1. Kebimbangan

1699 Kata
Elfathan tercenung. Matanya terus memandangi map cokelat bertuliskan nama Alanna Aisha Alqadrie yang sengaja istrinya taruh di atas meja kerja. Awalnya ia tidak perduli. Bahkan berusaha untuk mengabaikan. Tapi, lama kelamaan rasa penasaran itu semakin menjalar memenuhi otaknya. Meraih map tersebut, pelan-pelan Elfathan mengeluarkan lembaran kertas yang tersusun rapi di dalamnya. Mulai membaca dengan seksama hasil pemeriksaan yang terfokus pada kandungan tersebut. Di lembaran itu dijelaskan kalau sang pasien dalam kondisi rahim yang sehat. Serangkaian tes yang dijalani meliputi : Tes Ovulasi, tes HSG, Histeroskopi dan tes hormon juga menerangkan pasien dalam keadaan subur dan siap di buahi. Itu artinya, kalau Elfathan benar-benar menikahi wanita ini, peluang untuk memiliki anak cukup besar untuk berhasil. Awalnya, memiliki anak adalah impian terbesar Elfathan ketika berumah tangga. Tapi, seiring berjalannya waktu, ia mengubur dalam-dalam mimpi tersebut. Viona, sang istri di vonis terkena penyakit kanker ovarium dan harus menjalani operasi histerektomi atau operasi pengangkatan rahim untuk memutus penyebaran sel-sel kanker agar tidak menyerang organ vital lainnya. Karena hal ini jugalah, Viona pada akhirnya tidak bisa memberikan keturunan. Jangan tanya bagaimana terpukulnya ia dan sang istri. Lebih-lebih Viona. Wanita itu bahkan bersikeras tidak ingin menjalani operasi. Dan ketika rahimnya benar-benar dianhkat, wanita keturunan Arab itu sempat terpuruk berhari-hari menyendiri di kamar. Besarnya cinta Elfathan pada Viona membuat pria itu sepakat untuk tidak mempermasalahkan keturunan dalam rumah tangga mereka. Ia terus memberikan pengertian kalau anak bukanlah masalah besar yang harus mereka perdebatkan. Namun beberapa waktu belakangan sang istri malah merengek bahkan memaksa Elfathan untuk menikah lagi agar bisa memiliki anak seperti impian mereka sebelumnya. Entah dari mana pikiran gila itu berasal sampai akhirnya tercetus rencana di otak Viona untuk menjodohkan El dengan Alanna. Bahkan wanita itu tidak menerima negosiasi untuk permintaannya yang satu ini. "El, kamu udah ambil jadwal praktik?" Suara yang berasal pria lain menyadarkan Elfathan dari lamunannya. Ia bahkan tidak sadar ketika rekan sejawatnya itu sudah masuk ke ruang kerjanya. "Astagfirullah, Fatih!" Elfathan terlonjak kaget. "Salam dulu, kek. Main asal masuk aja," Pria bernama Al fatih itu tertawa cuek. Lebih memilih untuk menarik kursi lalu mendudukkan dirinya tepat berseberangan dengan Elfathan. Ia bisa melihat bagaiamana sahabatnya itu kesal dengan kehadirannya yang tiba-tiba. "Aku udah ketuk pintu berkali-kali. Kamu aja yang nggak nyahut. Padahal udah nyaring banget aku ngucapin salamnya," debat pria itu tidak ingin kalah. Nyatanya memang Elfathan yang tidak mendengar. "Emangnya kenapa sampai kamu nyusulin aku ke ruangan?" "Ck!" Pria bertubuh semampai itu berdecak. "Dari tadi aku tanya, kamu udah ambil jadwal praktik? Yang terbaru udah keluar soalnya. Baru banget di bagiin." Elfathan menggelengkan kepalanya. "Kemarin pas aku mau ambil, belum di tanda-tangani sama Ashraf. Jadi biarin aja dulu, dari pada aku salah-salah," balas pria itu. Alfatih mengangguk. Lalu tak berapa lama menyipitkan matanya. Ia mencium gelagat aneh yang ditunjukkan oleh pria di depannya. Bisa ditebak, ada sesuatu yang sedang dipikirkan pria berumur 35 tahun tersebut." "Kamu lagi mikirin apa, sih? Kayak uring-uringan gitu? Keliatan banget dari mukamu. Kalau ada masalah cerita aja. Siapa tau aku bisa bantu kamu seperti biasa." Selama ini, mereka berdua memang sering bertukar cerita. Saling meminta pendapat bila terjadi sesuatu masalah yang mendera. Baik urusan pekerjaan atau masalah pribadi. Sudah bersahabat sejak lama, membuat Alfatih dan Elfathan saling mengenal satu sama lain. "Tebakanmu memang benar." Elfathan menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Berusaha mentralkan perasaannya yang sedang tidak menentu sekarang. "Aku lagi mumet, Fath. Nggak tau mesti gimana." "Mumet?" ulang Alfatih. Elfathan lantas mengangguk dua kali. "Hmm ... Istriku minta aku nikah lagi." Bukannya prihatin, Alfatih malah tertawa keras. Bahkan terkesan mengejek. Begitu tergelitik dengan apa yang baru saja ia dengar. Pria itu memang tidak percaya dengan apa yang baru saja Elfathan ungkapkan padanya. "Nggak usah bercanda," balasnya masih sambil tertawa. "Masa iya, kamu mau poligami? Seorang Elfathan Arash Assegaf berpoligami?" ulangnya memastikan bahkan penuh penekanan. Elfathan kembali menghela napas panjang. Bukannya lega, ia malah kesal sekarang. "Pasti kamu nggak percaya, kan? Seumur hidup aku bahkan nggak pernah kepikiran untuk punya istri lebih dari satu, Fath. Dan sekarang, tiba-tiba istriku minta supaya aku nikahin perempuan lain." Tawa masih terukir di wajah tampan Alfatih. "Ya harusnya kamu senang, dong. Bisa punya istri dua tanpa harus sembunyi-sembunyi." Elfathan meringis. Seenaknya saja sahabatnya itu menyahut. "Masalahnya, aku bukan tipikal cowok yang suka bagi-bagi cinta. Satu aja nggak habis, malah mau punya dua. Yang ada nanti malah repot." Sebagai sahabat yang sudah berteman lama, Alfatih memang begitu mengenal sosok Elfathan. Dari dulu, pria itu selalu setia hanya pada satu wanita yaitu Viona Arinka Alatas yang kini menjadi istrinya. Tiba-tiba mendapatkan kabar kalau pria itu dipaksa berpoligami, tentu saja Alfatih cukup terkejut. Padahal sepengetahuannya, rumah tangga yang hampir sepuluh tahun sahabatnya itu jalani berjalan cukup harmonis. Bahkan tidak pernah terdengar pertengkaran sekalipun dari keduanya. Karena bila terjadi perselisihan, Elfathan bisa dengan segera menyudahi pertengkaran tersebut hingga tidak berubah besar apalagi sampai menjalar ke mana-mana. "Ya kenapa juga Viona maksa kamu nikah lagi?" Elfathan mendongak. Menatap lekat wajah Alfatih. Sekali lagi pria itu menghela napas dalam-dalam. "Itu semua dia lakuin supaya aku bisa punya keturunan." "Ya Allah ... " Alfatih mendesah pelan. Alasan ini rupanya yang membuat sahabatnya itu uring-uringan sedari tadi. Ia memang tahu kalau istri sahabatnya itu tidak memungkinkan untuk mengandung. "Jadi gimana? Kamu setuju sama permintaan istrimu?" Elfathan menggelengkan kepalanya. Wajah pria itu malah berubah sendu. Seolah ada beban yang tengah ia pikul. Berat sekali rasanya harus melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan. "Justru ini yang dari tadi aku pikirin. Aku udah coba nolak, tapi Viona tetap bersikeras. Kalau diturutin aku yang nggak siap. Ditolak, dia ngancam minta cerai." "Astagfirullah ... " Alfatih sampai beristighfar. Rumit juga rupanya masalah sahabatnya ini. "Ya udah, coba minta petunjuk sama Allah aja, El. Yang pasti apapun keputusannya, semoga itu yang terbaik untuk keluarga kecil kalian. Sayang banget kalau sampai cerai segala. Semua pasti bisa dibicarakan baik-baik tanpa harus memilih berpisah." Elfthan mengangguk setuju. Ia memang bertekad untuk terus menjaga rumah tangganya agar tetap utuh. "Aku sayang sama Viona. Nggak mungkin juga cerain dia. Mau kurangnya dia gimana pun, aku tetap terima. Tapi, soal menikah lagi aku benar-benar belum siap, Al." Alfatih ikut pusing mendengar cerita sang sahabat. Belum sempat ia memberikan tanggapan, terdengar pintu ruangan terketuk. Seorang perawat masuk lalu menyampaikan sebuah informasi kepada mereka berdua. "Dokter El dan Dokter Fatih, di minta Dokter Ashraf menghadap sekarang juga. Kata beliau, mau evaluasi kerja sekalian bahas jadwal praktik." Elfathan dan Alfatih serentak berdiri. Sama-sama memutuskan untuk segera keluar ruangan memenuhi panggilan Ashraf. *** "Pokoknya, kamu harus segera lamar Alanna, El." Entah sudah berapa kali kalimat itu Viona ulang. Sedang Elfathan sendiri terlihat cuek. Sengaja menulikan telinganya. Bahkan memilih untuk berkonsentrasi mengerjakan jurnal kesehatan yang sedang ia tulis di meja kerjanya. "El ... kamu dengar aku ngomong apa, kan?" Tanpa menoleh sedikitpun Elfathan mengangguk. "Ya, dengar," jawabnya singkat. Gemas, Viona yang tadinya sedang duduk di sisi ranjang memilih berdiri. Lalu melangkah besar mendekati suaminya yang sedang sibuk sendiri dengan pekerjaannya. "Kamu nggak merhatiin, aku!" Wanita itu dengan sengaja menarik pena yang sedang Elfathan genggam. Memasang wajah sebal karena sedari tadi sudah dicueki sang suami. "Vio ... " Elfathan mengalihkan pandangan matanya. Pria itu berucap lemah lembut. "Aku harus beresin kerjaan aku dulu." Viona menggelengkan kepalanya. Memang tabiatnya kalau ingin sesuatu harus segera dituruti. "Nggak boleh sampai kamu dengerin bener-bener apa yang lagi aku bahas." Elfathan berdecak. Alih-alih ingin marah, pria yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah saraf itu memilih untuk beristighfar berulang kali dalam hati. Meminta agar Tuhan terus menjaga kesabarannya. "Kamu maunya gimana?" Di tanggapi dengan pertanyaan seperti itu, tentu saja Viona langsung cemberut. Bisa-bisanya sang suami masih bertanya ia menginginkan apa. "Kok pake tanya maunya gimana? Maunya aku ya kamu buru-buru lamar Alanna, El. Setelah itu tentukan kapan kalian segera nikah. Aku udah konsultasi juga ke EO Wedding untuk selenggarakan pernikahan kalian." "Vio ... aku bahkan udah sekian lama nggak pernah ketemu sama Alanna. Gimana caranya langsung lamar apalagi buru-buru nikahin dia. Ini terlalu cepat," protes Elfathan. "Gampang," sahut wanita itu cepat. "Kalau yang jadi permasalahmu karena udah lama ngga saling ketemu, aku bisa atur pertemuan kalian berdua secepatnya. Biar kalian bisa saling ngobrol terlebih dahulu sebelum memutuskan tanggal lamaran dan pastinya tanggal pernikahan." Elfathan menghela napas berat. Sudah tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menolak. Viona sudah bertekad dengan kuat kalau ia harus menikahi wanita pilihannya. Mana bisa lagi keputusan itu di negosiasi. "Apa aku benar-benar harus menikah?" Alis mata Viona terangkat tinggi. "Apa ada cara lain supaya kamu punya keturunan selain menikah lagi? Kalau ada, utarakan aja. Aku siap melakukannya." "Kita bisa adopsi anak," sahut Elfathan pelan. Paling tidak dengan adopsi, ia tidak perlu menikahi wanita lain. Ia tetap bisa memiliki serta mengurus anak seperti pasangan normal lainnya. "Nggak!" Viona menggelengkan kepalanya. Wanita menolak mentah-mentah. "Aku maunya anak itu berasal dari darahmu, El. Darah keturunan Assegaf bukan anak orang ya nggak jelas nasabnya. Lagi pula, aku ikhlas kalau kamu punya istri kedua asalkan wanita itu bisa memberimu keturunan. Jadi, apa susahnya mengabulkan permintaanku? Bukannya di sini kamu juga diuntungkan? Di mana-mana, pria itu senang kalau di izinkan istrinya menikah lagi." "Astagfirullahhaladzim ..." Lagi, Elfathan beristighar. Bingung harus menyahut bagaimana. Bisa-bisanya sang istri menyamakannya dengan pria di luaran sana. Lagi pula, mau bersikeras seperti apapun sepertinya juga percuma. Keputusan Viona sudah bulat dan tidak bisa di ganggu gugat. "Pokoknya kamu harus ketemu sama Alanna dalam waktu dekat. Aku bakal atur pertemuan kalian berdua. Dan yang pasti, aku nggak terima penolakan dari kamu. Jadi, tolong El, jangan cari-cari alasan lagi." Selesai memberi penegasan, Viona memilih untuk beranjak pergi. Meninggalkan Elftahan yang masih saja bergeming di posisi duduknya. Catatan Medis: 1. Tes HSG : Tes kesuburan menggunakan foto Rontgen untuk mengambil gambar bagian dalam rahim, tuba fallopi, dan daerah sekitarnya. Prosedur ini juga bisa digunakan untuk mengetahui adanya masalah dalam rahim yang mungkin menghambat terjadinya pembuahan, seperti struktur abnormal di rahim dan penyumbatan pada tuba fallopi. 2. Tes Ovulasi : Salah satu tes untuk mendeteksi kapan masa subur seorang wania. 3. Histeroskopi adalah prosedur pemeriksaan kondisi leher dan bagian dalam rahim. Prosedur ini dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit atau penyebab ketidaksuburan dan membantu pengobatan kelainan pada rahim 3. Kanker Ovarium adalah Kanker yang terjadi karena adanya perubahan atau mutasi genetik pada sel-sel ovarium. Sel tersebut menjadi abnormal, serta tumbuh dengan cepat dan tidak terkontrol.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN