2. Pernikahan Rahasia

1741 Kata
Aku menulis namamu di antara bintang, Namun malam selalu menyimpannya begitu rapat, Tidak ada yang tahu, Selain hatiku dan jantung yang terus berdetak keras setiap ingat kamu. *** “Pak Prabu, maafkan saya, saya akan melunasinya hutang ayah saya, tapi mohon beri saya waktu,” ucap Zevana seraya berlutut, meletakkan piring berisi singkong rebus yang masih mengepul itu di atas tanah yang masih tampak setengah basah. “Siapa nama kamu?” tanya Prabu. Zevana tak berani untuk sekedar mendongak, dia merasa sangat ciut. “Zevana ... Althea Zevana,” cicitnya ketakutan. “Zevana, hmmm berdiri lah, ada yang perlu kita bicarakan,” ucap Prabu, lalu dia menoleh ke arah Rama yang hanya menunduk pasrah, “Kalian tolong tinggalkan kami berdua,” ucap Prabu. Rama mengajak pengawas lain meninggalkan tempat itu dan menjauh. Zevana berdiri dan mengambil piring singkongnya yang tergeletak di bawah itu, membiarkan Prabu berjalan lebih dulu ke dalam rumahnya. Kasur di atas dipan sudah dia lipat, dia sudah berkemas dan beberapa barang sudah dimasukkan dalam kardus, rencananya dia akan pergi esok hari. “Kamu mau pergi?” tanya Prabu. “I-iya Pak, saya mau kembali merantau ke ibu kota dan mencicil hutang,” ucap Zevana. “Usia kamu berapa?” tanya Prabu. “Dua puluh satu tahun, Pak,” ucap Zevana. Prabu tak duduk sama sekali, dia hanya mengedarkan pandangan ke rumah yang baginya tampak seperti kandang, debu terlihat di mana-mana. Dinding dari bambu dan juga bilik yang lusuh seperti sudah habis dimakan zaman. Prabu meneliti wajah gadis muda itu, mata yang sembab karena terlalu sering menangis, tubuh ringkih karena sering menahan lapar. Ada rasa iba yang terselip di dadanya, tapi juga sebuah rencana yang telah lama dia simpan seorang diri. “Saya mohon beri waktu,” ucapnya dengan suara bergetar. “Saya tidak datang untuk menagih hutang,” ucap Prabu pelan, tapi suaranya cukup menusuk. “Lalu untuk apa bapak datang?” tanyanya, sedetik kemudian merutuki pertanyaan bodoh itu, dia pemilik perkebunan yang sangat luas ini, apa lagi yang harus ditanyakan? Dia bebas ke mana saja kan? Prabu menghela napas, memalingkan wajah sejenak ke arah pintu keluar, lalu dia berjalan ke depan pintu untuk memperhatikan kebun sawitnya yang membentang luas, “saya sudah lama sendiri, keluarga saya terus mendesak untuk saya menikah lagi. Setiap bulan ada saja perempuan yang dijodohkan pada saya. Dan ... saya lelah,” ucapnya dengan suara yang nyaris putus asa. Zevana melangkah maju, memperhatikan punggung lelaki itu, tampak turun seperti tak bersemangat. Zevana mencoba mencari tahu ke mana arah pembicaraan itu? Hingga Prabu membalik tubuh dan menatap Zevana yang hanya berjarak dua langkah darinya, “menikahlah dengan saya Zevana.” Gadis itu sontak terperanjat, dia mundur satu langkah, wajahnya memucat, “a-apa?” tanyanya tak percaya. “Saya tidak akan menyentuhmu,” lanjutnya cepat, seperti tahu apa yang ada di benaknya, “sejak lama saya tidak mampu. Tapi saya butuh seorang yang mampu meredam desakan keluarga. Dan kamu butuh perlindungan, butuh tempat tinggal. Kamu sebatang kara sekarang, hutangmu pun akan saya anggap lunas,” tuturnya. Zevana menggeleng tak berdaya, menggenggam ujung rok lusuhnya, jantungnya berdegup kencang. Menikah? Dengan Prabu? Pria yang bahkan usianya lebih tua dari ayahnya sendiri. “Saya tahu ini terdengar gila,” ucap Prabu lebih lembut, ada nada frustasi dari suara yang keluar dari mulutnya, “tapi ini akan jadi rahasia kita. Tidak seorang pun perlu tahu. Anggap saja kita sedang berpura-pura. Saya bisa memberikan semua yang kamu mau, harta? Tahta? Kamu bisa kuliah lagi, kamu bisa mewujudkan cita-cita kamu. Kamu hanya perlu berpura-pura jadi istri saya,” ungkapnya. Air mata menggenang di mata Zevana. Tawaran itu seperti tali penyelamat, sekaligus jerat yang bisa mencekiknya kapan saja. Dia tidak punya siapa-siapa lagi. Tidak ada tempat pulang, tidak ada uang untuk hidup. Dengan suara lirih, hampir tak terdengar, Zevana akhirnya menjawab, “baiklah Pak, saya terima .... .” Dan dari sini lah sebuah pernikahan pura-pura dimulai, tanpa restu, tanpa sentuhan, dengan rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu. Rahasia yang kelak akan berubah menjadi badai ketika cinta pertama Zevana kembali hadir dalam hidupnya. Sebagai anak lelaki dari suaminya sendiri. *** Langkah pertama Zevana di rumah besar milik Prabu terasa seperti memasuki dunia asing. Lantai marmer dingin, lampu gantung kristal dan lorong panjang penuh lukisan besar itu membuatnya ingin segera bersembunyi kembali ke rumah kayu sederhana yang telah ditinggalkannya. Namun, takdir sudah menariknya sejauh ini. Dia dihela oleh pelayan rumah besar itu ke dalam kamar yang sangat besar dan luas. Zevana dipersilahkan untuk mandi, memakai baju yang disiapkan. Prabu sudah menelepon kepala pelayan untuk membelikan baju untuk Zevana. Dia sudah keluar kembali, rambutnya terurai separuh, mengenakan baju rumahan yang tampak santai namun anggun dan berkelas, gaun dengan rok panjang selutut berwarna putih. Wajahnya tanpa make up terlihat natural. Dia duduk di ruang tamu, dengan wajah canggung yang kentara. Dari ruang tamu yang luas itu terdengar suara sepatu berhak menghentak. Seorang perepuan tinggi semampai berjalan dengan postur tegak, rambut pirangnya tersanggul rapi. Kulitnya yang putih nyaris tak tersentuh usia, bukti perawatan mahal yang dia jalani. Meski sudah 75 tahun, auranya masih tampak gagah dan berkelas, bagaikan ratu yang terbiasa memberi perintah. Diana. Ibu dari Prabu Alvarendra, perempuan belanda yang dulu menikah dengan ayahnya. Pria pribumi pemilik lahan sawit yang diwariskan hingga kini menjadi perusahaan minyak raksasa. Tatapannya tajam, seperti mata elang yang mengamati mangsa, begitu melihat Zevana, dia berhenti sejenak lalu tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan seringaian dan ekspresi mengejek. “Jadi ... ini dia? Dua hari kamu tidak pulang dan membawa seorang dari rumah kayu reyot di pinggir kebun. Kalian benar sudah menikah?” tanya Diana. Zevana menunduk, menggenggam erat jemarinya sendiri. menebak yang akan datang ke hidupnya. Diana berjalan mendekat, setiap langkahnya seperti mengirimkan rasa dingin, dia menatap Prabu yang duduk di samping Zevana. “Prabu, kamu sungguh keterlaluan. Dari sekian banyak perempuan terhormat, kamu malah memilih ... sampah desa? Apa yang ada di pikiranmu?” “Mi.” Prabu mencoba menahan ledakan emosi ibunya. Namun, Diana tidak beerhenti. Matanya meneliti Zevana dari kepala hingga kaki. Seolah menilai kualitas barang dagangan. “Gadis seperti ini ... apa yang bisa dia beri? Kecuali menempel seperti lintah, menguras hartamu sampai kering, membawa seluruh saudaranya untuk menghisap harta itu bersama-sama, dan menertawakan di belakang!” Zevana tetap diam. Kata-kata itu begitu menusuk, namun dia tahu tak ada yang bisa dia lakukan. Menjawabnya saat ini hanya akan memperburuk keadaan. Diana tersenyum sinis, lalu menoleh ke arah Prabu, “seharusnya kamu menikah dengan Miralda, wanita berkelas. Pengusaha perhiasan sukses yang tahu bagaimana menjaga nama keluarga, bukan gadis kampung yang bahkan tidak pantas duduk di kursi ini.” Nama Miralda bukan nama asing bagi Prabu. Wanita itu memang yang paling sering dijodohkan keluarganya, cantik, manipulatif dan haus kekuasan. Dia sangat pandai meraih hati Diana dengan bibirnya yang manis, namun ... prabu selalu menolaknya. Dia tahu ular betina seperti itu bahkan tak bisa mendapatkan sekecil apa pun celah di hatinya. “Mami ... cukup.” Suara Prabu tegas, meski wajahnya tetap tenang, “aku sudah memilih Zevana sebagai istriku, dan dia akan tetap berada di sini,” ucapnya. Diana terkekeh, menutup tawanya dengan sapu tangan sutra, lehernya masih mendongak tak sedikit pun menunduk untuk menatap lawannya dengan lebih jelas, “istri? Oh betapa konyolnya. Pernikahan tanpa saksi, tanpa dia restu. Kalian pikir aku akan mengakui pernikahan ini?” Prabu mengepalkan tangannya secara kasar, dia hanya memiliki dua keluarga dalam hidupnya, satu ibunya, sementara satu lagi putranya yang tengah berkuliah di ibukota. Dia tak mau kehilangan keduanya atau pun salah satunya. Dia begitu menyayangi mereka. Diana kemudian menatap Zevana lurus, tatapan penuh rencana. Dia sudah mengkonfrontasi, namun wanita itu hanya diam. terlalu diam untuk mendengar kata-k********r yang sejak tadi dilemparkan. Apakah dia tuli? “Kalau begitu, mari kita adalah sebuah pesta. Pesta yang besar. Aku ingin semua orang tahu siapa perempuan yang katanya sudah menjadi istri Prabu Alvarendra, pewaris kerajaan sawit dan minyak. Biarkan kalangan konglomerat, para pejabat dan keluarga besar kita menilai sendiri, apakah gadis miskin ini pantas berdiri di sampingmu?” Zevana tercekat, dadanya sesak dan wajahnya memanas menahan air mata. Dia tahu, pesta itu bukan untuk merayakan dirinya, melainkan untuk mempermalukannya. Prabu menatap ibunya, rahangnya mengeras. “Mi, aku enggak akan membiarkan mami mempermainkan Zevana,” ucapnya. Namun, Diana hanya berbalik, langkahnya anggun menuju pintu. “Kamu bisa melindunginya di rumah ini, Prabu. Tapi di hadapan dunia, mari kita lihat berapa lama gadis kecil itu bisa bertahan!” Suara pintu menutup dengan ekras, keheningan panjang menyelimuti ruangan, menyisakan Zevana yang berdiri kaku, seperti bayangan kecil di tengah istana yang terlalu besar untuknya, dan kini dihatinya ketakutan semakin tumbuh besar. “P-pak?” tanya Zevana. “Kita harus bicara, ayo ke kamar,” ajak Prabu. Zevana mengekornya, kembali ke kamar pertama yang dia masuki tadi. Prabu menutup pintu. Kamar itu sangat luas dan besar, namun terlihat begitu dingin dan kaku. Prabu mengambil salah satu buku dari dalam rak dan menekan tombol. Rak buku itu menggeser, menampilkan ruangan lain. Dia mengedikkan dagu meminta Zevana memasuki ruangan itu. Ruangan yang terlihat lebih cerah dengan satu ranjang kecil dan lemari, juga meja belajar. Ada jendela yang tertutup tirai berwarna gelap. “Nantinya, kamu tidur di sini ya, ini akan jadi tempat persembunyian yang aman untukmu,” tutur Prabu. “Di kamar ini kamu bisa melakukan apa pun, ada televisi, musik player, game mungkin, dan kamar mandi kecil, cukup untuk kamu mandi. Saya enggak bisa satu ranjang dengan kamu, terlebih kita hanya pura-pura menikah,” ucap Prabu, “Terima kasih, ya Pak. Bapak sudah memikirkan saya,” ucap Zevana. “Hmmm, tadinya kamar ini enggak secerah ini, seprai, gorden semua berwarna gelap, yang saya jadikan kamar perenungan, tapi saya minta asisten kepercayaan saya menggantinya dalam satu hari. Jika kamu ... terlalu berat menghadapi mami, kamu bisa ke sini saja. Oiya dan tolong jangan panggil Pak, kamu bisa panggil Mas, atau papa juga enggak apa-apa.” “Siap, ehmm Pa, saya terlalu canggung memanggil Mas, karena usia kita,” ucap Zevana sambil tersenyum terpaksa. “Enggak masalah, oiya saat ini anak laki-laki saya sedang ada di luar kota, dia kuliah di sana. Tapi saya rasa dalam waktu dekat dia akan pulang. Anggaplah dia anakmu sendiri, kalian tidak perlu akrab jika itu bisa menganggumu, dan saya minta ... kamu lebih kuat menghadapi kehidupan di sini untuk kedepannya.” Prabu tersenyum kecil dan meninggalkan Zevana seorang diri. Dia mungkin telah salah membuat kehidupannya berubah, tapi dia akan pastikan bahwa Zevana bisa mendapatkan masa depan yang cerah. Gadis itu pantas bahagia! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN