"Jadi kau membohongiku, hm?"
Keesokan harinya aku mendatangi restoran Asia tempat Dean bekerja. Entahlah firasatku mengatakan bahwa restoran itu juga miliknya. Atau jangan-jangan Life Care, Inc juga miliknya? Aku bisa gila.
Dean mengajakku bicara di sebuah ruangan khusus untuk staff. Lelaki itu hari ini berdiri di balik meja kasir, terlihat sialan ganteng padahal hanya mengenakan kaos polo yang ngepas di badannya. Sialan.
"Aku tidak menyangka kau akan menemuiku." Dean tampak tidak terpengaruh dengan ekspresiku yang siap mencekiknya siang itu. "Ku pikir kau akan meminta kurir berhenti mengirimimu bunga?"
"Aku akan mengatakannya langsung padamu. Berhenti mengirimiku bunga, penipu!" Aku pasti terdengar seperti orang t***l. Penipu itu kalau Dean mengaku sebagai orang kaya untuk memanfaatkanku, tetapi Dean bahkan tidak melakukan apa-apa selain memberiku first s*x paling menakjubkan dalam hidup. Tetapi aku tidak akan memberitahunya karena dia pasti akan besar kepala.
Dahi Dean mengernyit. "Aku penipu?" tanyanya. "Nona, coba beritahu aku kapan aku pernah menipumu?"
"Kau diam saja saat aku memanggilmu 'the valet guy' padahal kau bukan petugas valet!" Aku nyaris berteriak tapi ingat kalau kami sedang berada di ruangan staff dan bukan di tempat yang lebih private.
"Karena kau tidak mengizinkanku memperkenalkan diri." Dean menatapku serius kali ini, bukan jenis tatapan lembut yang selalu aku lihat saat kami bertemu. Dan aku langsung merasa udara di sekitarku menipis, sialan aku terintimidasi oleh tatapannya!
"Setidaknya kau bisa langsung mengaku kalau kau bukan petugas valet!" Aku bersikeras tidak mau kalah, mencoba menunjukkan padanya kalau aku sama sekali tidak terintimidasi olehnya dengan menatapnya balik.
"Baiklah itu salahku."
Bahuku yang semula tegang mulai mengendur, apalagi saat tatapan Dean berubah lembut seperti biasa. Sudah? Dia tidak mau membela diri lagi?
"Aku hanya...menyukai saat kau memanggilku 'the valet guy', tidak ada yang pernah memanggilku begitu." Penjelasannya membuatku memutar mata. Jelas saja karena orang-orang itu tidak bodoh dan langsung tahu kalau Dean terlalu ganteng dan keren untuk jadi petugas valet.
"Enough with the valet guy talks. Sekarang kenapa kau mengirimiku bunga? Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku beruntun. "Apa restoran ini milikmu? Apa kau juga pemilik Life Care, Inc? Coba jelaskan padaku!"
Dean tersenyum lalu berubah menjadi tawa begitu mendengar berondongan pertanyaan dariku. Hal itu membuatku kesal karena aku merasa sedang dijadikan leluconnya. Jadi aku berdiri dan menyampirkan tasku untuk pergi meninggalkannya. Tetapi sebelum aku mencapai pintu, Dean menarik lenganku.
"Wait!" Dean kini menatapku dengan ekspresi cemas. "Maaf, aku akan menjelaskannya."
Aku melepaskan tangan Dean dari lenganku. "Explain, then. Time is moving, tick tock..."
"Tidak di sini. Mari bicara di tempat lain?"
Aku menggeleng. Setelah berbagai hal yang dia sembunyikan aku tentu tidak akan semudah itu memberikan kepercayaan padanya. Bagaimana kalau sebenarnya dia adalah pembunuh berantai?
"Please?" Aku tidak tahu kalau pria berbadan seksi dan sangat masculine bisa memasang ekspresi memelas yang menggemaskan seperti seekor puppy. Rasanya aku ingin membawa Dean ke apartemenku untuk diselimuti dan dibuat coklat panas.
"Baiklah. Kita ke kantorku." Aku melirik jam tangan di pergelanganku, sebentar lagi jam makan siangku habis jadi aku harus kembali ke kantor. "Aku punya ruangan yang bisa memberikan kita privasi untuk bicara tetapi tidak untuk seks, jadi tenang saja."
Dean tidak bisa menyembunyikan tawanya lagi kali ini. Dan aku pun meninggalkannya lebih dulu keluar ruangan dengan wajah kesal.
***
Aku mendapatkan banyak tatapan ingin tahu dari rekan kerjaku, terutama Sophie yang melongo di meja kerjanya begitu aku melewatinya bersama Dean di sampingku. Aku hanya memelototi gadis itu memberi peringatan yang dibalasnya dengan kedipan mata genit.
Aku mempersilahkan Dean duduk dan menyusulnya setelah meminta Sophie memesankan kopi untuk kami.
"Apa yang kau tunggu, Mr. William? Kau sudah di sini jadi cepat jawab semua pertanyaanku!" Aku tidak peduli jika terdengar kasar saat ini. Aku hanya ingin semua ini cepat selesai dan bisa menjalankan hidupku kembali dengan normal.
"Dean. Panggil aku Dean, Bethany."
"Kita tidak seakrab itu untuk saling memanggil nama depan, Mr. William."
"Kita cukup akrab malam itu saat aku membuatmu o*****e beberapa kali."
"Astaga!" Aku benar-benar hilang sabar. Ternyata lelaki ini cukup mengesalkan, jauh berbeda dengan kesan yang selama ini dia tinggalkan padaku. "Apa kau akan blackmail aku dengan apa yang terjadi malam itu?"
Dean mengernyit, ekspresinya menunjukkan rasa tersinggung. Bukannya aku yang harus tersinggung di sini?
"Tidak. Tentu saja tidak. Kenapa aku harus mengancammu?"
Aku mengedikkan bahu. "Kalau begitu stop berputar-putar dan jelaskan padaku semuanya!"
"Aku ingin kau menikah denganku."
Prang!
Perhatian kami teralih ke pintu di mana Sophie baru saja menumpahkan dua gelas kopi yang ia bawa. Untungnya gelas itu hanya jatuh terbalik di nampan dan tidak sampai pecah berserakan di lantai.
Sophie langsung memasang ekspresi tidak enak dan bersalah. "Maaf, biar saya bersihkan." Sophie buru-buru menutup pintu dan pergi sebelum aku sempat membuka mulut.
"Apa aku tidak salah dengar?"
Dean menggeleng. "Aku akan menjelaskan padamu, semuanya, kalau kau mau menikah denganku."
Sepertinya aku harus menelpon psikiater saat ini juga.