Nama yang Familiar

1321 Kata
Malam itu, di dalam kamarnya, Zaozah duduk termenung di depan cermin. Hatinya terasa begitu gelisah. Sejak kecil, ia selalu mengikuti keinginan orang tuanya, dan kini, ia harus menikah dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Tangannya meremas ujung hijabnya dengan gelisah. "Bagaimana kalau Ardi tidak menyukaiku? Bagaimana kalau dia menolakku?" pikirnya cemas. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Orang-orang selalu mengatakan bahwa ia cantik, berpendidikan, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun, apa itu cukup untuk seseorang yang bahkan belum pernah melihatnya? Bagaimana jika Ardi sebenarnya sudah memiliki seseorang yang ia cintai? Zaozah menarik napas dalam-dalam. "Aku belum siap," bisiknya pelan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Ia tahu, bagi kedua orang tuanya, pernikahan ini adalah hal yang baik. Ayah dan ibunya percaya bahwa Ardi adalah pria yang tepat untuknya. Tapi bagi dirinya sendiri? Ia bahkan tidak tahu apa yang ia rasakan. Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. "Zaozah, sudah tidur?" suara lembut ibunya terdengar. "Belum, Bu," jawabnya sambil berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Pintu terbuka, dan Bu Aina masuk dengan senyum hangat. Ia duduk di samping putrinya, menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Kamu kelihatan gelisah, Nak. Ada yang ingin kamu bicarakan?" Zaozah menunduk, ragu-ragu untuk mengungkapkan perasaannya. "Bu… bagaimana kalau Ardi tidak menginginkanku?" suaranya nyaris berbisik. Bu Aina mengusap punggung tangan putrinya dengan lembut. "Nak, kamu tidak perlu takut. Ayahnya sudah memastikan kalau Ardi setuju. Dan kamu adalah gadis yang baik, siapa yang tidak ingin memiliki istri seperti kamu?" Zaozah terdiam. Ia ingin percaya, tapi hatinya masih penuh keraguan. "Jika ada hal yang mengganggumu, katakan pada Ibu, ya?" Bu Aina tersenyum lembut, lalu mencium kening putrinya. "Jangan terlalu khawatir. Segalanya akan baik-baik saja." Setelah ibunya pergi, Zaozah kembali menatap bayangannya di cermin. Ia berharap bisa meyakinkan dirinya sendiri seperti ibunya. Tapi entah mengapa, ada perasaan aneh di dalam hatinya, seolah sesuatu yang buruk akan terjadi. Persiapan pernikahan Zaozah dan Ardi sudah hampir selesai. Gedung sudah dipesan, dekorasi sedang dalam proses pengerjaan, katering telah dipastikan, dan bahkan undangan sudah tersebar ke kerabat dan sahabat kedua keluarga. Semua orang sibuk menyambut hari besar itu, tinggal menunggu hari H saja. Di rumah keluarga Zaozah, suasana semakin ramai. Para saudara mulai berdatangan untuk membantu, sementara Bu Rina dan Pak Hasan tampak begitu bahagia. "Alhamdulillah, sebentar lagi putri kita akan menikah," ujar Pak Hasan dengan penuh kebanggaan. "Ya, semoga semua berjalan lancar," timpal Bu Rina sambil tersenyum. Namun, di tengah kesibukan itu, hanya Zaozah yang masih merasa gelisah. Ia berusaha ikut larut dalam kebahagiaan keluarganya, tapi hatinya masih penuh tanda tanya. Bagaimana nanti saat ia bertemu dengan Ardi? Bagaimana jika semuanya tidak berjalan seperti yang ia harapkan? Sementara itu, di rumah keluarga Ardi, suasana justru berbanding terbalik. Pak Faris masih mencoba mencari cara terbaik untuk menyampaikan kabar buruk ini kepada keluarga Zaozah. Ardi sendiri tampak semakin tertekan, apalagi melihat persiapan yang sudah hampir selesai. "Yah, kita harus bicara dengan Pak Hasan secepatnya," ujar Ardi dengan suara penuh beban. Pak Faris mengangguk pelan. "Ya, kita tidak bisa menunda lagi. Ini sudah terlalu jauh." Mereka tahu, keputusan ini akan mengecewakan banyak orang, terutama keluarga Zaozah. Tapi bagaimana pun, kebenaran harus diungkapkan sebelum semuanya semakin terlambat. Sementara itu, Zaozah masih belum tahu apa yang sedang terjadi. Ia masih berusaha menenangkan dirinya, tidak menyadari bahwa dalam waktu dekat, hidupnya akan berubah dalam cara yang tidak pernah ia duga. ◇◇◇◇◇◇◇◇ Athar tiba di bandara dengan koper besar dan ransel di punggungnya. Wajahnya tampak lelah setelah menempuh penerbangan panjang dari luar negeri, tetapi ada binar semangat di matanya. Ia pulang demi menghadiri pernikahan kakaknya, Ardi, sebuah momen penting bagi keluarganya. Saat keluar dari bandara, ia disambut oleh sopir keluarga yang sudah menunggunya. "Selamat datang, Tuan Muda Athar," ucap pria itu sambil membawakan kopernya ke dalam mobil. "Terima kasih, Pak Amir," Athar tersenyum. "Bagaimana kabar Ayah dan Ibu? Mereka pasti sibuk dengan persiapan pernikahan, ya?" Pak Amir mengangguk. "Benar sekali, Tuan Muda. Persiapan sudah hampir selesai. Undangan sudah disebar, tinggal menunggu hari pernikahan saja." Athar mengangguk. Ia memang tidak terlalu mengikuti perkembangan pernikahan Ardi selama ini karena sibuk menyelesaikan S2 dan magang di perusahaan besar di luar negeri. Namun, ia percaya jika Ayahnya sudah memilihkan calon istri untuk Ardi, pasti itu adalah wanita yang baik. Di perjalanan menuju rumah, Athar membayangkan seperti apa calon kakak iparnya. "Namanya siapa, Pak?" tanyanya penasaran. Pak Amir melirik Athar melalui kaca spion dan tersenyum. "Nona Zaozah, putri dari sahabat Ayah Anda." Athar yang sedang melihat pemandangan di luar jendela mendadak terdiam. Matanya membesar, dan dadanya terasa sesak. Nama itu… terlalu familiar di telinganya. "Siapa tadi, Pak?" tanyanya lagi, seolah butuh kepastian. "Zaozah, Tuan. Nona Zaozah." Athar terdiam. Tiba-tiba, kenangan lama berputar di pikirannya. Zaozah—gadis berhijab yang dulu sangat dekat dengannya. Gadis yang pernah menjadi sahabatnya sebelum ia pergi ke luar negeri. Gadis yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan percakapan panjang. Tapi mereka tidak berpisah dengan baik. Ada kesalahpahaman, ada jarak yang membuat hubungan mereka merenggang. Dan sekarang… dia akan menikah dengan Ardi? Athar meremas jemarinya dengan gelisah. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana saat bertemu Zaozah nanti. Yang jelas, ia tidak pernah menyangka kepulangannya kali ini akan mempertemukannya kembali dengan seseorang dari masa lalunya—dengan status yang jauh berbeda dari yang ia bayangkan. Sesampainya di rumah besar keluarganya, Athar disambut dengan hangat oleh kedua orang tuanya. Begitu ia melangkah masuk, ibunya, Bu Anita, langsung memeluknya erat. "Athar, akhirnya kamu pulang juga! Ibu rindu sekali," ucap Bu Rina dengan mata berkaca-kaca. Athar tersenyum dan membalas pelukan ibunya. "Aku juga rindu, Bu." Ayahnya, Pak Faris, yang berdiri di samping, menepuk pundaknya dengan bangga. "Kau makin dewasa, Nak. S2-mu sudah selesai, dan sekarang bisa berkumpul dengan keluarga lagi." Athar mengangguk. "Alhamdulillah, Yah. Aku senang akhirnya bisa pulang, apalagi untuk acara penting seperti pernikahan Kak Ardi." Mereka kemudian duduk di ruang keluarga yang megah, berbincang panjang tentang kehidupannya di luar negeri, pekerjaannya, serta bagaimana keadaan keluarga di rumah selama ia pergi. "Persiapan pernikahan sudah hampir selesai, Nak," ujar ibunya. "Tinggal beberapa hari lagi. Kamu pasti suka dengan calon istri Ardi. Dia gadis yang baik." Athar hanya tersenyum kecil. Ia masih belum berani menanyakan lebih jauh tentang Zaozah. Ada sesuatu dalam hatinya yang belum bisa ia pahami. "Kamu sudah bertemu Ardi?" tanya ayahnya. Athar menggeleng. "Belum. Kak Ardi di mana?" Pak Faris dan Bu Anita saling bertukar pandang sebelum akhirnya Pak Faris menjawab, "Dia sedang keluar. Ada yang harus dibicarakan." Athar mengernyit. Sejak ia tiba, ada sesuatu yang terasa janggal. Ia bisa merasakannya dalam cara kedua orang tuanya berbicara. Namun, ia memilih untuk diam dan menunggu waktu yang tepat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sementara itu, di tempat lain, Ardi tengah berjuang menghadapi kenyataan yang sulit—bahwa ia harus segera mengambil keputusan besar yang akan mengubah banyak hal, termasuk pernikahannya dengan Zaozah. ~~~~~~~~~~~~~~ Malam itu, keluarga Zaozah berkumpul di ruang tamu dengan penuh antusias. Pak Hasan baru saja menerima telepon dari Pak Faris yang mengabarkan bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk silaturahmi sebelum pernikahan. "Alhamdulillah, akhirnya mereka akan datang," ujar Pak Hasan dengan wajah berbinar. Bu Aina tersenyum sambil merapikan jilbabnya. "Ini pertanda baik. Semoga semuanya berjalan lancar sampai hari pernikahan." Sementara itu, Zaozah duduk diam di sudut ruangan, mendengarkan pembicaraan orang tuanya tanpa banyak bicara. Jantungnya berdebar kencang. Besok ia akhirnya akan bertemu dengan calon suaminya, Ardi. Namun, ia masih belum bisa menghilangkan kegelisahan di hatinya. "Zaozah, kamu kenapa diam saja?" tanya ibunya, memperhatikan wajah putrinya yang tampak sedikit pucat. Zaozah tersenyum tipis. "Aku hanya sedikit gugup, Bu." Bu Aina menggenggam tangan putrinya dengan lembut. "Itu wajar, Nak. Tapi percayalah, Ardi pasti laki-laki yang baik. Ayahnya dan ayahmu sudah bersahabat lama, dan keluarga mereka sangat terhormat." Zaozah mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya masih ada keraguan. Malam itu, ia berusaha menenangkan dirinya, berharap semuanya akan berjalan sesuai harapan. Namun, ia tidak tahu bahwa kedatangan keluarga Ardi keesokan harinya akan mengubah hidupnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan. Bagaimana perasaan keluarga Zaozah jika Ardi batal menikahinya? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN