4

1267 Kata
Syaquilla mengerjapkan mata. Tenggorokannya terasa kering. Ia ingin minum. Ketika mencoba bangkit dari tidurannya, ia merasa sesuatu yang ganjal di tangan kanannya. Saat menoleh, ia bisa melihat jarum infusan tertempel disana. Apa yang terjadi? Syaquilla mencoba mengingat lagi. Tadi ia tiduran di sofa dan bermimpi bertemu Gilang. Gilang? Ya. Itu hanya mimpi. Pria itu berdiri di sana sana tampak mengkhawatirkannya. Lalu semuanya kembali menggelap. Apa ia pingsan? Carina memanggilkan dokter untuknya? Syaquilla membuka selimutnya dan turun dari tempat tidur. Lantai marmer di bawahnya terasa dingin di telapak kakinya. Meskipun tubuhnya terasa lebih segar dibanding sebelumnya, dan kepalanya sudah tidak terasa sakit, tapi tubuhnya masih lemas. Qilla melepas jarum infus dengan perlahan. Punggung tangannya terasa tercubit saat plester dan jarum itu lepas. Ia membuka pintu dan melihat Carina yang duduk di meja bar, sibuk dengan tabletnya. "Sudah bangun?" Tanyanya dengan mimik khawatir. Syaquilla hanya mengangguk. "Sudah merasa lebih baik?" Tanyanya lagi seraya menyodorkan air putih ke hadapan Syaquilla. "Hmm.." jawabnya dan meminum air hangat itu sampai tandas. "Maaf, tadi minimarket entah kenapa mendadak penuh." Ucapnya lagi. Carina mengambil sebuah piring dan menyodorkan sebuah box makanan ke arahnya. "Makanlah, tadi dihangatkan sebentar." Carina membuka bungkusan nasi dan meletakannya di atas piring sementara ia membuka box yang ia tahu isinya adalah makanan favoritnya. "Thanks." Ucapnya, lalu mencubit ayam dalam ukuran besar dan memasukannya ke dalam mulut. Pedas gurihnya sambal membuat napsu makannya bangkit begitu saja. "Bagaimana dengan janji kita sama pemilik ruko?" Tanyanya disela suapannya. "Udah di cancel. Besok pagi aja kita kesana." Jawab Carina santai. Matanya masih fokus pada tabletnya. "Ada apa? Kabar baru?" Tanya Syaquilla ingin tahu. Carina menyodorkan tabletnya, menunjukkan foto-foto pemandangan yang indah. "Ada tawaran pemotretan untuk produk jaket. Beberapa lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah." Ucapnya menunjukkan beberapa lokasi dan foto produk yang akan digunakan. "Bagus. Gimana kontraknya?" "Tawarannya sih oke. Akomodasinya juga oke. Waktunya aja yang gak oke." "Emang kenapa? Kamu gak lagi ngerjain proyek apa-apa kan?" "Enggak sih, cuma kan kita masih harus fokus ke cafe dulu." "Udah, biar cafe aku yang urusin. Lagian kita kan mau ceklok besok. Kamu dah deal masalah harga, tinggal gimana besok aja." "Iya. Tapi kan..." "Udahlah, ga ada tapi. Aku bisa handle kok. Gak usah khawatir." Jawab Syaquilla menenangkan. Ia membawa piring dan gelas kotornya ke bak cuci piring. "Kok udah bangun, bukannya minta dibangunin pas makan malam?" Tanya Carina pada sosok yang berdiri di belakangnya. "Udah cukup, kelamaan tidur ntar malah busuk mata." Jawaban dari suara itu membuat tubuh Syaquilla mematung seketika. "Kamu dah mendingan, La?" Tanya suara itu kepadanya. Syaquilla mematung, antara percaya dan tidak. "La, you okay?" Suara Carina terdengar khawatir. Syaquilla berbalik dan melihat kedua orang itu berdiri begitu dekat dengannya. Tangan kekar itu menyentuh dahinya dengan punggung tangannya. "Suhu tubuhnya oke. Kamu masih pusing?" Tanya pria itu dengan tatapan menyelidik. Qilla menggeleng. "Lemes?" Qilla mengangguk. "Bikinin teh manis, Rin. Biar gula darahnya naik." Perintah pria itu dan berjalan menjauh meninggalkan dirinya yang masih tertegun. Ini bukan mimpi kan? Dia benar-benar sudah bangun dan memang pria itu berdiri di hadapannya dan memeriksa kondisinya. "Jangan ngelamun, ntar kesambet." Goda Carina di dekatnya. Bisikan pelan itu membuat wajahnya terasa panas. Qilla mendelik ke arah sahabatnya, yang dibalas dengan cengiran penuh arti. "Uncle kapan datang?" Tanyanya setelah bisa menetralkan degup jantungnya. "Tadi subuh landing, nunggu bagasi trus kesini." Jawab pria itu santai. Ia menyalakan tv dengan remote yang sudah ada dalam pegangannya. "Mama udah tahu kalo uncle pulang?" Pria itu menggeleng. "Nanti aja, kalo dah puas istirahat, baru bilang. Kayak yang gak tahu mama kamu aja. Cerewetnya minta ampun." Dengus Gilang. Qilla hanya tersenyum. Syukurlah pria itu lebih memfokuskan pandangannya pada layar televisi, sehingga ia bisa puas memandangi pria yang sudah lama tak dijumpainya itu. Carina menyenggolnya dan menyodorkan segelas teh manis hangat. Qilla meneguknya setelah menggumamkan terima kasih. "Kita dapet oleh-oleh gak?" Tanya Carina yang sekarang duduk di samping pamannya. "Gak. Sayang ngasih kalian oleh-oleh. Cuma buang-buang duit." Jawab Gilang tanpa ekspresi. Qilla tersenyum. Tak ada yang berubah dari Gilangnya. Gilangnya? Sejak kapan pamannya menjadi Gilangnya. Pria itu bahkan tak pernah menganggapnya sebagai wanita. Nada dering ponsel Qilla terdengar cukup keras meskipun ada di dalam tas tangannya. Carina yang memang duduk tidak jauh dari tempat dimana tas nya berada langsung merogoh tas nya dan melihat si penelepon. "Natta." Carina menyerahkan ponselnya ke tangan Qilla. Qilla meraihnya dan berjalan menuju tempat menjemur pakaian. "Iya?" "Kamu dimana?" "Di apartemen Carina, Mas. Mas dimana?" "Baru pulang kerja. Mau aku jemput sekalian? Kita bisa makan malam bareng diluar." Tawar pria itu dengan nada lembutnya seperti biasa. "Qilla baru aja makan, Mas. Mas mau makan dimana? Biar Qilla temenin." "Ohh.. kamu udah makan. Ya udah gak papa. Kamu baik-baik aja kan? Kok lemes gitu?" "Sedikit gak enak badan. Ini baru bangun tiduran. Masih lemes." Jawabnya jujur. "Oh, ya udah. Istirahat lagi aja. Mau Mas bawain sesuatu?" "Gak usah Mas. Ga perlu repot-repot. Mas juga istirahat aja. Gak usah maksain kesini. Nanti juga Qilla pulang ke rumah dianterin Rina." "Ya udah, take care ya. Get well soon, beib. Love you." "Love you too." Jawab Syaquilla dengan nada datar seperti biasanya. Kemudian telepon terputus. Syaquilla kembali ke ruang tengah. Carina dan Gilang masih duduk di tempatnya semula. "Natta mau kesini?" Tanya Carina yang dijawab gelengan kepala. "Enggak. Aku suruh dia gak kesini." Jawabnya pelan seraya memasukkan kembali handphone nya ke dalam tas. Ia menyampirkan tas mungilnya di bahu lalu membetulkan posisi kerudungnya yang tadi sempar Carina buka. "Mau kemana? Katanya Natta gak kesini." Tanya Carina bingung. "Mau pulang. Makan malam di rumah aja." Jawabnya setelah kerudungnya terpakai sempurna. "Uncle gak usah khawatir, Qilla gak bakal bilang-bilang ke Mama kok kalo uncle udah pulang." Ucapnya dengan senyum penuh arti. "Selama upahnya sesuai." Lanjutnya singkat. Lalu ponselnya kembali berdering. "Iya pak, tunggu diluar aja. Saya turun sekarang." Ucapnya pada si penelepon yang tidak lain adalah supir taksi online. "Pulang dulu ya, Assalamualaikum." Ucapnya sambil berlalu. Gilang menatap Carina penuh tanya. "Apa?" Tanya Carina dengan kedua alis terangkat. "Siapa itu Natta?" Tanyanya ingin tahu. "Natta? Dia pacarnya Qilla." Jawab Carina datar. "Pacar? Syaquilla punya pacar?" Tanya Gilang tak percaya. "Hellow, uncle. Qilla itu cewek normal. Tentu saja dia punya pacar. Memangnya uncle harap dia jomblo selamanya?" "Gak kayak gitu juga. Cuma uncle ngerasa gak yakin aja." "Gak yakin kenapa? Memang apa yang salah sama Qilla? Dia cantik, pinter, bisa usaha, dan kaya pula. Dan lebihnya, dia itu cewek yang setia. Apa yang kurang coba. Beruntung si Natta diterima sama si Qilla. Diluar sana banyak cowok lain yang lebih baik dari si Natta, lebih tampan, mapan, lebih segalanya. Sayang aja si Qilla malah milih Natta." "Kalo kamu gak suka sama si Natta, kenapa gak kamu larang?" "Please deh uncle. Jangan lebay. Itu urusan Qilla mau nerima trus cinta sama siapa aja. Yang mau nikah kan dia, bukan aku. Yang jalanin juga dia. Aku cuma ngasih nasehat aja, diterima sukur, enggak juga gak apa-apa. Lagian si Natta itu kan pilihan Granny sama Baba. Jadi udah pasti dipilih bibit bebet bobotnya." "Jadi dia dijodohin? Kok dia mau aja?". Carina mengangkat bahu. "Daripada nungguin sesuatu yang gak jelas akhirnya, mendingan dia nerima yang ada di depan mata. Daripada menunggu balasan cinta, lebih baik nerima orang yang udah jelas cinta sama kita. Toh orang banyak yang bilang 'cinta ada karena terbiasa'." "Apa maksud kamu, uncle gak ngerti." "Aku gak nyuruh uncle buat ngerti kok." Jawabnya santai." Carina lalu masuk ke dalam kamarnya. Memilih untuk tidur dan membiarkan pamannya sibuk dengan pikirannya sendiri. Suruh siapa dia menolak perasaannya sendiri. Sudah jelas sekali kalau pamannya itu juga punya perasaan terhadap Syaquilla. Namun bodohnya, pamannya itu malah memilih menghindari kenyataan yang dirasakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN