4. Bertemu Hilal.

1813 Kata
Subuh belum sempurna turun ketika Laila mengetuk pintu kamar Nawang perlahan. “Nawang… bangun. Sudah jam setengah empat.” Suara lembut itu membangunkan Nawang dari tidur yang belum genap tiga jam. Ia tadi membantu pamannya dan Zulham memotong ayam. Selain dari agen, pamannya menjual ayam yang ia pelihara sendiri kalau pasokan dari agen menipis. Nawang melirik ke samping. Anisa masih tidur bergelung selimut. Nawang memaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Udara dini hari menusuk, dingin seperti menggigit tulang. Ia segera ke kamar mandi membasuh muka dengan air dingin. Seketika tubuhnya menggigil, tapi justru menyadarkannya sepenuhnya. Dari dapur, terdengar suara gemerisik plastik dan ayam yang berkokok bersahutan. Bibinya tengah sibuk menyiapkan kotak bekal dan botol minuman. Ada juga satu termos kecil berisi teh panas. “Bantuin Bibi angkat ini, ya. Berikan pada Zulham di depan.” Laila menunjuk keranjang berisi bekal dan minuman yang ia letakkan di bawah meja. Di sampingnya ada dua keranjang besar yang sudah terisi penuh oleh ayam-ayam yang telah dibersihkan. Nawang mengangguk cepat, lalu membungkuk, bermaksud mengangkat keranjang bekal. Namun, sebuah suara berat menghentikannya. “Angkat dulu dua keranjang itu ke depan. Lalu bantu Zulham mengikatnya ke sepeda motorku,” perintah pamannya dengan dingin. “Berat itu, Bang. Mana bisa Nawang mengangkatnya? Biasanya juga Abang yang angkat sendiri,” Laila protes. “Biar dia belajar hidup susah, La. Lagi pula dia masih muda. Masa tenaganya kalah sama kita yang sudah hampir setengah abad?” sergah Jalal. “Iya, Bi. Tidak apa-apa, saya bisa kok mengangkatnya.” Nawang membungkuk, lalu mengangkat keranjang itu bersama-sama. Beratnya keranjang membuat kedua lengannya gemetar, tapi ia tak mengeluh. Dengan langkah tertatih, ia memberikan keranjang kepada Zulham. Zulham menempatkan keranjang di kanan-kiri sepeda motor ayahnya yang sudah dirancang khusus untuk memuat ayam. Pak Jalal pun kemudian pergi ke pasar. “Angkat keranjang bekal tadi, Nawang. Berikan pada Zulham,” perintah Bi Laila lagi. Nawang segera mengangkatnya dan memberikannya pada Zulham yang sudah menunggu di atas sepeda motornya. Setelah keranjang berpindah tangan, Zulham pun melaju. “Kita berangkat sekarang, Nawang. Jalan kaki saja. Pasarnya tidak jauh kok. Anggap saja sekalian olahraga.” Laila mengenakan jaketnya. Begitu juga dengan Nawang. Mereka pun mulai berjalan menuju pasar. “Bibi biasa berangkat jam segini setiap hari?” tanya Nawang di sela langkah-langkahnya. “Iya. Kalau kesiangan, nanti pelanggan pindah ke penjual lain. Biasanya Bibi dibonceng Zulham. Tapi karena ada kamu, mulai sekarang kita jalan saja. Biar pamanmu dan Zulham yang membuka kios dulu.” Nawang mengangguk. Kehidupan pasar memang keras. Persaingan ada di mana-mana. Jalan menuju pasar masih berkabut. Lampu jalan temaram, menyinari genangan air yang memantulkan warna kekuningan. Beberapa ibu dengan keranjang di kepala lewat tergesa, sementara suara motor sayup-sayup terdengar di kejauhan. Saat mereka sampai di pasar, suasana sudah mulai ramai. Pedagang sayur menata dagangan, suara pisau memotong daging terdengar nyaring, dan aroma campur aduk—bumbu dapur, darah ayam, kopi, dan tanah basah—menyergap hidung. Kios sudah terbuka. Dua keranjang ayam bersih telah diletakkan di meja, tapi Pak Jalal tak terlihat. Hanya Zulham yang sibuk menghitung ayam hidup dari agen. “Ayah mana, Zul? Kok tidak bersih-bersih kios?” tanya Laila pada putra sulungnya. Sepeda motornya ada, tapi orangnya tak terlihat. “Ayah ke kios Pak Syahrul. Setelah itu katanya mau pulang—masih ngantuk. Katanya, nanti siang Ibu saja yang mengantar pesanan dengan motor Ayah. Hari ini kita saja yang berjualan, toh ada Mbak Nawang juga,” sahut Zulham singkat. Laila menghela napas kasar. Rupanya suaminya masih marah. “Ya sudah, bantu Bibi bersih-bersih, ya, Nawang.” Mereka mulai membereskan kios. Nawang mencuci meja, menata potongan ayam, dan menyiapkan kantong plastik kecil. Bau amis menusuk, membuat perutnya sedikit mual, tapi ia bertahan. “Perhatikan cara Bibi melayani pembeli. Lama-lama kamu akan terbiasa,” kata Laila sambil menata dagangan. Beberapa pembeli mulai berdatangan. “Baik, Bi.” Nawang memperhatikan setiap gerakan bibinya: cara menimbang, cara memotong dengan cepat, dan cara berbicara dengan pembeli—selalu ramah tapi tegas soal harga. “Kalau ada pembeli, tanya dulu: mau ayam kampung atau ayam potong biasa. Kalau ayam kampung, suruh Zulham timbang dan potong, baru kamu bersihkan dan bungkus. Kalau ayam potong yang di meja ini, langsung timbang aja, kecuali mereka minta dipotong. Bisa potong empat, delapan, sepuluh, atau dua belas bagian.” Kebetulan, seorang ibu datang dan meminta ayam dipotong dua belas bagian. Nawang memperhatikan dengan saksama. Tak lama, ibu lain berkerudung hijau bertanya, “Laila, ayam kampungnya masih ada, nggak?” “Masih, Bu. Mau yang agak gemuk atau kecil?” jawab Laila cepat. Ibu itu menunjuk satu yang ada di kandang. Zulham mengeluarkannya, lalu menyerahkan pada Nawang. “Coba belajar menimbang, Mbak. Terus sebutkan jumlah uangnya.” Jantung Nawang berdebar. Ayam itu meronta, tapi ia pegang erat. “Satu koma sembilan kilogram, Bu. Harga per kilo delapan puluh lima ribu. Jadi totalnya seratus enam puluh satu ribu lima ratus. Mau dipotong berapa bagian, Bu?” “Delapan bagian aja,” jawab si ibu. Laila dan Zulham saling pandang, tersenyum kecil. Cepat sekali Nawang belajar. Setelah ayam dipotong dan dibersihkan, Nawang memasukkan ayam ke kantong plastik, lalu mengikatnya dengan hati-hati. Sedikit canggung, tapi berhasil. “Baru bantu jualan, ya?” tanya si ibu sambil tersenyum. “Iya, Bu. Baru hari ini,” jawab Nawang sopan. “Oh, pantesan. Saya pikir tadi kamu artis yang belajar jualan untuk syuting sinetron. Kamu cantik banget dan bajumu rapi sekali soalnya,” puji si ibu. “Oh, bukan.” Nawang buru-buru geleng. “Saya keponakannya Bi Laila.” Beberapa orang melirik ke arahnya. Ia jadi malu. Pakaian yang ia kenakan memang terlalu rapi untuk berjualan di pasar—semua baju yang ia bawa hanya pakaian kuliah. Ia tidak membawa baju-baju rumah. “Oh, keponakanmu, La. Rajin, ya. Semangat, ya, Nak,” kata si ibu sambil berlalu. Laila menatap Nawang, tersenyum kecil. “Nah, begitu cara menghadapi pembeli. Sopan dan ramah. Lama-lama kamu akan terbiasa.” Waktu berjalan cepat. Matahari mulai naik, sinarnya menembus sela atap pasar. Keringat mengalir di pelipis Nawang, tapi hatinya hangat. Setiap kali pembeli datang, ia mulai bisa menebak jenis ayam yang diminta. Ia juga menolak dengan sopan jika ada yang menawar terlalu rendah. Harga ayamnya sudah sesuai pasaran. “Nawang, Bibi kebelet mau ke belakang. Kamu Bibi tinggal sebentar, bisa?” tanya Laila. Saat itu Zulham tengah mengantar pesanan ayam ke beberapa kedai nasi. “Bisa, Bi. Tapi jangan lama-lama, ya,” ucap Nawang sedikit khawatir. Pembeli masih cukup ramai. “Iya. Ngapain juga Bibi di toilet umum lama-lama,” kilah Laila sambil meringis. Perutnya mulas dan melilit. Pembeli terus berdatangan. Sendirian, Nawang melayani mereka. Ia menimbang dan memotong ayam sesuai permintaan. Walau sedikit keteteran karena tangannya tidak selincah Bi Laila, ia berusaha melayani sebaik mungkin. Sampai tiba-tiba—suara jeritan keras terdengar. “Aduh! Lepasin, Bang!” Semua kepala menoleh. Seorang pria muda bertato sedang dipiting oleh lelaki bertubuh tinggi besar. Di tangan pria muda itu berjatuhan beberapa bungkusan plastik cukup besar. Pasar seketika ricuh. “Jangan coba-coba mencuri dari orang yang sedang bekerja keras, Ja!” bentak lelaki tinggi besar itu. Ia mendorong si pencuri hingga terjatuh di tanah. “Ampun, Bang Hilal! Ampun!” teriak si pemuda bertato itu ketakutan. Pedagang sekitar bersorak. “Yah, lo lagi… lo lagi, Ja! Kerja lo maling melulu. Hajar aja, Lal! Masih muda bukannya kerja, malah nyolong buat nyabu!” Beberapa pedagang di samping kios Nawang ikut memarahi si pemuda yang bernama Jaja. Nawang membeku. Dadanya berdebar hebat melihat kekerasan begitu dekat. Ia belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini sebelumnya. “Ya elah, si Eneng malah bengong. Itu ayam-ayam lo yang dicolong, angkatin dulu!” seru seorang bapak di kios sebelah sambil menunjuk beberapa bungkusan ayam yang tergeletak di bawah meja. Nawang baru sadar—bungkusan ayam yang tadi dipegang si pencuri adalah ayam-ayamnya! Ayam-ayam itu pesanan Pak Dani bakso dan Bu Mira mi ayam, langganan Paman Jalal. Wajahnya memerah. Ia mendekat dan berteriak, “Kamu… maling ayam-ayamku, ya?!” Dengan nekat, ia menendang si pencuri yang masih terduduk di tanah. Kalau saja ayam-ayam itu hilang, ia pasti akan dimarahi habis-habisan oleh pamannya. “Ampun, Neng! Ampun!” rintih Jaja sambil menutupi wajahnya. Kerumunan makin ramai. Tak lama kemudian, Laila muncul kembali. Ia terbelalak melihat kericuhan di kiosnya. “Astagfirullah! Ada apa ini?!” “Jaja mencuri ayam, Ibu,” kata Hilal singkat. “Kurang ajar!” Laila menampar kepala Jaja. “Kamu ya, Ja, dasar maling! Baru Ibu tinggal sebentar udah kayak gini. Mentang-mentang si Nawang baru belajar jualan, udah mau kamu kibulin!” Tak lama Zulham datang dan langsung marah. “Elo lagi, Ja! Udah berapa kali gue bilang berhenti nyolong dan ngobat? Kasihan emak lo!” Jaja hanya menunduk. “Pergi sana! Kalau gue nggak kasian sama emak lo, udah gue laporin!” bentak Zulham. Jaja berlari tertatih keluar dari pasar, diiringi u*****n dan ejekan para pedagang. Laila menghela napas panjang, lalu menatap Hilal. “Terima kasih banyak, Lal. Kalau bukan karena kamu, bisa habis ayam kami.” Hilal mengangguk singkat. Wajahnya keras, tanpa senyum. “Sudah menjadi tugas saya, Bu. Hati-hati saja. Sekarang maling makin banyak. Nanti si Jaja akan saya urus." “Tapi jangan sampai luka parah ya, Lal. Ibu kenal ibunya. Mak Ramlah itu orang baik. Nanti Mak Ramlah juga yang repot kalau Jaja kenapa-kenapa,” pinta Laila. Hilal tidak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat. “Sekali lagi terima kasih, Bang,” tambah Zulham. Hilal menepuk bahu Zulham sebentar, lalu pergi begitu saja. Langkahnya berat tapi tenang. Orang-orang menyingkir saat ia lewat. Nawang menatap punggungnya yang menjauh. Wajahnya masih tegang. Ia belum bisa percaya bahwa tadi ia berani menendang orang. Setelah Hilal benar-benar hilang dari pandangan, Nawang berbisik, “Bi, siapa sih sebenarnya dia?” “Oh, itu Hilal. Kepala keamanan pasar ini. Semua pedagang membayar uang keamanan padanya tiap minggu. Setiap malam dia dan anak-anak buahnya yang menjaga pasar ini agar aman dari pencuri.” Nawang mengangguk pelan. “Oh… berarti dia preman pasar.” Bi Laila langsung mencubit lengannya pelan. “Sst! Jangan ngomong begitu keras-keras. Kesannya tidak enak didengar.” Nawang spontan menutup mulut. Konotasi dari ‘preman pasar’ memang tidak enak didengar, walau apa yang ia katakan tadi memang benar adanya. Selain membayar pada PD pasar, kutipan lainnya adalah pungli. “Kamu hari ini tidak kuliah, kan?” tanya Bi Laila tiba-tiba. “Tidak dong, Bi. Ini kan hari Sabtu,” jawab Nawang mengingatkan. “Bagus. Berarti kamu bisa menjaga kios sampai sore. Zulham sebentar lagi pulang karena sekolah. Bibi akan mengantar pesanan ayam-ayam dengan sepeda motor paman. Kamu jaga di sini saja. Makin siang biasanya makin sepi. Bisa, kan?” Nawang mengangguk. “Harus bisa, Bi.” “Bagus. Kamu harus optimis dan terus belajar. Dunia ini keras, Nawang. Dan pasar adalah tempat yang baik untukmu melatih mental. Kamu akan mengalami banyak kejadian yang menjadikanmu kuat setiap harinya.” Nawang tersenyum getir. “Bibi benar. Pasar ternyata tempat yang keras… sejak saya keluar dari rumah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN