "Aku terpaksa memberinya obat tidur. Karena dia memberiku obat sialan itu lagi." Serak Ganjar. Dahi Meta mengernyit dalam. Mendengar penuturan suaminya itu. Gadis itu sedikit mundur, untuk melihat keadaan suaminya. Peluh telah membasahi wajah tampan Ganjar. Meta mendorong tubuh suaminya. Sehingga Ganjar berbaring dengan sempurna. Pria itu bernafas dengan sangat cepat. Sangat terlihat dari dadanya yang naik turun tidak beraturan. Dengan sedikit ragu, Meta melihat ke arah pangkal paha Ganjar, yang telah berdiri di balik celana satin yang dikenakan oleh suaminya itu. Dengan menutup kedua matanya, Meta menindih tubuh Ganjar dan melumat bibir suaminya itu. Mata Ganjar membesar, merasakan hangat dan lembutnya bibir istrinya yang memagut bibirnya. Apa kamu tidak lelah?" Tanya Ganjar. Meta menggeleng. Tangannya terulur untuk membuka pakaian yang melekat pada tubuh suaminya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi gadis itu untuk membuat tubuh mereka polos. Dan malam ini Meta berjanji kepada dirinya sendiri akan membuat sang suami melayang karena sentuhannya. Ganjar terperanjat. Merasakan hangat dan basah pada miliknya. Ia tertegun melihat Meta yang sedang sedang asyik dengan dirinya di bawah sana. "Mmhh, Sayang. Kamu bisa membunuhku dengan kenikmatan ini!" Erang Ganjar. Ia meraih gundukan kenyal istrinya dan meremasnya dengan lembut. Meta mengangkat wajahnya. "Berbaringlah, biar aku yang melayanimu." Ucapnya mendorong tubuh Ganjar, agar bisa kembali berbaring. Tanpa aba-aba ia duduk dan menancapkan milik Ganjar padanya. "Owh, dari mana kamu belajar melakukan ini semua?" Ucap Ganjar di sela desahannya. Meta menggigit bibir bawahnya. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya. Gadis itu hanya mengikuti insting yang ia miliki. Dengan lincahnya Meta mulai bergerak maju mundur. Cukup lama percintaan itu berlangsung, hingga akhirnya Meta tumbang di atas tubuh Ganjar, saat ia suaminya itu telah mendapatkan pelepasan. "Terimakasih, Sayang!" Ganjar mencium pucuk kepala Meta. Lalu mengusap punggung gadis itu yang telah basah oleh keringat. *** Lusi yang baru saja terbangun, memukul kasur. Ia begitu kesal karena Ganjar tidak berada di sampingnya. Lagi-lagi rencananya gagal. Tenggorokannya yang terasa kering menuntunnya untuk meraih botol air mineral yang ada di atas nakas dan meminumnya hingga tandas. Detik berikutnya, mata Lusi membesar mengingat apa yang telah ia masukkan ke dalam botol tersebut. "Ya, Tuhan! I-ini?" Matanya terpejam secara dramatis. "Kalau aku ingin itu gimana?" Gadis itu menggigit bibir bawahnya. "Sebelum aku ingin yang nggak-nggak lebih baik aku kembali tidur." Belum lama tertidur, Lusi kembali terbangun. Merasakan panas di sekujur tubuhnya, ia juga merasakan miliknya berkedut dan basah. Tenggorokannya juga terasa sangatlah kering. Ia melirik jam yang terletak di atas nakas. "Ya, Tuhan. Baru jam dua malam." Gumamnya. Lusi memutuskan untuk membuat s**u panas untuk menetralkan efek obat perangsang yang tidak sengaja ia minum. Harusnya hanya Ganjar yang minum bukan dirinya. Kalau sudah begini Ia harus menghilangkan efek obat tersebut, sendirian. Karena Ganjar tidak akan mau melayaninya. Sebab ia yakin, suaminya itu sedang melampiaskan efek obat tersebut kepada Meta. Tanpa obat saja pasangan suami istri itu tidak menghiraukannya, apa lagi sekarang? Ganjar pasti sedang terbakar api hasratnya sendiri. Begitu sampai di dapur, Lusi langsung membuat s**u. Setelah selesai, ia segera kembali ke kamar. Saat keluar dari dapur, tatapannya terpaku pada seorang pria yang baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang cukup atletis, hanya terlilit oleh sebuah handuk. Tetesan air dari rambut pria tersebut semakin membuat hasrat Lusi naik, dan semakin sulit untuk dikendalikan. Begitu sang pria masuk ke dalam sebuah kamar, yang ada di belakang rumah mewah itu, Lusi mengikutinya. Dari balik pintu kamar yang tidak tertutup dengan sempurna, Lusi bisa melihat Raihan yang sedang mengganti pakaiannya. Dengan kecepatan kilat gadis itu langsung masuk dan memeluk tubuh Raihan. "No-nona?" Raihan melepaskan tangan Lusi dari perutnya. "Siapapun kamu, aku mohon bantu aku. Rasa ini bisa membunuhku. Aku sangat menginginkan ini." Lusi meremas milik Raihan yang hanya tertutup oleh celana dalam. "Non, jangan gila. Saya bisa dipecat dari sini. Anda majikan saya. Saya mohon lepaskan saya!" Tarik menarik terjadi antara Lusi dan Raihan. Membuat gadis itu kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke belakang. Mencegah Lusi terjatuh, Raihan menarik kembali tubuh ramping tersebut. Hingga wajah Raihan menempel diantara dua gundukan kenyal Lusi. "Aku mohon, Han. Lakukan sesuatu padaku!" Lusi semakin menekan kepala Raihan ke dadanya. Raihan meringis, saat wajahnya semakin terbenam di antara gunung kembar tersebut. Tanpa bisa ia tahan, akhirnya Raihan ikut kehilangan keseimbangan dan mereka berdua terjatuh ke lantai. Mengabaikan rasa sakit pada tubuhnya yang menyentuh lantai, Lusi berguling dan balik menindih tubuh Raihan. Sekali sentakan, gadis itu telah membuka gaun tidur yang melekat pada tubuhnya. Raihan berusaha untuk mendorong tubuh Lusi. "Nona, jangan seperti ini. Ini semua akan merugikan kita berdua." Raihan mendorong kuat tubuh Lusi, sehingga ia bisa terlepas dan kembali menutupi tubuhnya dengan handuk. "Keluarlah Nona!" Raihan membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Alih-alih keluar, Lusi malah mengunci pintu tersebut dan melemparkan anak kunci ke sembarang arah. Ia juga membuka sisa pakaian yang melekat pada tubuhnya. "Aku mohon, sentuh aku! Jika kamu tidak mau, aku pastikan ayahmu tidak menerima gaji sepeserpun bulan ini. Atau bahkan, aku meminta mertuaku untuk memecatnya. Kamu mau?" Lusi yang telah tidak mampu mengendalikan dirinya, bersimpuh di depan Raihan. Jari-jari lentik gadis itu membuka celana dalam Raihan dan mengelusnya. Raihan berkeringat dingin. Hatinya bimbang antara menerima dan menolak. Karena api hasratnya ikut terpantik karena ulah Lusi. "Baiklah, Nona. Aku akan membantumu. Tapi aku tidak akan melakukannya dengan caraku!" Raihan mengangkat tubuh polos Lusi dan membaringkannya di atas ranjang. Pria itu membuka paha Lusi lebar-lebar dan hanya menyapa saja. "Ah, Reihan ..., ini nikmat," racau Lusi yang kini menikmati sentuhan demi sentuhan dari Raihan. Tanpa berpikir panjang, Raihan mengulum ujung nan menggoda yang ada di hadapannya. Di bawah sana Raihan masih bergerak, demi menuntaskan keinginan Lusi tanpa merusaknya. . "Tak bisakah kau melakukannya, Rai. Kalau seperti ini, kau bisa membunuhku!" Dengan susah payah, Lusi meraih Raihan dan mengarahkannya pada inti tubuhnya. "Nona ...," pinggul Raihan berhenti, saat merasakan miliknya yang membentur sesuatu. "Aku mohon, Rai ..., suamiku tidak mau menyentuhku. Dia lebih memilih istri pertamanya daripada aku." Lirih Lusi. "Aku akan bertanggung jawab, jika nanti terjadi sesuatu kepadamu," dengan satu hentakan, Raihan mengoyak selaput dara Lusi. Mereka berdua sama-sama mengerang karena kenikmatan yang menerpa mereka. "Sakit?" Tanya Raihan. Melihat Lusi yang kesulitan bernapas dan air mata yang menggenang di sudut matanya. Pria itu juga mendiamkan miliknya agar Lusi tidak kesakitan. Lusi mengangguk pelan. "Aku pikir nikmat. Tapi ini sangatlah sakit," lirihnya. Raihan memeluk Lusi dengan erat. "Tahan sebentar, ya. Aku akan mengubah rasa sakit menjadi nikmat." Perlahan, pria itu kembali bergerak. Untuk meredam tangisan Lusi, Raihan menyesap bibir ranum gadis itu. Setelah cukup lama, barulah rasa sakit itu menghilang. Berganti rasa nikmat yang tidak mampu Lusi ungkapkan. Desahan dan erangan saling bersahutan di dalam kamar sempit tersebut. Begitupun dengan Ganjar dan Meta, mereka juga masih menikmati surga dunia mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN