90) Semusim

1945 Kata

Tak ada yang lebih mengerti warna-warna kesedihan selain angin yang menari di atas makam yang masih basah. Angin benar-benar menggoyang rambut-rambut tipis di kening semua orang. Selain pria berbaju koko, bersarung dan berpeci putih yang memberikan sambutan pengantar, tidak seorang pun dapat berkata apa-apa. Semua larut dalam kesedihan yang sama. Rasa kehilangan yang sangat mendalam. "Katanya sangat mendadak," seorang ibu terdengar berbisik pada yang lainnya. "Iya, padahal anak-anaknya masih sangat membutuhkan dia, yang satu malah masih kecil." Ibu di sebelahnya pun ikut menimpali. Tiba-tiba seorang ibu menggerung kembali. Sejak tadi dia memang sudah meraung-raung sejak pertama memasuki area pemakaman itu. "Adikku…adikku… adikku…!" Wanita itu terus mengerang dan menjerit-jerit. Bebera

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN