13. Modus Edzard II

1475 Kata
Berbagai hidangan khas Negeri Voresha telah terhidang, berbagai tamu undangan pun telah memadati aula kerajaan yang menjadi tempat perayaan ulang tahun Putri Isabella. Edrea dan kedua orangtuanya telah tiba sejak sepuluh menit yang lalu. Raja Philips dan Ratu Marsyalia sedang berbincang dengan Raja Remon dan Ratu Alia dari kerajaan Voresha. Edrea duduk di kursinya dengan bosan, matanya berkeliling menatap para bangsawan yang hadir dan juga beberapa Pangeran dan Putri dari kerajaan sebelah. "Di mana Edzard?" Edrea tersentak, ia menoleh dan mendapati Pangeran Adelard dari kerajaan Voresha yang tidak lain adalah kakak Isabella. "Bukan urusanmu," jawab Edrea ketus. Edrea memanglah berbicara dengan informal dengan Adelard, begitu pula dengan Isabella. Walaupun Edrea berteman dengan Putri Isabella, gadis itu sangat tidak suka dengan Adelard. Sebab Adelard selalu mencari masalah dengan Kakaknya Edzard. Mereka berdua memang terkenal sebagai Pangeran Mahkota yang tidak akur. Meskipun tidak akur, itu tidak berdampak pada Kerajaan, Raja dan Ratu dari dua kerajaan sangat dekat. Mereka yakin seiring berjalannya waktu Edzard dan Adelard pasti akan berteman kembali. Adelard tersenyum miring. "Boleh aku duduk di sebelahmu?" Dahi Edrea mengerut dalam. "Terserahmu." Tanpa babibu lagi Adelard duduk di sebelah Edrea. "Kau tahu? Sudah lama aku tidak bermain-main dengan Edzard." Edrea berdecak. "Sudahlah, jangan membuat masalah lagi dengan kakakku." "Aku tidak peduli." Edrea memutar bola matanya malas. Netranya tak sengaja menatap Isabella sang Putri dalam acara ini. Lantas Edrea berdiri dan menghampiri Isabella, ia sudah tak tahan berlama-lama di samping Adelard. Sementara Adelard menatap kepergian Edrea dengan senyum miring. "Belakangan ini aku tidak melihat Edzard di pusat kota, sepertinya terjadi sesuatu," gumamnya. *** Sesuai dengan kesepakatan bersama, Adreanne membawa Edzard pulang ke rumahnya saat pulang sekolah. "Kamu duduk di ruang tamu depan aja, Ed. Kalau belajar di ruang keluarga diganggu Abang," ujar Adreanne. Edzard mengangguk mengiyakan. Cowok itu menjatuhkan dirinya di sofa dan meletakkan tasnya di karpet. Dari suasananya, Edzard yakin Adam belum pulang. Baru saja ia menyebut nama Adam di pikiran, pria tua itu langsung muncul dengan tas kerja di tangannya. Edzard buru-buru berdiri dan menyambut pria paruh baya itu. "Sore, Om." "Ngapain kamu ke sini?" "Belajar, Om. Bentar lagi olimpiade-nya akan diadakan, ya saya harus belajar," balas cowok itu jujur. "Kamu ikut olimpiade?" tanya Adam tak percaya. Pria itu seperti meragukan kemampuan dan kepintaran Edzard dan hal itu membuat Edzard sebal. "Iya, Om saya ikut. Gini-gini, saya pintar lho," balas Edzard dengan nada sombong. Adam memutar bola matanya. "Sebelum jam enam kamu harus pulang." Kedua mata Edzard melotot, sontak ia menggeleng tidak setuju. Sekarang baru pukul empat, yakali ia secepat itu keluar dari rumah ini. "Tergantung nanti dong Om. Kalau udah beres belajarnya, baru saya pulang," tolaknya. "Eh Ayah udah pulang," sambut Tika. Wanita paruh baya itu baru mengetahui sang Suami pulang dari percakapan suaminya dan Edzard yang terdengar hingga dapur. Adam hanya menganggukkan kepalanya, pria itu memberikan tas kerjanya pada sang istri dan mengecup pipi wanita tercintanya. Sungguh romantis, saking romantisnya membuat Edzard ingin muntah. Tapi ia harus menahannya. Harus jaga image! "Ayo, Yah. Jangan gangguin Edzard nya terus, bentar lagi dia mau belajar sama putri kita." Tika menarik tangan sang suami agar meninggalkan ruang tamu. Dengan amat terpaksa Adam mengikuti sang istri, namun pria itu sempat berbalik dan memberi Edzard dengan tatapan intimidasi. "Awas aja kamu macam-macam dengan anak saya." "Aman Om. Saya mana bakal berani macam-macam hehe," cengir cowok itu. Akhirnya Adam merangkul bahu sang istri dan berjalan meninggalkan ruang tamu. Tepat sepeninggal pasutri itu, Adreanne datang dengan membawa beberapa buku. "Mata pelajaran lomba kita beda, Ed. Jadi belajar sendiri-sendiri ya?" Edzard hanya mengangguk. Cowok itu mengeluarkan buku yang ia perlukan dan meletakkannya di atas meja, begitu pula dengan peralatan tulis. Lima menit berlalu, Adreanne fokus membaca buku biologi entah materi apa. Sedangkan Edzard meletakkan tangannya di atas meja dan menopang kepalanya dengan tangannya sendiri. Tatapan menatap lurus ke wajah cantik Adreanne yang sedang fokus itu. "Belajar, jangan lihatin aku terus!" sentak Adreanne dengan mata melotot. Edzard terkekeh kecil lalu kembali membaca buku. Namun sesekali ia masih curi pandang menatap wajah Adreanne. Batinnya sangat penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Adreanne. Gadis itu sungguh tak terbaca pikirannya, berbeda dengan manusia lainnya. Edzard menghela napas pelan, namun terdengar oleh Adreanne. "Kenapa menghela napas gitu?" "Lapar," dalih cowok itu. Adreanne tampak berpikir sejenak, ia meletakkan bukunya di atas meja lantas berdiri. "Bunda tadi bikin brownies, aku ambil dulu." Edzard mengangguk dua kali membiarkan gadis itu pergi. Selagi menunggu Adreanne, Edzard mengambil buku biologi milik gadis itu dan membaca materi yang sedang di pelajari Adreanne. Ternyata, gadis itu sedang membaca tentang sistem imunitas pada Manusia. Dahi Edzard mengerut dalam ketika membaca penjelasan mengenai sistem imun di dalam tubuh manusia. Semua dijabarkan dengan detail, apakah Dokter di kerajaan mengetahui hal ini juga? Selama ia bersekolah di sekolah bangsawan, apapun di pelajari, tapi ia tak pernah membaca atau mendengar tentang hal itu. Sebuah asumsi muncul di pikiran Edzard. Tentu saja ia tidak tahu menahu tentang ini semua, dirinya dan kaumnya berbeda dengan manusia. Betapa bodohnya ia berpikir yang sia-sia. Edzard meletakkan buku biologi itu di atas meja ketika Adreanne kembali. "Makanlah, hanya tersisa lima potong lagi, Bang Damien sangat rakus menghabisinya," gerutu Adreanne. "Tidak masalah, lima saja sudah banyak kok. Terimakasih." Adreanne menganggukkan kepalanya dan kembali membaca buku. Melihat gadis itu kembali dengan bukunya, Edzard mendengus pelan. Cowok itu mengambil sepotong brownies dan melahapnya. Benar, kue ini sangat lezat. Cocok dilidahnya, jika bandingkan dengan rasa kue di kerajaannya yang dibuat oleh koki, jelas kue buatan Bunda Adreanne sangat lezat. "Re," panggil Edzard. "Hm?" "Kok baca buku terus sih, ayo dong ngomong. Aku tuh bosan," keluh cowok itu. "Lah, kan kamu sendiri yang ngajak belajar bareng, ya belajar lah. Ngapain ngomong?" Edzard menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya ... ambil jeda dulu dong. belajar lima belas menit, terus istirahat tiga puluh menit." Adreanne menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mana ada begitu, yang ada kebalik. Harusnya belajar itu yang lama, istirahatnya sebentar." "Ya udah iya, jadi kita istirahat ya sekarang?" Adreanne menghela napas dan mengangguk, ia memilih menuruti permintaan Edzard. "Mau ngomong apa?" "Tipe laki-laki yang kamu suka kayak gimana?" Alis sebelah kanan Adreanne terangkat naik. "Kenapa nanya itu?" "Tinggal jawab aja sayang," gemas Edzard. Adreanne berdehem pelan karena tiba-tiba salah tingkah dipanggil sayang. "Cowok yang baik, pintar, nggak suka marah-marah atau emosian, mandiri ... hm terus apa lagi ya? Nggak tau deh, aku bingung." Aku gadis itu. Edzard terkekeh geli. "Kebetulan aku ini baik, pintar, ganteng, mandiri, nggak suka marah. Gimana? Mau nggak?" "Mau apa?" "Be mine," balas Edzard menyeringai. "Heh, kamu ngomong apa barusan?!" sentak Adam yang tiba-tiba muncul di ruang tamu. Mampus! Sontak Edzard gelagapan dan menggeleng cepat. "Tadi saya Cuma nanya bahasa inggris aja, Om." "Bohong." Adreanne menyahut polos dan membuat Edzard melotot. "Iya, Yah. Tadi Cuma becanda aja. Lagian lagi istirahat ini dari belajar," lanjut Adreanne menyelematkan Edzard. "Sekali lagi ngomong ngawur kamu, jangan harap bisa main ke rumah ini lagi." "Iya, Om." Ketika Adam pergi dari ruang tamu, barulah Edzard menghela napas lega. "Ayahmu lebih seram dari Raja Philips alias Ayahku," ceplos Edzard. "Hah? Raja Philips?" Sadar bahwa ia mengatakan hal yang tidak boleh ia katakan, Edzard menjadi panik. "Nggak, itu Cuma karakter di novel fantasi yang aku baca," kilah cowok itu cepat. Adreanne menatap Edzard curiga. "Jelas tadi aku dengar Raja Philips itu Ayah kamu." "Emang kamu percaya kalau aku Pangeran?" Edzard menyeringai. Adreanne menggeleng polos. "Nggak sih. Kan, negara kita sistemnya bukan Kerajaan, Ed." "Nah itu tahu. Aku Cuma asal ngomong tadi, jangan dibawa serius." Akhirnya Adreanne mengangguk percaya. "Ya udah, ayo lanjut belajar." *** Setelah dua jam lebih belajar, akhirnya Adreanne mengajak Edzard untuk berhenti dan makan malam. Lagi pula, Tika juga sudah rewel menyuruh mereka segera ke ruang makan. "Ntar, lo jangan pulang dulu yak. Main PS gas!" ajak Damien. Edzard tersenyum kemudian mengangguk. "Oke." "Udah malem. Lebih baik kamu pulang setelah makan malam," ujar Adam. "Masih jam setengah tujuh, Yah. Main PS bentaran doang. Nggak sampai tengah malem, lagian Edzard kan cowok. Ya nggak apa dong main sampai malam," cerocos Damien panjang lebar. Adam menghela napas pasrah, kalau Damien sudah ngotot begini susah untuk melarangnya. "Terserahlah." Damien bersorak gembira. Begitu pula dengan Edzard yang bersorak dalam hati. "Udah, ayo makan!" ajak Tika. "Edzard nggak usah malu-malu ya, ambil aja makanan yang kamu mau," lanjut Tika pada Edzard. "Iya, Bunda. Terimakasih." "Sejak kapan kamu memanggil istriku dengan sebutan Bunda? Kamu bukan anak kami," protes Adam. "Ish ayah ini. Biarin aja lah, Bunda yang suruh kemarin. Lagian teman-teman Adreanne yang lain juga panggil bunda. Kok Ayah yang repot sih?" gerutu Tika jadi kesal. "Iya, sayang iya. Terserah mereka. Ya udah kita makan," ujar Adam pasrah. Edzard tertawa dalam hati melihat Adam yang selalu tunduk pada Tika. Jelas sekali bahwa pria tua itu sangat mencintai sang istri. Persis seperti Raja Philips yang selalu tunduk pada sang Ratu yang tak lain adalah Ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN