Setelah mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, Athar mengambil kunci mobil dan tanpa ragu berjalan keluar dari kamar hotel, meninggalkan Zaozah sendirian. Pintu tertutup dengan suara yang terdengar begitu dingin, seolah menegaskan jarak yang semakin lebar di antara mereka.
Zaozah masih berdiri di tempatnya, gaun resepsi yang indah kini terasa begitu berat di tubuhnya. Matanya memandang ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan Athar, berharap ia kembali. Namun, harapan itu hanya sia-sia.
Perlahan, ia berjalan ke tepi ranjang dan duduk. Tangannya mengepal di atas pahanya, menahan gejolak emosi yang tak bisa ia kendalikan lagi. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya.
"Kenapa semua harus terjadi seperti ini?"
Dulu, ia begitu yakin akan menikah dengan Ardi, laki-laki yang bahkan belum ia temui, semenjak mereka remaja, tetapi telah ia persiapkan dalam hati. Namun, semuanya berubah begitu cepat. Ardi menikahi Nayla, dan kini ia harus menerima takdir menikah dengan Athar—laki-laki yang ternyata memiliki luka masa lalu karena dirinya.
"Ya Allah, jika ini awal yang harus aku lalui, maka kuatkanlah ya Allah."
Zaozah mengusap wajahnya yang basah. Ia tidak mengerti kesalahan apa yang telah ia lakukan pada Athar di masa lalu hingga laki-laki itu begitu membencinya sekarang.
Malam yang seharusnya menjadi awal yang indah bagi pernikahan mereka malah menjadi malam penuh luka. Dan yang lebih menyakitkan, Zaozah tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semuanya.
Athar melajukan mobilnya dengan cepat di tengah malam, menuju tempat yang selama ini menjadi pelariannya setiap kali ia merasa tertekan, klub malam eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu. Begitu masuk, suara musik berdentum keras, lampu-lampu warna-warni berkedip liar, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara.
Beberapa temannya sudah menunggu di VIP lounge, menyambutnya dengan penuh semangat. Salah satu dari mereka, Reza, menepuk bahu Athar sambil tertawa. “Bro, pengantin baru kok malah kabur ke sini? Gak betah sama istri, ya?”
Athar hanya menyeringai sinis dan mengambil gelas di depannya. “Jangan bahas itu,” jawabnya dingin sebelum meneguk minumannya.
Malam itu, Athar berusaha melupakan semuanya. Rasa sesak di dadanya, kemarahan yang belum reda, dan kenyataan bahwa ia telah menikahi seseorang yang masih menyisakan luka lama baginya.
Seorang wanita cantik dengan gaun ketat duduk di sampingnya, tersenyum menggoda. “Athar, kamu kelihatan tegang. Biar aku bantu buat kamu rileks,” bisiknya sambil menyentuh lengannya.
Athar menoleh, menatap wanita itu sekilas. Wajahnya memang cantik, tubuhnya sempurna, dan senyumannya menggoda. Tapi anehnya, yang ada di pikirannya saat ini bukan wanita itu—melainkan Zaozah.
Tanpa sadar, ia menggumamkan nama istrinya. “Zaozah…”
Wanita itu mengernyit, bingung. “Apa?”
Athar tersadar dan menggeleng cepat. “Bukan apa-apa.”
Reza yang mendengar itu langsung terkekeh. “Gila, bro. Katanya gak suka, tapi kok malah nyebut nama istri?”
Athar mendengus kesal, meneguk minumannya lagi, mencoba mengabaikan pikiran yang mulai mengacaukannya. Namun, sekeras apa pun ia mencoba lari, bayangan Zaozah tetap menghantuinya.
Reza dan teman-teman lainnya semakin gencar menggoda Athar. Mereka tertawa sambil mengangkat gelas masing-masing, menikmati bagaimana pengantin baru itu malah kabur ke klub malam di hari pernikahannya.
“Harusnya sekarang lo ada di kamar hotel sama istri lo, bukan di sini,” ejek Dani sambil menyalakan rokoknya.
“Apa jangan-jangan lo takut, bro?” Reza menambahkan dengan nada menggoda. “Istri lo terlalu polos buat lo?”
Athar hanya menyeringai, menggeleng pelan. “Bukan urusan kalian,” jawabnya datar.
“Tapi serius, sih,” wanita yang sedari tadi duduk di sebelahnya mulai bicara, tangannya mencoba meraba lengan Athar. “Kamu punya istri cantik dan masih segar, tapi malah lari ke sini? Apa dia gak cukup menarik buatmu?”
Athar terdiam sejenak. Bayangan Zaozah dengan gaun pengantinnya yang anggun tiba-tiba melintas di benaknya. Mata penuh ketakutan itu, wajah yang memerah menahan tangis saat ia meninggalkannya tadi di kamar hotel…
Tanpa sadar, ia mendengus dan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Gue gak mau bahas dia.”
“Wah, denial banget sih lo,” Reza terkekeh, menuangkan lagi minuman ke gelas Athar. “Tapi jujur aja, lo gak ada rasa sama sekali sama dia?”
Athar terdiam. Jika dia jujur, dia memang merasakan sesuatu—sesuatu yang membuat dadanya bergejolak. Ada amarah, ada dendam, tapi juga ada perasaan lain yang tak ingin dia akui.
Dengan gerakan cepat, Athar meneguk minumannya, lalu bangkit berdiri. “Gue pulang,” katanya tiba-tiba, membuat semua orang terkejut.
“Eh, serius?” Dani menatapnya heran. “Baru aja mulai seru.”
Tapi Athar tak peduli. Entah kenapa, pikirannya mulai dipenuhi oleh Zaozah lagi. Dan itu membuatnya semakin frustrasi. Tanpa banyak bicara, ia mengambil kunci mobil dan berjalan keluar dari klub malam, meninggalkan teman-temannya yang masih bersorak dan menggoda di belakang.
"Arrrrgh, kenapa wajahnya selalu membayangiku."Athar memukul gagang setir mobilnya.
Athar membuka pintu kamar hotel dengan hati-hati. Pukul 03.00 pagi, suasana kamar begitu hening, hanya terdengar suara hembusan pendingin ruangan. Ia melangkah masuk dengan ragu, mengira Zaozah mungkin sudah tidur di ranjang.
Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok istrinya yang tertidur di atas sajadah, masih mengenakan mukena putih.
"Aneh, sedang apa dia, kenapa tidur disitu?"
Athar diam di tempat, menatapnya lama. Wajah Zaozah terlihat begitu tenang dalam tidurnya, sisa air mata masih membekas di pipinya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergejolak saat melihat itu rasa bersalah yang perlahan merayap di hatinya.
Tanpa suara, ia berjalan mendekat. Ia menghela napas panjang sebelum berjongkok di sampingnya. "Kenapa dia tidur seperti ini? Kenapa dia tidak naik ke ranjang?"
"Merepotkan saja."
Athar menelan ludah. Ia tidak tahu kenapa ada perasaan tidak nyaman di dadanya. Perlahan, ia menyelipkan satu tangan di bawah lutut Zaozah dan satu lagi di belakang punggungnya, lalu mengangkat tubuhnya dengan hati-hati. Tubuh mungil itu terasa ringan di pelukannya, dan untuk sesaat, aroma wangi lembut dari mukena Zaozah menyentuh hidungnya.
Saat ia membaringkan Zaozah di ranjang, perempuan itu sedikit menggeliat, kelopak matanya hampir terbuka. Athar menahan napas, berharap Zaozah tidak terbangun. Namun, perempuan itu hanya menarik napas pelan, lalu kembali terlelap.
Athar berdiri di samping ranjang, menatapnya dalam diam. Ia mengusap wajahnya sendiri, frustrasi dengan perasaannya yang berantakan. Seharusnya ia masih marah, seharusnya ia tetap pada niatnya untuk menjaga jarak. Tapi melihat Zaozah seperti ini, terluka dan ketakutan, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai goyah.
Tanpa berkata apa-apa, Athar mengambil selimut dan menyelimuti tubuh istrinya dengan lembut. Ia lalu melangkah mundur, duduk di sofa, menatap langit-langit kamar hotel yang gelap. Malam ini seharusnya penuh kebencian, tapi justru hatinya dipenuhi kebingungan.
"Sial, batinnya. Kenapa aku tidak bisa benar-benar membencinya?"dengus pelan Athar.
Athar menghela napas panjang, lalu bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar mandi. Ia menatap bayangannya di cermin, melihat wajah lelah dan kusut yang dipantulkan di sana. Malam ini seharusnya menjadi malam pertama, tapi bukannya bersama istrinya, ia malah pergi ke klub malam dan pulang dengan hati yang penuh kekacauan.
Dengan cepat, ia membersihkan diri, mencuci wajahnya berulang kali seolah ingin menghapus semua pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Setelah itu, ia mengenakan kaus putih dan celana tidur, lalu keluar dari kamar mandi.
Matanya kembali tertuju pada sosok Zaozah yang masih tertidur di ranjang, tubuhnya terbungkus selimut dengan rapi. Napasnya teratur, wajahnya terlihat damai meski ada bekas lelah di sana.
Athar mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju sofa di sudut ruangan. Ia mengambil bantal, melemparkannya ke sofa, lalu merebahkan tubuhnya di sana.
Dia tidak ingin tidur satu ranjang dengan Zaozah. Bukan karena tidak tertarik, tapi karena hatinya masih bergejolak. Ada banyak hal yang belum terselesaikan di antara mereka, terlalu banyak luka dan kebingungan yang ia rasakan.
Athar menutup matanya, mencoba tidur, tapi pikirannya tetap penuh dengan bayangan Zaozah. Dendam, cinta, marah, dan perasaan tak terdefinisi bercampur menjadi satu.
"Seandainya saja, perasaanmu sama sepertiku, yang tak pernah berubah, mungkin ... aku tak sebenci ini padamu Zaozah."Athar mengeratkan rahangnya.
"Seandainya...kakakku tak punya kekasih, mungkin...kau sudah menjadi istri kakakku."Athar mengepalkan tangannya, perasaan cinta dan benci kini memenuhi relung hatinya secara bersamaan.
Malam ini seharusnya menjadi awal dari kehidupan baru mereka. Tapi nyatanya, justru menjadi awal dari kebingungan yang lebih besar.