Kenrich diam. Ia lalu terduduk dengan lutut sebagai penopang. Tubuhnya terkulai lemas. Pria itu menunduk, menitikkan air mata. Kenyataan dan pernyataan yang didengar dari sang mantan istri seperti godam yang memukul telak tepat menuju dasar hatinya. Jadi, wajar jika Wahda kini sangat membencinya. “Maaf, maaf, maaf. Ampuni saya, Wahda. Saya mengaku salah. Hukum saya sesukamu, tapi tolong jangan hukum saya dengan meminta abai dengan Dean. Jangan minta saya menjauhi Dean.” Wahda menggeleng. “Hukuman ini, Anda sendiri yang menciptakannya di masa lalu. Saya mohon dengan sangat, menjauhlah dari kami. Kami sudah baik-baik saja selama ini tanpa Anda, kami sudah tenang. Jadi tolong, jangan rusak kebahagiaan kami.” “Penyesalan terbesar saya adalah memfitnahmu pengkhianat, mengataimu menjijikkan.

