Bab 4. Menjadi Target Pembunuhan

1483 Kata
"Sarah? Siapa Sarah, Mas? Kenapa kamu bilang kamu bisa menghamilinya?" cecarku, berpura-pura tidak tahu. Aku menatap Mas Hanz dengan curiga. Mas Hanz tersentak, reflek dia memukul mulutnya dengan pelan, mungkin dia sudah keceplosan, wajahnya berubah menjadi pucat. "Alesya sayang, maksudku bukan itu. Sarah itu sepupu jauhku, dia sedang hamil anak suaminya," ucapnya, mencari alasan, suaranya bergetar, aku bisa melihat ketakutan di matanya. Aku tertawa dalam hati, melihat Mas Hanz kebingungan mencari alasan. "Tapi, kamu bilang Sarah hamil anak kamu," ujarku, seraya tersenyum sinis. "Alesya, intinya di keluargaku tidak ada yang bermasalah, kami semua subur. Buktinya ibuku memiliki anak dua, dan seluruh keluarga memiliki banyak anak. Sedangkan, dari keluarga kamu saja hanya memiliki satu anak yaitu kamu. Jadi, yang bermasalah itu kamu," jawab Mas Hanz dengan sombong. Aku tersenyum sinis, "Setidaknya, keluargaku juga tidak ada yang mandul. Ini hanya masalah waktu, atau mungkin Tuhan tidak memberikan anak karena tahu aku tidak pantas memiliki anak dengan suami sepertimu," balasku sambil menatap tajam kearah Mas Hanz. Mas Hanz tersentak, mungkin dia tidak menyangka aku akan menjawab seperti itu, wajahnya berubah menjadi merah, dan aku melihat kilat kemarahan di matanya. "Alesya, apa maksud dari ucapan kamu!" sentak Mas Hanz, dengan suara keras. "Kenapa kamu marah, Mas. Jika Tuhan belum memberikan, kita tidak bisa berbuat apa-apa," jawabku tegas, suaraku tetap tenang, aku tidak takut dengan kemarahannya. Terlihat Mas Hanz mengembuskan napas berat, seolah-olah dia sudah kehabisan energi. "Alesya, sebenarnya ada apa dengan kamu? Aku lelah berdebat dengan kamu, katakan apa mau kamu?" tanyanya, suaranya mulai melembut. "Mas, kamu sudah tahu jawabannya, aku mau kembali ke perusahaan," tegasku, aku tidak akan mundur. "Kalau kamu masih bersikeras ingin kembali ke perusahaan, aku berhenti. Aku tidak mau jadi bahan omongan karyawanku, karena ternyata aku hanya menumpang hidup sama kamu," ucapnya dengan wajah dibuat sedih, matanya terlihat berkaca-kaca, aku tahu dia sedang berusaha membangkitkan rasa bersalah di dalam hatiku. Dulu, saat melihat dia sedih aku akan mengalah dan meminta maaf. Tapi, sekarang tidak sudi. Aku tidak lagi terpengaruh dengan ekspresi wajahnya yang dibuat-buat. "Kalau kamu malu, dan ingin berhenti. Aku tidak akan memaksa kamu untuk bekerja di perusahaan. Aku bisa memimpin perusahaan, sebelum ada kamu aku juga sudah memimpin perusahaan," balasku dengan cuek, suaraku tetap tenang. Wajah Mas Hanz berubah menjadi tidak percaya, dia tidak menyangka aku akan menjawab seperti itu. Matanya melebar, mulutnya terbuka sedikit, seolah-olah dia tidak percaya aku bisa begitu tegas. Aku bisa melihat wajahnya kesal, tapi aku tidak peduli. Aku sudah tidak takut lagi dengan dia. "Ok, sekarang aku tidak peduli apa pun yang terjadi dengan perusahaan," tegasnya, lalu dia keluar dari kamar sambil membanting pintu dengan keras. Setelah Mas Hanz keluar, aku juga ikut keluar, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan. Aku yakin dia akan mengadu dengan ibunya. Aku melihat Mas Hanz masuk ke dalam kamar ibunya, aku berjalan dengan pelan, hati-hati agar tidak terdengar. Tepat di depan pintu kamar ibu, kurapatkan telingaku untuk mendengar percakapan mereka. "Bu, Alesya sekarang sudah membantahku. Bagaimana ini Bu, dia juga ingin kembali memimpin perusahaannya. Gimana nasib Sarah dan anak kami kalau aku tidak bisa mendapatkan tanda tangannya," keluh Mas Hanz, suaranya terdengar putus asa. "Dasar anak bodoh! Kalau dia tidak mau menandatangani surat peralihan hartanya, kita paksa, atau kita singkirkan dia. Jika dia mati, kamu akan mewarisi harta Artha Wijaya dan kamu bisa membawa calon menantu ibu dan cucu ibu tinggal di rumah ini," jawab ibu mertuaku dengan licik. "Iya, Mas. Jangan mau kalah sama si gendut itu, aku sudah muak tinggal bersama dia. Sekarang saja dia sudah berani sama kami," aku mendengar suara Anya ikut memprovokasi. Amarahku seketika meledak, mendengar rencana jahat mereka. Aku merasakan jantungku berdetak kencang, darahku mendidih, dan kepalaku terasa panas. Aku tidak percaya mereka bisa sejahat itu, merencanakan untuk membunuhku. "Sini, ibu bisikkan rencana untuk menghabisi si gendut." Aku terus merapatkan telingaku, tapi aku tidak mendengar sama sekali suara mereka. Aku hanya bisa mendengar detak jantungku sendiri yang berdebar kencang. Aku mencoba untuk tetap tenang, tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan marahku. Apa rencana mereka untuk mencelakaiku? Aku harus waspada, karena nyawaku mungkin sedang dalam bahaya. Aku merasakan bulu kudukku berdiri, dan aku mulai gelisah. Aku harus mencari bantuan. Kutarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Aku harus berpikir jernih, untuk melawan mereka. Aku kembali ke kamarku, di dalam kamar aku berpikir keras cara menghadapi mereka. Tiba-tiba aku teringat pengacara papa, sebaiknya dari sekarang aku mengubah surat wasiat jika terjadi sesuatu denganku. Aku akan memberikan seluruh harta keluargaku untuk diberikan ke panti asuhan, panti jompo. Aku tidak sudi mereka mendapatkan harta yang aku punya. Dulu, saat menikah dengan Mas Hanz. Aku sudah membuat surat wasiat jika terjadi sesuatu, aku menyerahkan seluruh hartaku untuk Mas Hanz, karena aku pikir Mas Hanz sangat mencintaiku. Aku mengambil ponselku dan mencari kontak pengacara papa. Aku harus segera menghubungi dia, untuk mengatur pertemuan secepatnya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi aku harus siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Aku sedikit lega, setelah memutuskan mengubah surat wasiatku. Sebelum tidur, aku mengunci pintu kamar, aku tidak akan membiarkan Mas Hanz tidur bersamaku. Aku takut saat tidur tiba-tiba dia mencekikku. Semalam aku tidur tidak nyenyak, Mas Hanz juga tidak kembali ke kamar. Saat adzan subuh berkumandang, aku menjalankan sholat subuh agar pikiranku tenang dan meminta perlindungan untuk dijauhi dari orang jahat. Selesai sholat, suara pintu digedor dengan kencang dari luar. Aku membuka mukena kupakai, lalu membuka pintu. Mas Hanz sudah berdiri di depan pintu kamar dengan mata merah, wajahnya terlihat murka, dan napasnya tersengal-sengal. "Minggir," bentaknya, suaranya kasar dan keras, saat tubuhku menghalangi pintu. Ekspresi wajahnya berubah menjadi menakutkan, aku bisa melihat kemarahan yang membara di matanya. Mas Hanz sudah menunjukkan sifat aslinya, sekali aku melawan, dia menunjukkan taringnya. Aku menggeser tubuhku, sebenarnya aku juga lelah dengan bobot tubuhku yang hampir mencapai 100 kilogram. Mas Hanz menjatuhkan dirinya di ranjang, dia kembali tidur. Melihatnya tidur nyenyak, aku bersiap untuk pergi ke perusahaan. Selesai membersihkan diri, aku terpaku di depan lemari pakaian, tidak ada baju formal yang muat di tubuhku. Aku bahkan sampai lupa di lemari hanya pakaian rumahan saja, pantas saja saat aku ke perusahaan satpam mengejekku karena penampilanku tidak mencerminkan seperti seorang pemilik perusahaan Artha Group. Aku menutup pintu lemari, lebih baik aku pergi ke butik sebelum ke kantor. Aku mengambil tas kecilku, lalu keluar dari kamar. Sekarang tujuanku ke kamar Anya, aku ingin mengambil kunci mobil kesayanganku yang selalu dia pakai untuk berangkat kuliah. Tepat di depan pintu kamar Anya, aku menggedor pintu dengan keras. Tidak lama Anya keluar dengan rambut seperti singa, berantakan. Dia juga menguap tanpa menutup mulut, benar-benar jorok sekali. Ekspresi wajah Anya berubah menjadi sangat terkejut, matanya melebar, dan mulutnya terbuka lebar ketika aku mendorong tubuhnya sampai gadis kurus itu terbentur tembok. "Aku hanya ingin mengambil kunci mobilku," kataku. Kebetulan aku melihat kunci mobil di atas meja riasnya dan tas bermerk milikku yang Anya ambil tanpa seizinku dalam keadaan terbuka, kebetulan aku juga melihat surat mobil di dalamnya. Dengan cepat aku menyambar semuanya. "Hei, maling," teriaknya. Aku berbalik badan lalu menekan tubuhnya dengan tubuhku membuat tubuh adik iparku kejepit di tembok. Anya terlihat sangat ketakutan, wajahnya memucat, dan matanya berkaca-kaca. "Anya yang maling itu kamu, silahkan kamu teriak maling. Biar nanti warga yang akan menilai siapa yang maling sebenarnya," bisikku dengan senyum menyeringai. Gadis itu terkejut, bola matanya membulat seperti hampir keluar dari rongganya. "Aku hanya mengambil milikku satu persatu," tambahku lalu aku melenggang pergi meninggalkan kamarnya. Aku sudah mengamankan surat rumah, dan beberapa perhiasan yang tersisa. Aku tidak mau mereka merampokku lagi. Aku berjalan kearah mobil kesayanganku, di garasi ada beberapa mobil. Biasanya Mas Hanz memakai mobil itu ke kantor, setiap hari dia akan berganti-ganti mobil. Sebuah ide muncul, lebih baik aku menjual semua mobil ini. Enak saja dia memakai mobilku, aku nanti akan meminta Arga untuk menjual semua mobilku. Dari dalam rumah aku mendengar suara teriakan ibu mertuaku. Gegas, aku masuk ke dalam mobil. Pak Muklis tersenyum di depan pos jaganya sambil mengancungkan jempolnya. "Keren, Non," ucapnya. Aku menjalankan mobilku, tepat di depan Pak Muklis aku menghentikan mobilku. "Pak, jaga rumah. Jika mereka macam-macam, lapor polisi saja," kataku memberi perintah ke Pak Muklis. "Siap, laksanakan," jawab Pak Muklis dengan wajah ceria. Kubawa mobilku kearah butik langgananku, karena masih pagi, karyawan butik belum membuka butik. Aku turun dari dalam mobil, dan mereka sudah mengenalku sangat terkejut melihatku. "Mbak Alesya?" tanyanya salah satu karyawan butik dengan ekspresi tidak percaya. Aku tersenyum dan mengangguk. "Apa kalian bisa mencarikan baju formal untukku ke kantor?" tanyaku. Mereka mengangguk cepat. "Bisa, Mbak. Ayo, masuk," ajak mereka seraya membuka pintu butik. Hanya berselang setengah jam, aku mendapatkan baju yang sesuai tubuhku. Setelah membayar pakaianku, sekarang aku pergi ke kantor. Aku merasa lebih percaya diri dengan penampilan baruku. Sesampainya di depan perusahaan Artha Group. Penjaga keamanan di depan pintu masuk dengan cepat menghalangiku, wajahnya terlihat tidak ramah, dan matanya memandangku dengan sinis. "Gendut, kamu lagi," ucap penjaga keamanan sambil melihatku dari atas sampai bawah, suaranya kasar dan tidak sopan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN