Hari-hari berjalan pelan di Tawangmangu. Angin gunung membawa aroma mawar dari kebun di belakang rumah Norika, dan matahari pagi menyinari jendela kecil di dapurnya. Suara ayam berkokok, motor tua lewat di jalan kecil, semuanya mengisi pagi Norika yang kini tak lagi ditemani Gyan. Sudah dua minggu sejak Gyan kembali ke Jakarta. Janji untuk hanya sebulan terpisah masih menggantung, dan setiap hari, Norika menghitung hari di kalender kecil di atas kulkas. Gyan kembali tenggelam dalam tanggung jawab lama—melanjutkan perusahaan properti besar milik orangtuanya yang sudah ia pimpin sejak lima tahun lalu. Perusahaan itu bukan sekadar pekerjaan, tapi warisan keluarga, reputasi, dan dunia yang membentuknya sejak muda. Tapi kini, ia melihat semua itu berbeda. Dulu ia kejar kekuasaan dan pencapaia